Pendapat Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah sampai pada keadaan krisis multidimensional yaitu krisis intelektual, moral dan spiritual, maka sealur dengan pemikiran itu kiranya bangsa Indonesia juga sudah sampai pada keadaan krisis yang sama. Krisis yang bermula dari ekonomi akhirnya merebak pada berbagai dimensi menuntut perhatian dan pemikiran kita semua. Namun, kenyataannya sampai sekarang penyelesaian ke arah berakhirnya krisis hampir tak pernah kunjung tiba. Kalaupun ada usaha untuk menyelesaikannya, itu hanya berupa upaya coba-coba dari fungsi intelektual yang ingin memetakan kapasitasnya menyelesaikan “kehidupan buruk” bangsa ini.
Analisis yang diungkapkan oleh banyak pakar menyebutkan bahwa esensi krisis multidimensional sebenarnya bermula dari krisis ilmu pengetahuan yang sudah lama memendam penyakit kronis, penyakit itu berangkat dari anggapan bahwa aqal manusia dapat mencipta ilmu pengetahuan tanpa memerlukan panduan naql. Namun, kenyataannya dengan memisahkan ilmu pengetahuan dari agama sampai saat ini fungsi ilmu pengetahuan tidak lagi dapat menjawab seluruh problema kehidupan. Maka dari itu, akhir-akhir ini dalam suasana merespons kekurangan itu muncul kegandrungan “merubah paradigma” ilmu pengetahuan seperti yang digagas oleh Thomas Kuhn 30 tahun lalu.
Kalaupun telah dilakukan perubahan paradigma pada ilmu pengetahuan, dan perubahannya masih berputar disekitar aqal semata tanpa panduan naql itu artinya kita membiarkan kebermanfaatan ilmu pengetahuan terus menjauh dari kehidupan. Membicarakan ilmu pengetahuan hasil dari suatu proses dinamis antara aqal dan naql sebenarnya kita sudah melangkah mencari solusi krisis multidimensional. Namun, yang justru jadi masalah adalah pembahasan ilmu pengetahuan harus dititikberatkan pada masalah apa dan dimulai darimana? Menurut Hasan Langgulung (Guru Besar Psikologi Pendidikan Islam Universiti Islam Antarabangsa Malaysia) pembahasan harus dimulai dari “manusia” sebagai kekuatan subjektif dalam melihat realitas objektif duniawi.
Sejauh ini, kata kunci “pembangunan” masih tetap dijadikan solusi primadona keluar dari jeratan krisis. Hanya saja ada hal yang perlu kita insyafi dari kekhilafan memahami “pembangunan” sebagai pembangunan ekonomi. Perubahan paradigma dalam pembangunan diantaranya terletak pada kembalinya makna “pembangunan” sebagai “pembangunan ekonomi” pada makna “pembangunan” yang seharusnya. Maka dari itu, kalau kita bermaksud menjadikan manusia sebagai pelaku (subjek) dari seluruh aktivitas kehidupan, seharusnya prioritas pembangunan itu ditumpukan pada pembangunan “manusia” dari suatu harapan terciptanya IPOLEKSOSBUDHANKAM.
Pembangunan Islami Anggapan Islam dalam “pembangunan” ialah “pembangunan manusia”, sehingga kepentingan agama dalam “wacana dunia” sebenarnya hanya untuk manusia. Ini diperkuat dengan alasan bahwa manusia sebenarnya punya potensi untuk mengembangkan urusan dunianya. Dengan logika itu, apabila agama diperuntukan pada manusia dan potensi mengembangkan duniawi manusia lebih menguasainya, maka sebenarnya agama harus dapat mewarnai seluruh aktivitas duniawi manusia.
Membicarakan nafs menyadarkan kita pada hakikat manusia, Allah SWT. telah menciptakan manusia dari kesatuan wujud jasmani dan ruhani, hanya saja dominasi pembangunan yang telah dilakukan tercurah pada terdukungnya kebutuhan jasmani dengan mengetepikan kepentingan pembangunan ruhani. Kepincangan pembangunan terlalu mementingkan aspek jasmani telah mengantarkan manusia pada keadaan krisis multidimensional.
Pembicaraan pembangunan manusia menurut perspektif Islam ialah bagaimana sistem kehidupan berupaya meningkatkan suasana ruhani manusia dari tingkat terbawah (nafs-ammarah) ke tingkat teratas (nafs-mutmainnah). Maka dari itu, sistem kehidupan tidak terkecuali sistem ekonomi harus membawa kemajuan wacana kebendaan bukan saja mampu meningkatkan taraf ekonomi manusia tetapi dapat membangun manusia dari sudut kejiwaannya.
Pada dasarnya, tauhid merupakan falsafah sistem kehidupan dalam Islam. Perwujudan tingkah laku “berahlak” adalah sisi lain Islam yang sudah terimplementasi. Dengan itu, ketertautan antara tauhid dan ahlak merupakan bentuk holistik dari dinamika ruhani dan jasmani. Hanya saja, penelusuran implementasi tauhid ---pada sisi ruhani--- dengan ekspresi ahlak ---pada sisi jasmani--- memerlukan pendekatan yang semua aspek agama terpusat mendukung pembangunan nafs manusia.
Tujuan sistem ekonomi Islam ialah menitikberatkan pada suasana yang dapat menjadikan manusia kreatif dan dinamik. Melalui keadaan kreatif dan dinamik diharapkan manusia mampu menjalankan tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah SWT. di bumi ini. Dengan demikian, tujuan ekonomi untuk memenuhi keperluan dasar manusia, pemerataan pendapatan, mengatasi pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter merupakan tujuan sampingan yang ingin dicapai ekonomi.
Dalam realitasnya, ekonomi juga membicarakan kebijakan-kebijakan dalam konteks hak milik, proses pembuatan kebijakan, dan hal-hal lain yang mendorong keluarnya kebijakan dapat memastikan keadilan ekonomi melalui pencapaian tujuan ekonomi ke arah pembangunan manusia. Tujuan ini akan tercapai jika kebijakan-kebijakan dalam sistem ekonomi didasarkan kepada nilai-nilai Islam.
Permasalahan kemudian adalah bagaimana nilai-nilai Islam diserap ilmu pengetahuan sehingga warna ilmu pengetahuan dapat memberikan jalan keluar krisis. Dengan pengimanan pada Islam, dan nilai-nilai Islam mewarnai ilmu pengetahuan maka dengan sikap itu kita telah berusaha mengimani ilmu pengetahuan sebagai upaya ibadah kepada Allah SWT.
Pendekatan pembangunan ruhani Di atas telah dijelaskan bahwa pembangunan dalam Islam mengandung pengertian pembangunan manusia. Persoalan kemudian, apakah bentuk pembangunan manusia itu dan bagaimanakah hal itu dapat dicapai? Jawabannya sangat banyak dan sangat bergantung pada pendekatan yang dilakukan. Pendekatan pembangunan manusia dengan pembangunan ruhani berarti esensi yang dibangunnya adalah nafs. menuntut upaya penaikan tingkat kesadaran terbawah manusia (nafs-ammarah : QS. 12:53) ke tingkat kesadaran transisi (nafs-lawwamah: QS.73:1-2) sampai pada kesadaran tertinggi (nafs-mutmainnah : QS. 89:27-30).
Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa. Kajian persoalan nafs telah dibahas melalui filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Padahal dalam Al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif.
Menurut Carrel Alexis dalam bukunya Man The Unknown, pertanyaan tentang manusia, pada hakikatnya hingga kini masih tetap tanpa jawaban. Oleh karenanya, kajian tentang nafs merupakan kajian alternatif yang tidak kalah menariknya seiring dengan kenyataan ilmu pengetahuan yang menerangkan tentang “jiwa manusia” belum menemukan kebermanfaatan optimal menjawab permasalahan kehidupan.
Kajian tentang nafs merupakan kajian tentang hakikat manusia atau setidaknya mengkaji tentang sifat-sifat yang secara alami melekat pada manusia. Kepentingan penelitian tentang nafs bukan hanya terbatas pada kebutuhan ilmu pengetahuan, tetapi juga pada mengurai, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia (individual maupun kelompok). Dalam konteks ini, ketertautan kajian tentang nafs tidak sebatas bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan nasional, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
Dalam sudut pandang kualitas, nafs merupakan substansi yang membedakan kualitas manusia dengan mahluk yang lain. Dalam pemaknaan lain, nafs merupakan penyebab manusia menjadi kreatif dan dinamik melalui proses inspirasi dan tafakur. Karenanya, tingkatan kualitas nafs setiap orang berbeda-beda, perbedaannya ditentukan oleh bagaimana usaha masing-masing manusia menjaga hawa nafsunya yang cenderung ke arah syahwat (QS. 79:40) dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Syahwat mempunyai makna dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah. Oleh karenanya syahwat merupakan gambaran perilaku manusia cenderung menyerupai binatang. Hal ini bermakna bahwa perilaku manusia dalam melakukan sesuatu tidak didasari nilai-nilai yang baik yang dapat mengangkat manusia ke tingkat nafs-mutmainnah. Dengan itu maka aktivitas manusia dimanapun tidak dapat mencerminkan kebermanfaatan baik secara politik, ekonomi, sosial atau budaya sekalipun.
Hirarkisnya, nafs terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah. Permasalahnya, bagaimana upaya dan cara yang harus dilakukan agar nafs yang dipunyai manusia bergeser menuju ke arah yang lebih baik? Jawaban proses perubahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara bergantung pada anggapan dan interpretasi Islam mengenai hal ini.
Anggapan Islam, nafs ammarah itu sesuatu yang jelek, kebinatangan dan kotor. Pada konteks ini, makna menggeserkan tingkatan nafs dari yang terjelek ke hal yang lebih baik berarti membuat jadi bagus, menjadikan manusia pada makna hakikat manusia dan membersihkan manusia dari perbuatan kotor. Dengan itu, tawaran solusi Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa : QS. 79:18, 35:18 dan 87:14) merupakan obat penawar kegersangan “ammarah” menuju pada kesejukan “mutmainnah”.
Penyucian jiwa berdasarkan Islam dapat dilakukan dengan cara-cara, pertama mengeluarkan zakat (QS. 9:103), kedua, menjalankan pergaulan hidup secara terhormat (QS. 24:28), ketiga, dengan proses pendidikan (QS. 2:129, 151 dan 62:2). Keempat, karena karunia dan rahmat Allah (QS. 24:21 dan 4:49). Proses tazkiyah bisa datang karena dorongan sendiri atau didorong oleh orang lain atau bahkan dengan proses pemaksaan.
Hanya saja, berbicara manusia berarti kita harus memahami bahwa bergesernya nafs mempunyai ketergantungan pada “kesadaran diri” manusia itu. Oleh karenanya, kesadaran diri yang dijadikan “creator” pembangunan nafs menjadi sosok yang krusial. Pentingnya kesadaran diri harus tercerminkan dari suasana jiwa yang telah lelah berinspirasi dan bertafakur sehingga memancarkan “ketenangan jiwa” (nafs-mutmainnah).
Kebanyakan manusia dalam melakukan proses berinspirasi dan bertafakur selalu menggunakan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk melihat antara hak dan batil. Hal itu dilakukan agar perilaku pengambilan sikap yang diputuskan terpandu oleh kesadaran dirinya. Maka dari itu, apabila keputusan yang di ambil mendekati kepada yang hak maupun yang batil, hal itu semua merupakan cerminan sikap manusia dalam memilih jalan hidupnya.
Dengan demikian, upaya Fastabiq Al-Khairat (berlomba-lomba menuju kebajikan) menggeser nafs-ammarah ke arah nafs-mutmainnah sangat bergantung pada ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia. Jika ilmu pengetahuan itu berasal dari aqal semata tanpa bantuan naql maka hasil yang dicapai akan terjadi pelebaran bidang nafs-ammarah bukannya terjadi pergeseran menuju pada nafs-mutmainnah. Oleh karena itu untuk memberikan jalan keluar dari krisis multidimensional, agenda yang harus dilakukan pertama; melakukan islamisasi ilmu pengetahuan dan yang kedua; titik fokus aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan pada upaya untuk melakukan pembangunan manusia (Human Development). Tanpa melakukan kedua hal itu, keniscayaan intelektualitas manusia dalam menyelesaikan krisis multidimensional masih tetap dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar