Sebelum mulai belajar seseorang hendaknya telah tuntas menajamkan visi pendidikannya. Bahwa belajar tentunya bukan sekedar menghafal berbaris kata dari diktat atau catatan. Tentu saja bukan menelan bulat-bulat semua fatwa pengajar. Mereka meresapi bahwa belajar bagaimana berbuat (learn to do) jauh lebih penting dari belajar menghafal.
Ilmu perlu diiringi oleh amalan. Apalah gunanya nasehat dokter bahwa puasa itu bermanfaat bagi kesehatan, kalau dokter itu sendiri tidak berpuasa? Alangkah ganjilnya bila politikus, tokoh dan pemuka masyarakat menyeru rakyat agar bersatu dan berdamai, padahal sesama mereka saling jatuh menjatuhkan demi memperebutkan kursi. Alangkah tidak lucunya seorang sarjana agama berpidato tentang faedah sholat, sementara air mukanya keruh tak pernah disentuh wudhu'. Kuliah belum tentu menjadi obat hati dan akal, bahkan bisa menjadi racun. Buktinya, banyak sarjana yang keluar dari pekarangan kampus, pandai segala macam ilmu. Dalam laut mampu ia ukur, jumlah bintang di langit sanggup ia hitung. Kemana-mana dipamerkannya ijazah sarjana dengan nilai luar biasa. Namun setelah itu perangainya lebih jelek dari bandit, sifatnya lebih busuk dari mafia.
Dengan ilmu ia rekayasa agama demi mengejar materi, memuaskan nafsu hedonisme dengan meng hambakan diri pada syahwat kekuasaan, dan terjebak dalam tarekat fulusiah. Ibarat menenggak air laut, semakin diminum semakin panas tenggorokan dibakar rasa haus. Kuliah -bagi mereka- seperti baca koran sambil minum kopi saja. Hanya pekerjaan selingan pengisi waktu kosong. Atau kuliah menjadi suatu rutunitas yang mau tidak mau harus dilalui. Setelah tamat SMU . apalagi kalau tidak kuliah! Dari pada bengong di rumah. Alhasil sense of belonging terhadap ilmu itu sendiri minus sekali, atau bahkan nyaris tak terdengar.
Dalam skala umum, berfikir belum menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi kebanyakan masyarakat kampus. Mereka terlalu sering meneriakkan keluhan setinggi langit jika berhadapan dengan sesuatu yang menguras otak. Bermimpi rasanya, bila kita melihat mahasiswa yang kuliah menyandang ransel besar berisi banyak buku bermutu. Atau diantaranya yang bergegas menjadi pengisi pustaka dan laboratorium kala waktu senggang. Tapi itu masih menjadi mimpi -yang terlalu indah untuk dihayalkan- dinegeri ini.
Karena bagi kita yang belum kehilangan mental terjajah, jiwa berkompetisi masih lemah. Justru merasa bangga dengan simbol-simbol kosong tanpa makna. Masih sombong menyandang gelar preman kampus tapi otaknya kosong. Atau yang mahasiswi sibuk dengan atribut kewanitaan yang setiap saat dipoleskan kewajah, guna menutupi ketumpulan otaknya.
Kita masih suka bergerombol untuk bergunjing, mendiskusikan lawan jenis atau hal-hal yang tak bermanfaat. Ketimbang bergerombol sesudah kuliah, dan memperbincangkan mengenai hal-hal yang bersifat ilmiah lagi berguna.
Banyak juga ahli-ahli agama yang tahu berapa pintu masuk dan jumlah simpang jalan di syorga. Bahkan tahu pula nama-nama bidadari di dalamnya. Sayang, pematang sawah sendiri ia tidak tahu. Jumlah hutang sendiri ia lupa. Tekadnya sudah bulat ingin masuk sorga. Saking semangatnya ingin masuk sorga, ia sampai lupa dunianya telah menjadi neraka karena kebodohannya.
Kemudian ada juga yang berfatwa bahwasanya tangan diatas lebih mulia dari pada tangan dibawah. Dengan fasih dibacakannya ayat dan hadis yang menyebutkan fadilah amalan tersebut. Tapi ia lalai mengoreksi diri, ternyata hidupnya dari infak, sadaqah dan zakat orang lain?
Konsep pendidikan Islam ialah belajar untuk diamalkan. Apa yang dipelajari dan diucapkan memiliki relevansi yang kuat dengan realita. Secara praktis terbagi atas dua kategori: Pertama, membongkar persepsi pemikiran yang salah secara menyeluruh hingga keakarnya. Kemudian membangun kembali konstruksi pemikiran yang benar.
Hal ini telah ditamsilkan lewat kisah Umar bin Khattab. Ketika masih jahiliyah ia menyimpan persepsi negatif terhadap agama Islam. Tak salah jika sang jagoan juga turut serta mengganggu langkah dakwah. Namun melalui proses pembelajaran Islam yang radikal. Umar menjadi sadar setelah membaca al-Qur'an. Ayat yang menjungkalkan teori syirik paganisme menjadi tauhid yang lurus. Sejak itu, Umar al-Faruq tampil di garda terdepan perjuangan Islam. Perubahan Umar 180 derjat, dari benci menjadi cinta, bahkan membuktikan cinta itu lewat amalan nyata. Adalah berkat proses pertama yang sangat matang. Dari itu terlihat urgensi perlunya dilakukan pembongkaran persepsi keliru yang selama ini merecoki dunia pendidikan kita. Meluruskan kembali niat dan tekad akademisi sebagai refleksi tanggung jawab moral terhadap zamannya.
Kedua, merekonstruksi ulang suatu persepsi pemikiran yang kokoh dengan mengoptimalkan unsur-unsur kekuatan berfikir yang akan mendorong kecendrungan untuk beramal. Karena berfikir tanpa amalan adalah sia-sia, beramal tanpa difikirkan berbahaya. Setelah melakukan revolusi radikal terhadap persepsi keliru. Maka dilanjutkan kepada fase proses pembangunan pondasi keilmuan yang lebih kokoh. Agar tidak terjadi kekosongan visi. Disinilah pentingnya pemberdayaan maksimal terhadap potensi fikir. Demi terlahirnya kreatifitas yang maksimal dalam beramal.
Langkah ini akan mewujudkan generasi-generasi pewaris Islam yang telah terdidik dengan pembinaan yang kuat sejak usia dini. Seperti Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein dan lainnya. Mereka adalah generasi yang telah tersibghah dengan celupan Islam. Dan memiliki visi yang jelas dalam memaknai kehidupan. Generasi seperti ini lekas berdikari dan mandiri, mengisi hari-hari dengan amalan yang berarti serta prestasi yang membanggakan.
Alhasil kaum intelegensia memikul "hutang sejarah" untuk mengamalkan pengetahuan yang telah dikunyah-kunyah. Agar ia tidak berlalu begitu saja tanpa pesan dan kesan. Jika hutang itu tidak jua dilunasi, ia kelak menjadi bayang-bayang hitam yang mengganggu ketentraman batin.
Tulisan ini mengajak kita gelisah dan resah ilmiah. Semoga ia berguna menjadi patron bagi kita tentang frame of reference dan field of experience dalam kancah pergulatan ilmu pengetahuan. Kita -karenanya- wajib ragu akan kemampuan mendedikasikan amanah ilmu dalam wujud amalan nyata. Agar apa yang diperbuat hari ini bisa digugu dan ditiru generasi mendatang. Seperti ungkapan A'a Gym: tiada hari tanpa mencari ilmu dan program mengamalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar