Tahapan dan Model manajemen Strategi

Tahapan dalam Manajemen Strategi
Menurut David (2006), proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap: formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.
Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan.
Implementasi strategi mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya dan mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif dan mengarahkan usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memberdayakan sistem informasi, dan menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi.
Evaluasi strategi adalah tahapan final dalam manajemen strategis. Manajer sangat ingin mengetahui kapan strategi tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan; evaluasi strategi adalah alat utama untuk mendapatkan informasi ini.
Dimana semua strategi dapat dimodifikasi di masa datang karena faktor internal dan eksternal secara konstan berubah.

Model Manajemen Strategi
Secara umum dijelaskan dalam Umar (2005, p.23), model manajemen strategi dari Fred R. David dipaparkan seperti berikut ini:

a. Visi dan Misi
Visi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan merupakan suatu cita-cita tentang keadaan di masa dating yang diinginkan untuk terwujud tentang keadaan di masa dating yang diinginkan untuk terwujud oleh seluruh personel perusahaan, mulai dari jenjang yang paling atas sampai yang paling bawah, bahkan pesuruh sekalipun. Berikutnya adalah Misi. Misi adalah penjabaran secara tertulis mengenai visi agar visi menjadi mudah dimengerti atau jelas bagi seluruh staf perusahaan.

b. Analisis Lingkungan Eksternal dan Internal
Realisasi misi perusahaan akan menjadi sulit dilakukan jika perusahaan tidak berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya. Oleh karena itu, tindakan untuk mengetahui dan menganalisis lingkungan eksternalnya menjadi sangat penting karena pada hakikatnya kondisi lingkungan eksternal berada di luar kendali organisasi. Selain pemahaman kondisi lingkungan eksternal, pemahaman kondisi lingkungan internal perusahaan secara luas dan mendalam juga perlu dilakukan. Oleh karena itu, strategi yang dibuat perlu bersifat konsisten dan realistis sesuai dengan situasi dan kondisinya. Berdasarkan pemahaman lingkungan internal ini, hendaknya kelemahan dan juga kekuatan yang dimiliki perusahaan dapat diketahui. Selain mengetahui kekuatan dan kelemahan, perusahaan perlu mencermati peluang yang ada dan memanfaatkannya agar
perusahaan memiliki keunggulan kompetitif. Perlu diingat bahwa bila peluang disia-siakan, dapat saja peluang berbalik menjadi ancaman bagi perusahaan. Logikanya karena peluang yang disia-siakan tadi dimanfaatkan oleh pesaing.

c. Analisis Pilihan Strategi
Pada dasarnya setiap perusahaan, dalam menjalankan usahanya, mempunyai strategi. Namun, para pimpinan perusahaan kadang-kadang tidak tahu atau tidak menyadarinya. Bentuk strategi berbeda-beda antar-industri, antarperusahaan, dan bahkan antar-situasi. Namun adasejumlah strategi yang sudah umum diketahui, dimana strategi-strategi ini dapat diterapkan pada berbagai bentuk industri dan ukuran perusahaan. Strategi-strategi ini dikelompokkan sebagai strategi generic. Dari bermacam-macam strategi dalam kelompok strategi generic ini akan dipilih salah satu atau kombinasi beberapa strategi induk (grand strategy) dengan menggunakan cara-cara tertentu.

d. Sasaran Jangka Panjang
Upaya pencapaian tujuan perusahaan merupakan suatu proses berkesinambungan yang memerlukan pentahapan. Untuk menentukan apakah suatu tahapan sudah dicapai atu belum diperlukan suatu tolak ukur, misalnya kurun waktu dan hasil yang ingin dicapai dirumuskan secara jelas, yaitu dengan angka-angka kuantitatif. Pembuatan sasaran jangka panjang ini mengacu kepada strategi induk yang telah ditetapkan sebelumnya.
e. Strategi Fungsional
Langkah penting implementasi strategi induk dilakukan dengan membagi-baginya ke dalam berbagai sasaran jangka pendek, misalnya dalam jangka waktu tahunan, secara berkesinambungan dengan memperhatikan skala prioritas serta dapat diukur. Sasaran jangka pendek ini hendaknya mengacu pada strategi fungisonal yang sifatnya operasional.
Strategi fungsional yang sifatnya lebih operasional ini mengarah berbagai bidang fungsional dalam perusahaan untuk memperjelas hubungan makna strategi utama dengan identifikasi rincian yang sifatnya spesifik. Strategi fungsional ini menjadi penuntun dalam melakukan berbagai aktivitas agar konsisten bukan hanya dengan strategi utamanyan saja, melainkan juga dengan strategi bidang fungsional lainnya. Di dalam organisasi perusahaan yang konvesional, bidang-bidang fungsional utamanya adalah bidang keuangan, sumber daya manusia, produksi dan operasi, serta bidang pemasaran.

f. Program, Pelaksanaan, Pengendalian dan Evaluasi
Agar sasaran yang ingin diraih dapat direalisasikan dengan strategi yang telah ditetapkan, strategi perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan (action).
Pelaksanaan tidak efektid bila tidak didahului dengan perencanaan. Perencanaan yang baik minimal mengandung asas-asas untuk mencapai tujuan, realistis dan wajar, efisien serta merupakan cerminan dari strategi dan kebijakan perusahaan.
Perncanaan yang masih dalam bentuk global hendaknya dibuat dalam bentuk lebih detail, misalnya dalam bentuk program-program kerja, jika program kerja telah disiapkan berikut sumber daya yang dibutuhkan, maka pelaksanaan kerja sudah dapat dimulai. Pengendalian atau pengawasan dimaksudkan untuk lebih menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan hendaknya didasarkan pada rencana yang telah disepakati, sehingga sasaran tidak menyimpang atau keluar dari batas-batas toleransi. Jika hasil evaluasi pekerjaan diketahui bahwa ada faktor X yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan kerja dari rencana yang ada, dan memang disebabkan salah asumsi atau oleh hal-hal lain yang sifatnya uncontrollable, maka rencana perlu direvisi ulang

Komunikasi : Arti, Fungsi dan Bentuk

Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000 : 13).
Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain (Handoko, 2002 : 30).
Tidak ada kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi : pentransferan makna di antara anggota-anggotanya. Hanya lewat pentransferan makna dari satu orang ke oranglain informasi dan gagasan dapat dihantarkan. Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi harus juga dipahami (Robbins, 2002 : 310).

Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000 : 13).
Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain (Handoko, 2002 : 30).
Tidak ada kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi : pentransferan makna di antara anggota-anggotanya. Hanya lewat pentransferan makna dari satu orang ke oranglain informasi dan gagasan dapat dihantarkan. Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi harus juga dipahami (Robbins, 2002 : 310).
Fungsi Komunikasi
Fungsi komunikasi adalah :
a. Kendali : komunikasi bertindak untuk mengendalikan prilaku anggota dalam beberapa cara, setiap organisasi mempunyai wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh karyawan.
b. Motivasi : komunikasi membantu perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada para karyawan apa yang harus dilakukan bagaimana mereka bekerja baik dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar.
c. Pengungkapan emosional : bagi banyak karyawan kelompok kerja mereka merupakan sumber utama untuk interaksi sosial, komunikasi yang terjadi di dalam kelompok itu merupakan mekanisme fundamental dengan mana anggota-anggota menunjukkan kekecewaan dan rasa puas mereka oleh karena itu komunikasi menyiarkan ungkapan emosional dari perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial.
d. Informasi : komunikasi memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenai dan menilai pilihan-pilihan alternatif (Robbins, 2002 : 310-311).

Bentuk-bentuk Komunikasi
Bentuk-bentuk komunikasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Komunikasi vertikal
Komunikasi vertikal adalah komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas atau komunikasi dari pimpinan ke bawahan dan dari bawahan ke pimpinan secara timbal balik.
b. Komunikasi horisontal
Komunikasi horisontal adalah komunikasi secara mendatar, misalnya komunikasi antara karyawan dengan karyawan dan komunikasi ini sering kali berlangsung tidakformal yang berlainan dengan komunikasi vertikal yang terjadi secara formal.
c. Komunikasi diagonal
Komunikasi diagonal yang sering juga dinamakan komunikasi silang yaitu seseorang dengan orang lain yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam kedudukan dan bagian (Effendy, 2000 : 17).
Pendapat lainnya menyebutkan, komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau lateral (menyisi).
Dimensi vertikal dapat dibagi menjadi ke bawah dan ke atas.
a. Ke bawah : Komunikasi yang mengalir dari satu tingkat dalam suatu kelompok atau organisasi ke suatu tingkat yang lebih bawah. Kegunaan dari pada komunikasi inimemberikan penetapan tujuan, memberikan instruksi pekerjaan, menginformasikan kebijakan dan prosedur pada bawahan, menunjukkan masalah yang memerlukan perhatian dan mengemukakan umpan balik terhadap kinerja.
b. Ke atas : komunikasi yang mengalir ke suatu tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi digunakan untuk memberikan umpan balik kepada atasan, menginformasikan mereka mengenai kemajuan ke arah tujuan dan meneruskan masalah-masalah yang ada.
Sedangkan dimensi lateral, komunikasi yang terjadi di antara kelompok kerja yang sama, diantara anggota kelompok-kelompok kerja pada tingkat yang sama, diantara manajer-manajer pada tingkat yang sama (Robbins, 2002 : 314-315).

Revolusi Teori Ekonomi Mikro dan Makro

Persaingan Tidak Sempurna Piero Sraffa dan Joan. V. Robinson
1. Perkembangan pemikiran Neoklasik menerima berbagai kritik yang dikemukakan tajam dari para ahli ekonomi sejarah, dan kelembagaan. Kritik itu senantiasa tidak setuju dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemikir ekonomi klasik dan neo-klasik, Kritik itu mendapat peluang untuk dikaji oleh pemikir Neoklasik, yang akhirnya melahirkan teori-teori persaingan tidak sempurna, seperti dikemukakan oleh Sraffa dan Robinson.
2. Analisis neoklasik yang dikemukakan Sraffa, bahwa pada kurva biaya rata-rata ada bagian yang menurun, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataan struktur pasar persaingan sempurna. Justru struktur monopoli banyak ditemukan dalam kenyataannya. Dengan demikian andaian-andaian yang digunakan dalam struktur pasar persaingan sempurna tidak realistik. Robinson memperkuat argumantasi sraffa baik dalam berbagai tulisannya, maupun pada bukunya yang berjudul The Economic of Imperfect Competation. Perusahaan skalanya semakin besar, dijumlahnya pun tidak banyak, sehingga mereka dapat mempengaruhi jumlah produksi di pasar, dan sekaligus menetapkan harga yang tinggi.



3. Dengan meningkatnya harga akan menciptakan laba maksimum. Oleh karena itu akan dapat mengundang saingan sendiri untuk masuk ke pasar, sehingga tingkat laba menjadi normal kembali. Bagi perusahaan-perusahaan yang telah established, telah sukses dan telah berdiri lama mempunyai good-will terhadap langganan-langganannya, sehingga merupakan rintangan bagi yang baru atau yang akan memasuki pasar. Di samping itu perusahaan yang sukses ini akan selalu menciptakan rintangan-rintangan masuk, seperti memperbanyak produksi, menurunkan harga, pelayanan yang memuaskan, kredit dan sebagainya.
Persaingan Monopolistis dan Keseimbangan Perusahaan Monopolitis
1. Pemikiran Chamberlin sering terasing dan tidak riil tentang teori ekonomi, bukan karena kesalahan metodenya, tetapi karena asumsi-asumsi yang digunakan tidak sesuai dengan kenyataan ekonomi yang terjadi. Chamberlin mengamati bahwa kondisi untuk persaingan sempurna sudah tertinggi, sehingga dia menyusun teori persainganmonopoli. Kalau sebelumnya ada dua macam struktur pasar yakni persaingan sempurna dan monopoli murni, maka Chamberlin melihat bahwa kedua sruktur ditemukan serempak dalam kenyataan, yakni persaingan terjadi, tetapi dengan strukturmonopoli, pertanda-pertanda terjadinya persaingan monopoli antara lain terlihat dengan adanya kegiatan iklan, korting harga, goodwill perusahaan, pembayaran dengan kredit, dan peranan konsumen yang lemah dalam penentuan harga barang. Secara ekonomis masih dilakukan analisis dengan peralatan analisis marjinal.
2. Monopolistic competition (persaingan monopoli) terjadi karena setiap produsen menghasilkan produk yang hampir sama, masing-masing produk mempunyai ciri-ciri khusus, sifat-sifat tersendiri, sehingga menimbulkan preferensi pada konsumen. Masing-masing barang mempunyai keunggulannya. Itulah yang diamonopoli, tidak ada pada orang lain. Tetapi karena loyalitas konsumen terhadap merk barang, maka ini pun menimbulkan monopoli . Meskipun dalam pasar mereka melakukan persaingan, baik dalam perluasaan pasar dengan melalui berbagai kegiatan iklan, maupun dalam hal kebijaksanaan harga.
3. Keseimbangan perusahaan tidak lagi dalam kondisi optimal, karena perusahaan-perusahaan itu telah mampu mengontrol harga, dan pengeluaran-pengeluaran untuk biaya penjualan meningkat, sedangkan ongkos tetap produksi per satuan meningkat. Hal terakhir ini terutama disebabkan terjadinya under capacity dalam produksi, sehingga tingkat harga menjadi mahal. Selanjutnya under-capacity ini dapat dipakai sebagai strategi untuk rintangan masuk ke pasar industri.
4. Struktur pasar yang oligopoli, mengakibatkan George Stigler menyusun teori tentang kurva permintaan yang patah (kinky demand curve). Hal ini terjadi, antara lain disebabkan oleh tingkat harga yang stabil. Harga yang stabil ini dapat juga disebabkan selera dan teknologi yang stabil, kelemahan administrasi, faktor terjadinya kolusif. Meskipun demikian, jika suatu perusahaan dalam struktur oligopoli menaikkan harga, belum tentu akan diikuti oleh saingannya, tetapi cenderung terjadi bilamana satu perusahaan dalam oligopoli menurunkan harga maka lawan-lawannya akan mengikuti. Bukti-bukti yang ditemukan belum memanfaatkan berlakunya teori ini. Tetapi, kemungkinan berbagai kelemahan masih belum dapat diatasi. Teori untuk struktur oligopoli belum dapat digeneralisasikan, karena masing-masing mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, sehingga perilakunya sukar untuk diprediksi. Hal ini kembali ke persoalan faktor personal dan impersonal. Dalam struktur oligopoli khususnya, dan persaingan tidak sempurna umumnya kebijaksanaan harga cenderung bersifat personal.
Monopoli, Oligopoli dan Konsentrasi
1. Pembatasan struktur pasar monopoli murni telah berlangsung sejak masa ekonomi Klasik, tetapi struktur pasar oligopoli relatif baru. Kenyataan ekonomi telah berubah selama akhir abad ke-19 sampai dengan 1930-an, sehingga lahir teori persaingan tidak sempurna, dan secara lebih khusus timbul struktur pasar persainganmonopoli dan oligopoli. Dalam hal tertentu, struktur pasar oligopoli dapat dikatakan sebagai persaingan monopoli terutama untuk oligopoli yang berdiferensiasi.
2. Berbagai bentuk struktut oligopoli telah dibicarakan, antara lain oligopoli penuh, oligopoli parsial, oligopoli yang kolusi dan nonklusif, oligopoli terbuka, dan oligopoli tertutup dan oligopoli homogen dan berdiferensiasi, serta oligopoli pimpinan baik yang simetrik maupun nonsimetrik.
3. Teori oligopoli sulit untuk menggeneralisasikannya, karena perilakunya telah bersifat personal, sehingga ada teori untuk tipe-tipe tertentu oligopoli. Perilaku harga pada oligopoli pimpinan juga tergantung apakah tipenya simetrik atau nonsimetrik. Kalau simetrik maka terjadi persaingan harga, tetapi kalau nonsimetrik tingkat harga pimpinan diikuti atau dijadikan pedoman bagi perusahaan-perusahaan yang relatif kecil.
4. Masalah yang menjadi kontroversi dalam teori oligopoli adalah terjadinya indeterminasi, yakni tidak adanya penyelesaian keseimbangan yang unique, karena masuknya faktor-faktor nonekonomi dan tidak adanya koordinasi baik langsung maupun tidak langsung di antara perusahaan-perusahaan yang independen. Tetapi, kalau di antara perusahaan itu terjadi kolusi, maka kondisimonopoli terjadi, dan perilaku perusahaan-perusahaan tersebut terkoordinir baik langsung maupun tidak langsung. Kolusi formal atau tidak formal, dalam usaha untuk mengatasi risiko ketidakpastian yang mendatangkan berbagai kerugian.
5. Hubungan antara struktur dengan perilaku yang dikaitkan dengan kinerja industri semakin mantap digunakan dalam pembahasan-pembahasan oligopoli khususnya, persaingan tidak sempurna umumnya, karena telah ditemukannya cara-cara pengukuran tingkat konsentrasi. Dengan ukuran ini, dapat ditentukan tidak hanya tingkat atau derajat oligopoli, tetapi derajatmonopoli dalam suatu barang-barang atau jasa. Misalnya, semakin tinggi konsentrasi, akibat terjadinya akumulasi modal yang semakin tinggi, dan di pihaklain terjadi perolehan
REVOLUSI TEORI EKONOMI MAKRO
Depresi Ekonomi dan Relevansi Teori
1. Depresi ekonomi yang terjadi pada tahun-tahun 1930-an telah mendatangkan musibah bagi kegiatan ekonomi, yang mendatangkan pengangguran yang luar biasa. Pengangguran berarti yang tidak mempunyai sumber penghasilan yang secara ekonomis tidak mempunyai daya beli. Apa yang diproduksi tidak dapat diserap pasar, yang berakibat perusahaan-perusahaan (produsen) mengurangi produksi, sehingga kegiatan ekonomi menurun dunia telah kelebihan penawaran karena produksi tidak terbeli.
2. Para ahli ekonomi mencoba mencari sebab-musabab terjadinya depresi tersebut, dan mencoba untuk menyelesaikannya. Berbagai teori ekonomi yang ada ternyata tidak mampu lagi untuk menjawab persoalan-persolan yang muncul, sehingga mendorong kekuatan untuk mencari jalan ke luar. Ternyata teori-teoriklasik dan neoklasik mempunyai kelemahan yang berarti, sehingga andaian-andian yang dipakainya tidak sesuai lagi dengan ekonomi.
3. Dalam teori kesempatan kerja, teori lama itu tidak mengakui adanya pengangguran terpaksa. Mereka tidak mau berhenti dengan terjadinya penurunan tingkat upah, dan tidak bersedia bekerja dengan tingkat upah yang rendah. Pengangguran yang terpaksa ini mengganggu pembahasan teori-teori yang ada. Menurut teori ini, jika pengangguran terjadi, maka pengusaha harus menurunkan tingkat upah, sehingga semua penganggur tertampung dan keadaan tetap dalam kesempatan kerja penuh (full employment). Tetapi ada kelompok-kelompok yang tidak bersedia bekerja dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah.
4. Dalam teori moneter klasik dan neoklasik terjadi pula dikotomi, karena variabel-variabel riil dalam pasar barang tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh variabel moneter, karena fungsi uang yang netral. Kaitan antarpasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar barang kurang erat dalam ajaran neoklasik. Uang mempunyai fungsi hanya sebagai alat tukar, tidak sebagai alat penyimpan nilai atau kekayaan, sehingga setiap penambahan uang semata-mata diperlukan untuk transaksi.
5. Di samping persoalan tersebut, terjadi pula perbedaan paham tentang peranan pemerintah dalam mengatasi persoalan depresi ekonomi. Dalam hal ini Keynes dan beberapa ahli lainnya setuju pemerintah menggunakan pengeluaran untuk pekerjaan umum sehingga masalah depresi dapat diatasi. Tokoh yang terkenal mengajukan rekomendasi ini adalah J.M. keynes yang berjasa dalam mengajukan teori-teori baru yang merupakan revolusi dalam perkembangan teori ekonomi makro. Lingkungan pembahasan telah menjadi lebih luas, lebih menyeluruh, tidak dapat hanya dengan analisis mikro.
Kesempatan Kerja dengan Intervensi Pemerintah
1. Inti teori ekonomi makro yang dikemukakan J.M. Keynes adalah kecenderungan konsumsi (dipihak lain berarti kecenderungan menabung), efisiensi kapital marjinal (MEC), dan preferensi likuiditas. Selanjutnya, ketiga prinsip yang pokok ini dilengkapi dengan fungsi-fungsi permintaan, penawaran, dan fungsi produksi. Perilaku orang menabung berbeda dengan perilaku investor, oleh karena itu dapat terjadi jumlah investor yang diperlukan tidak sama dengan jumlah tabungan yang tersedia, atau sebaliknya. Tingkat investasi yang dilakukan tergantung pada MEC, sedangkan tabungan ditentukan oleh tinggi rendahnya pendapatan.
2. Selanjutnya, penawaran uang tidak hanya untuk keperluan transaksi, pembelian barang maupun jasa, tetapi juga untuk keperluan spekulasi. Permintaan uang untuk transaksi tidak ada bedanya dengan yang ditemukan pada pasar uang klasik, tetapi permintaan yang digunakan untuk spekulasi merupakan hal yang baru sama sekali. Namun demikian, komponen yang baru ini telah mendekatkan model pembahasan ke dalam kenyataan ekonomi. Karena fungsi uang bukan semata-mata untuk media-pertukaran, tetapi juga sebagai penyimpan nilai. Dengan demikian, pada suatu waktu, penggunaan untuk spekulasi dapat meningkat, dan kebutuhan uang untuk transaksi dapat terganggu. Misalnya, jika tingkat bunga turun, kecenderungan investasi diperkirakan meningkat, tetapi dengan komponen kedua itu, harga obligasi dapat naik dan menimbulkan kelebihan penawaran. Variabel tabungan tidak dipengaruhi tingkat bunga, tetapi oleh pendapatan, sedangkan investasi yang menciptakan kenaikan pendapatan. Bukan investasi yang tergantung pada pendapatan. Oleh karena itu kegiatan ekonomi dapat mendatangkan resesi depresi. Singkatnya, fungsi investasi itu tidak stabil, sedangkan fungsi tabungan relatif stabil. Dapat terjadi investasi lebih kecil dari tabungan.
3. Pasar tenaga kerja dihadapkan dengan persoalan adanya pengangguran terpaksa yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis. Walaupun tingkat upah diturunkan, ada kelompok masyarakat yang tidak bersedia menerima tingkat upah terlalu rendah. Untuk mengatasi ini (karena tabungan tidak cukup untuk investasi), maka permintaan melakukan investasi. Kalau ini terjadi, maka permintaan efektif bangkit dan kecenderungan konsumsi kembali naik. Jadi aspek (C+I) merupakan komponen permintaan efektif yang mendorong roda kegiatan ekonomi.
Kontroversi Teori Moneter
1. Teori-teori ekonomi dari Keynes mendapat kritik yang membangun sehingga mendorong diskusi yang serius penelitian-penelitian untuk menguji hipotetisnya, serta membuka kemungkinan lahirnya teori-teori baru. Dan penelitian-penelitian itu fungsi konsumsi mempunyai berbagai variabel. Teori moneter mengalami kontroversi, karena Friedman mengulas teori kuantitas yang klasik. Penelitian-penelitian yang lebih intensif dilakukan dalam rangka mengadu teori mana yang relatif lebih sesuai dengan perkembangan kenyataan ekonomi.
2. Efek-Keynes telah mencoba untuk melihat hubungan antara variabel harga dengan kebutuhan uang untuk transaksi preferensi likuiditas, di satu pihak, dan keperluan, untuk spekulasi di pihak lain, yang dapat mendorong tingkat bunga turun sehingga volume investasi dapat meningkat, sedangkan efek-Pigou dapat pula menjelaskan bahwa variabel kekayaan dapat mempengaruhi konsumsi. Kalau efek-Keynes dapat mempengaruhi pasar uang, sedangkan efek-Pigou mempengaruhi pasar barang. Dengan demikian timbul sintetis antara pemikiran neoklasik dan Keynes.
3. Dalam pengembangan teori-teori konsumsi, berbagai penelitian dilakukan dan menemukan beberapa variabel yang mempunyai pengaruh pada konsumsi suatu masyarakat. Ternyata, bukan hanya pendapatan absolut saja yang berpengaruh secara berarti pada konsumsi, tetapi juga pendapatan relatif, pendapatan permanen, dan siklus kehidupan. Namun demikian, ketiga penemuan ini menyangkut jangka panjang sedangkan hipotetis pendapatan absolut adalah dengan acuan waktu jangka pendek.
4. Friedman melanjutkan penelitiannya ke bidang teori moneter dan memugar teori kuantitas uang, Freidman menganggap bahwa uang adalah kekayaan, bukan saja dalam pengertian keuangan tetapi juga dalam arti yang luas. Permintaan akan uang ditentukan oleh tingkat harga obligasi, potensi saham, inflasi, rasio kekayaan human wealth (kekayaan yang bersifat manusiawi) dan kekayaan yang nonhuman, serta kekayaan dalam harga berlaku. Variabel terakhir ini merupakan pendapatan demikian, Friedman melihat bahwa modelnya kurang elastik terhadap variabel suku bunga, tetapi ternyata bilangan k relatif stabil daripada pengganda permintaan terhadap uang. Dalam hal membandingkan kedua model itu (model Keynes dan Friedman), perlu diingat acuan waktu masing-masing.
Aliran Supplyside Economics
1. Teori Unlimited Supplies of Labour merupakan teori tenaga kerja klasik yang disusun kembali oleh Arthur Lewis. Analisisnya tidak terlepas dari tradisi klasik. Tradisi klasik dalam hal ini adalah dalam mencapai pertumbuhan dengan akumulasi modal akan mengubah distribusi pendapatan dalam jangka panjang (distribusi personal), tetapi terdapat jumlah tenaga kerja berlimpah dengan tingkat upah subsisten. Sistem ekonomi ini semula terdapat di Eropa masa klasik tetapi sektor subsisten mengecil, kemudian keadaan itu dijumpai secara luas di negeri-negeri Asia. Sektor kapitaslis yang modern mempunyai tenaga kerja terampil, dengan tingkat upah tinggi, produktivitas tinggi, sedangkan di pihak lain tersebar luas sektor subsisten dengan produktivitas yang sangat rendah, teknologi tradisional dengan tingkat upah yang rendah. Pada sektor subsisten terjadi kelebihan tenaga kerja. Tingkat upah subsisten itu ditentukan dengan kebutuhan minimum atau tingkat produktivitas rata-rata pada sektor pertanian.
2. Investasi yang dilakukan di sektor kapitalis secara umum tidak meningkatkan upah, namun lebih berarti dalam pembentukan laba dan laba ini sangat kecil yang diinvestasi kembali karena penanam modal mempunyai kepentingan di luar negeri, maka dapat terjadi ekspor modal. Ekspor modal tentunya mengurangi pembentukan modal di dalam negeri. Bahkan kebutuhan dalam negeri sebagian berasal dari impor yang relatif mahal. Keuntungan komparatif dapat dimiliki negeri ini, tetapi karena adanya proteksi maka persaingan dapat kalah dari negeri-negeri lain yang relatif mempunyai pasar bebas.
3. Gejala-gejala kejadian ekonomi 1960-an akhirnya secara nyata ditemukan pada tahun 1970-an, di mana ekonomi tidak dapat dikelola dari segi permintaan. Dua dekade tahun setelah Perang Dunia ke-2, pendekatan kebijaksanaan yang menekankan sisi permintaan pun berakhir. Berbagai faktor yang bersifat struktural muncul yang tidak mungkin hanya dikelola secara makro melalui sisi permintaan. Baby-boom tahun 1950-an, krisis energi, regulasi ekonomi lingkungan hidup, dan persoalan persediaan pangan merupakan masalah-masalah yang tidak dapat terselesaikan dengan pengelola ekonomi permintaan. Oleh karena itu, timbul gagasan untuk mengelola ekonomi dari sisi penawaran. Pengelolaan ini diatur dari sisi permintaan pemerintah dikurangi penurunan pajak, baik pajak-pajak pendapatan, maupun pajak perusahaan dan pajak kredit investasi. Teorinya adalah mengubah perilaku dengan rangsangan. Dengan menurunnya pajak, maka pendapatan personal meningkat, return kekayaan meningkat, bunga turun dan arus investasi bertambah. Produktivitas baik, pendapatan naik, kecenderungan konsumsi naik dengan kondisi ekonomi yang lebih efisien. Dengan ekonomi yang efisien, barang-barang dapat diekspor, sedangkan impor relatif mahal dalam hal ini permintaan terhadap kenaikan upah tidak seperti pada pendekatan permintaan efektif karena inflasi relatif rendah, dan tingkat pertumbuhan relatif tinggi. Dengan demikian ekonomi terhindar dari stagflasi walaupun demikian, jika permintaan, maka keadaan sebaliknya dapat terjadi.

Teori Pertumbuhan Ekonomi
1. Karena persoalan-persoalan depresi ekonomi 1930-an telah teratasi, maka muncul fenomena ekonomi yang lain di Amerika Serikat. Ada pertanda bahwa tingkat pertumbuhan penduduk menurun, tabungan lebih besar dari investasi, muncullah hipotesis ekonomi dalam keadaan stagnasi. Gejala itu menandakan menurunnya permintaan efektif keadaan itu berubah, setelah Amerika Serikat memasuki Perang Dunia ke-2, di mana permintaan efektif bangkit kembali, karena pengeluaran pemerintah untuk membiayai perang dan industri senjata.
2. Harrod pada tahun 1939 telah menyusun model pertumbuhan ekonomi yang bertolak dari prinsip-prinsip yang dipakai Keynes. Teorinya berdasarkan 3 variabel utama, yakni tingkat pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh rasio tabungan dengan pendapatan dan rasio modal dengan tingkat pertambahan penduduk, sedangkan tingkat investasi ditentukan oleh harapan-harapan investor (pengusaha). Dengan demikian dapat terjadi ketidakstabilan dalam pertumbuhan. Artinya tingkat pertumbuhan yang direncanakan tidak sama dengan tingkat pertumbuhan yang aktual, yang menyebabkan terjadinya kelebihan produksi atau kekurangan produksi.
3. Solow yang bertolak dari pemikiran ekonomi Neoklasik menyusun pula teori pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan teori produksi yang mengatasi kelemahan-kelemanah model Harrod-Domar. Di sini pun terdapat tiga variabel utama, tetapi unsur ketidakstabilan itu telah dihilangkan. Fungsi produksi dinyatakan dalam modal perkapita; pertambahan modal per kapita sama dengan jumlah tabungan per kapita dikurangi dengan jumlah pertumbuhan investasi per kapita. Output terbagi dua, yakni untuk konsumsi dan untuk investasi. Dalam model ini ada tiga fungsi utama, yakni fungsi produksi, fungsi tabungan, dan fungsi investasi. Dengan demikian, tingkat keseimbangan antara ketiga fungsi itu stabil yang sedang berkembang, kemungkinan terjadi perangkap-pertumbuhan, karena tingkat akumulasi modal yang kecil, bahkan tingkat pertumbuhannya dapat lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk.
Sumber Buku Sejarah Teori-teori Ekonomi Karya Disman

Menarik dan Memelihara Pelanggan

Pelanggan merupakan aset terbesar bagi suatu perusahaan, tanpa pelanggan maka suatu perusahaan tidak akan pernah ada. Pelayanan yang berkualitas terhadap pelanggan merupakan kunci utama untuk meraih sukses dalam jangka panjang. bila sebuah perusahaan ingin berhasil dalam jangka panjang maka usaha-usaha untuk memelihara pelanggan melalui pelayanan yang memuaskan harus memperoleh perhatian yang utama.
Ada kalanya muncul pertanyaan kenapa lebih difokuskan pada memelihara atau mempertahankan, bukan menarik pelanggan?? bukankah pelanggan berarti pangsa pasar yang besar? jawabanya akan menjadi jelas jika dipahami bahwa usaha memperoleh pelanggan baru (offensive marketing) jauh lebih mahal dibandingkan dengan usaha mempertahankan pelanggan (deffensive marketing). hal ini terjadi karena diperlukan suatu usaha keras dan biaya yang banyak untuk membujuk pelanggan yang selama ini setia pada merek pesaing agar bersedia mencoba atau pindah pada merek yang ditawarkan perusahaan. tidak sedikit dana yang diperlukan untuk menarik mereka menjadi pelanggan tetap. alangkah efektifnya promosi yang dilaksanakan bila seandainya pelanggan yang diraih akan menjadi pelanggan tetap atau pelanggan loyal. Lalu apakah perusahaan tidak berarti menambah jumlah pelanggan?

Jawabannya terletak pada seberapa besar tambahan profit yang diperoleh dengan pertambahan jumlah pelanggan baru. jangan sampai pelanggan yang baru merupakan pelanggan yang sifatnya coba-coba atau pelanggan yang peka harga, yang hanya pindah ke produk kita saat dilakukan promosi. bila hal ini terjadi perolehan tambahan pangsa pasar sifatnya hanya sesaat yaitu pada periode promosi saja.
Terlebih lagi pada masa krisis seperti sekarang relatif sulit untuk menambah jumlah pelanggan baru. Untuk sebagian besar produk, menurunnya daya beli menyebabkan konsumen semakin bersikap rasional. Artinya, membeli produk karena benar-benar didasari oleh manfaat inti (core benefit) yang diberikan oleh produk tersebut.
Kesetiaan pelanggan dapat diciptakan melalui customer relantionship marketing, yang berarti menjaga hubungan dengan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang berkualitas merupakan kunci keberhasilan jangka panjang. Dalam kaitannya ini ada lima tingkatan jalinan hubungan yang bisa dibina antara produsen dengan pelanggan, yaitu sebagai berikut :

1. Basic, para penjual hanya menjual produk dan sama sekali tidak melakukan kontak setelah pembelian terjadi.
2. Reactive, penjual menjual produk dan menyarankan agar mengontak mereka bila ada yang perlu ditanyakan pelanggan . Disini pihak penjual memiliki program pelayanan purnajual, hanya pelaksanaannya menunggu inisiatif pembeli/pelanggan. Perlu disadari bahwa karena sesuatu hal, banyak di antara pelanggan yang enggan menyampaikan keluhan-keluhannya. bagi golongan konsumen ini lebih baik berganti penjual atau berganti merek dari pada harus berurusan dengan complaint yang akan banyak menghabiskan energi. Perlu disadari pula bahwa sebagian besar konsumen indonesia termasuk golongan ini.
3. Accountable, penjual mengontak pelanggan beberapa saat setelah penjualan terjadi untuk memastikan apakah produk ini sudah sesuai dengan harapan mereka. Penjual juga mengumpulkan segala informasi dan keluhan pelanggan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki produk dan pelayanan di masa yang akan datang.
4. Proactive, tenaga penjual melakukan kontak dengan pelanggan setiap saat untuk memaastikan bahwa tidak terjadi gangguan dalam penggunaan produknya serta menginformasikan adanya produk baru. sesuai dengan namanya, pihak penjual tidak saja memperhatikan kinerja produk yang telah dibeli pelanggan, tetapi secar aproaktif menawarkan produk-produk terbaru yang dimiliki perusahaan yang kemungkinan besar dibutuhkan mereka. misalnya dengan menginformasikan bagaimana menggunakan produk secaralebih aman, lebih baik, dan lebih efisien. atau bagaimana merawat sehingga menjadi lebih awet dan sebagainya. Melalui langkah ini pihak penjual telah membantu pelanggan untuk membantu proses konsumsi secara lebih baik untuk menghasilakn out-put lebih baik pula.
5. Partnership, pihak penjual bekerja sama secara kantinyu dengan pelanggan untuk menemukan suatu cara agar pelanggan bisa menjadi lebih baik. pada tingkatanterkahir ini antara pihak penjual dengan pelanggan telah terjalin komunikasi yang baik sehingga sampai pada suatu kesepahaman, yaitu bagaimana caranya memuaskan pelanggan akhir dengan baik. mereka tidak saja memusatkan perhatian pada kinerja produk yang digunakan saat ini tetapi pada produk lain yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan penggunaan produk tersebut. mau tidak mau mereka akan membentuk suatu jaringan (mungkin tidak bekerja sama dengan pemasok) yang bisa membentuk suatu mata rantai untuk memberi pelayanan lebih baik, lebih cepat, dan lebih memuaskan pelanggan akhir. dalam kondisi demikian kedua belah pihak sangat menydari bahwa persaingan telah bergeser dari persaingan produk ke persaingan jaringan. hal ini terjadi karena pelanggan mulai mengukur kualitas penawaran denan membandingkan nilai yang mereka terima dari suatu produk (total customer value) dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh produk tersebut (total customer cost). produk mana yang memberikan selisih terbesar dari kedua komponen itu (customer delivered value) itulah yang akan dibeli.

Jangan pernah merasa bahwa pelanggan akan bergantung kepada kita (terlebih pada kondisi persaingan yang ketat), tetapi sebenarnya kitalah yang tergantung pada mereka. bila hal ini dikaitkan dengan konsep pemasaran yang menyatakan bahwa laba hanya dicapai melalui kepuasan pelanggan, tidaklah mengherankan bahwa sebenarnya eksistensi sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh pelanggan.
Banyak pesaing yang berlaga dalam arena persaingan dengan berbagai merek produk yang ditawarkan memberikan banyak alternatif kepada konsumen. konsumen bebas menentukan pilihan atas produk yang dirasakan memberikan kepuasan lebih tinggi. bagi perusahaan yang selalu berorientasi kepada kepuasan pelanggan denganmenitikberatkan pada customer value, kondisi tersebut (sampai saat tertentu) mungkin belum begitu mengkhawatirkan. tidak ada yang bisa menjamin bahwa pelanggan akan selalu tetap setia kepada produk ataupun merek yang ditawarkan.
Dalam kenyataan tidaklah banyak banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya memberi pelayanan yang memuaskan pelanggan. kalaupun kesadaran itu ada dan memiliki komitmen untuk mewujudkan keinginan tersebut, sering terjadi bahwa pelayanan yang baik dan memuaskan sangat jarang diperoleh pelanggan. keadaan ini disebabkan oleh tiga hal (Le Boeuf, 1992), yaitu sebagai berikut :

1. Para Karyawan tidak Memahami Dasar-Dasar Pelayanan. Acap kali karyawan ditugasi melaksanakan pekerjaannya tanpa terlebih dahulu memahami jelas hal-hal yang diperlukan untuk meraih mempertahankan pelanggan.
2. Saat Kontrak, yang merupakan saat rawan yang bisa merusak bisnis tidak ditangani dengan baik. Setiap kali seorang pelanggan melakukan kontak dengan suatu perusahaan, ia akan diliputi oleh perasaan senang atau tidak senang terhadap kontrak tersebut. Bagaimana sebaiknya menangani karyawaan saat kontrak tersebut setiap hari. itulah yang menentukan keberhasilan perusahaan pada masa mendatang.
3. Sistim Imbalan. Sistem imbalan yang baik akan memenangkan tiga pihak yang terlibat yaitu pelanggan, karyawan dan perusahaan. Hal inilah sebenarnya merupakan hakikat bisnis yang baik.

Dalam upaya memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan, terlebih dahulu harus dipahami apakah sebetulnya yang dibeli oleh pelanggan kita mereka melakukan bisnis dengan kita? jawabannya bahwa pelanggan tidak membeli apa yang dijual oleh perusahaan. Sebenarnya mereka membeli apa yang bisa diperbuat oleh barang dan jasa itu terhadap mereka. Jangan menjual barang terhadap mereka tetapi jualah harapan, perasaan, rasa bangga dan kebahagiaan. Pelanggan hanya mau menukar uang yang telah dcarinya dengan susah payah hanya untuk dua hal : 1. rasa senang dan puas, 2. serta pemecahan atas masalah.
Rasa senang dan puas karena masalah yang dihadapi dapat terpecahkan akan dinikmati pelanggan melalui pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan seperti apakah yang mampu membuat pelanggan merasa puas? Tidak jarang terjadi beberapa perusahaan merasa telah memberikan pelayanan yang berkualitas, namun pelanggan mereka tetap merasakan ketidakpuasan dan berpaling kepada pesaing. Pelanggan akan datang untuk membeli dan kembali untuk membeli lagi bukanlah karena kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan melainkan karena kualitas pelayanan yang dipersepsika oleh mereka. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan adalah perbedaan antara apa yang mereka peroleh dengan apa yang mereka harapkan.
Bagi setiap orang apa yang dipersepsikannya, itulah kenyataan. karena tak ada dua orang memiliki pengalaman masa lalu serta harapan yang sama, tak akan ada pula dua orang yang memiliki persepsi yang sama. seseorang yang sedang menunggu untuk memperoleh layanan tertentu akan merasakan bahwa waktu tunggu 15 menit cukup singkat, sementara yang lain merasakan terlalu lama. jadi, periode waktu yang sama dirasakan berbeda oleh orang yang berbeda karena mereka memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang atau merasakan lama tidaknya sebuah layanan. Dalam upaya untuk memelihara pelanggan maka keberhasilan bisnis sebuah perusahaan ditentukan oleh persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan.

Sumber : Buletin Studi Ekonomi V.6 No. 10 '01

JURNAL STRES DAN KEPUASAN KERJA

PENDAHULUAN
Bagi masyarakat pada era industrialisasi sekarang ini, pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan berupa uang atau jasa, ataupun dalam rangka mengembangkan dirinya. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan cenderung memiliki konotasi paksaan, baik yang ditimbulkan dari dalam diri sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar. Pekerjaan juga seringkali meliputi penggunaan waktu dan usaha di luar keinginan individu pekerja. Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan rutin, yang tidak atau hanya sedikit menuntut inisiatif dan tanggungjawab, dengan sedikit harapan untuk maju atau berpindah kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melakukan tugas yang berada jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada dibawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak sektor industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi robot yang tidak dapat berpikir.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manajer atau supervisor, perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager dapat menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan-bawahannya.
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Pearlin, Liebermen, Managhan, dan Mullan (Breznitz, & Golberger, 1982, hal 369) yang menyatakan :

Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi manusia yang hidup dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih mudah ditentukan sebab musababnya dan dapat dengan jelas dikenali, walaupun mengancam langsung kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman dulu dapat menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa perilaku fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan tersebut dapat dihindari. Manusia jaman sekarang masih terbuka terhadap stres atau ketegangan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tetapi seringkali manusia modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres yang dihayatinya karena ketegangan tersebut sulit dihadapi secara pribadi berdasarkan sifatnya yang samar dan sulit ditentukan sebab-sebabnya secara gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi manusia modern tidak banyak lagi yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis seperti perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan tidak adil, ataupun cemas mengenai kenaikan pangkat atatu gaji. Akibatnya, orang tersebut tetap tegang dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah menghadapi musuh yang sesung-guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang berkepanjangan, tanpa adanya penyelesaian yang adekuat, akan mengganggu kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang muncul dalam bentuk keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan kesehatan tersebut akan menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu lingkaran setan. Pada gilirannya, kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu tampilan kerja individu. Perhatian pekerja menjadi kurang dapat dipusatkan, motivasi kerja menurun, dan tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan kesehatanpun menjadi meningkat. Hal ini tentu akan menggangguproses produksi secara umum.
Faktor lain yang juga mempengaruhi tampilan kerja individu adalah kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161) kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak terdapat hubungan antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan kerja individu. Makalah ini berusaha membahas peranan kepuasan kerja dalam menurunkan akibat buruk dari stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan pekerjaannya.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.4 PENGERTIAN STRES
Berbagai defenisi mengenai stres telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan ‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stres, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan. Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stres sebagai berikut :
1. Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
Tahapan penilaian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Primary Cognitive Appraisal
Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
b. Secondary Cognitive Appraisal
Adalah evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki individu dan berbagai alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta berbagai sumberdaya pribadi dan lingkungan.
3. Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang berkepanjangan.
Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk menerangkan stres yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stres akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya, justru positif.
2.4 STRES DI LINGKUNGAN KERJA
Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dengan demikian, dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat dari lingkungan fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui acuan interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
1.Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu kondisi/situasi yang mampu menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau perubahan yang bersifat reaktif dalam diri individu. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres dan bobot stres dapat diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi individu. Stimulus yang mampu menimbulkan stres ini biasa disebut stresor.
Secara umum, konsep stres sebagai suatu stimulus diguna-kan untuk menerangkan situasi-situasi yang memiliki karak-teristik baru, intense (kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Situasi lain yang dapat menjadi stresor memiliki karakteristik sebagai berikut :
3 stimulus deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
4 absence of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang diharapkan)
5 highly persistent stimulations (stimulasi monoton)
6 kelelahan
7 kejenuhan
Dalam lingkungan kerja, konsep stres sebagai suatu stimulus sering digunakan untuk membahas situasi-situasi kerja yang dapat menimbulkan stres pada para pekerja.
Situasi-situasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Fisik Lingkungan Kerja
8 situasi kerja yang berpolusi
9 noise (kebisingan)
10 terlalu panas atau terlalu dingin
11 rancangan sistem manusia-mesin yang buruk
12 situasi kerja yang mengancam keselamatan fisik
b. Karakteristik Waktu Kerja
13 pekerjaan-pekerjaan yang waktunya tidak menentu
14 terlalu sering lembur
15 deadlines (batas waktu)
16 time pressures
c. Karakteristik Lingkungan Sosial dan Organisasi
17 iklim politis yang kurang sehat
18 kualitas supervisi yang buruk
19 relasi atasan-bawahan yang buruk
20 tugas-tugas monoton
21 machine pacing (kecepatan mesin)
22 beban kerja yang berlebihan
23 tanggung jawab yang terlalu besar
24 kurang penghargaan terhadap hasil kerja
d. Karakteristik Perubahan Dalam Pekerjaan
25 pemutusan hubungan kerja
26 pensiun
27 demosi
28 adanya perubahan kualitatif dalam jabatan
29 promosi yang terlalu dini
30 perubahan pada pola shift
31 situasi dimana tidak ada perubahan sama sekali

Untuk menjelaskan bagaimana karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, berikut ini dikemu-kakan sebuah ilustrasi. Dengan adanya perkembangan teknologi, proses industri sekarang ini banyak menggunakan mesin-mesin dengan teknologi yang canggih. Mesin-mesin tersebut memiliki cara kerja yang otomatis dengan kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja hanya memiliki peranan yang relatif kecil dalam proses produksi karena sebagian besar pekerjaan telah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang dihargai. Kedua, pekerja harus menyesuaikan diri dengan kecepatan kerja mesin yang seringkali membuatnya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus, yang dapat menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat hubungan sosial pekerja dengan pekerja lainnya menjadi berkurang karena pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada mesin. Kesemuanya merupakan sumber stres bagi pekerja tersebut.
Contoh nyata adanya stres akibat kecepatan kerja mesin terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan mekanis modern. Penelitian Hinkle pada Bell Telephone Company mendukung pernyataan di atas (Fraser, hal. 94).
Dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mempunyai perilaku tertentu untuk mengata-si lingkungannya tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut tidak akan tergangggu baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu jika stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas ambangnya sehingga ia tidak mampu lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres seperti gangguan percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
2.Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu memiliki ambang stres yang berbeda. Dengan demikian, karakteristik individu akan mempengaruhi kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi ambang stres seseorang (Braznitz & Golberger, hal.434) :
32 Usia
33 jenis kelamin
34 kebangsaan dan suku bangsa
35 taraf hidup
36 banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
37 kecenderungan work addict
38 kecenderungan neurotik dan depresi
39 fleksibilitas kepribadian
40 mekanisme pertahanan diri yang dipergunakan
41 self esteem
42 makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini adalah yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggo-longkan individu kedalam dua pola perilaku yaitu individu tipe A dan individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola perilaku tipe A lebih mudah terserang penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola perilaku tipe A adalah adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan perasaan menetap tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku tipe A sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola perilaku tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada saat bekerja maupun pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola perilaku tipe B mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan menerima situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa usaha untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan stres dan tegang. Dengan demikian individu tipe B dapat bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pembagian pola perilaku ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih meng-gambarkan gaya perilaku yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri psikis utama individu tipe A adalah keinginan untuk mencapai prestasi sosial (social achievement) yang dapat dianalogikan dengan mencari status (status seeking). Glass (1977) menduga bahwa faktor utama yang menyebabkan timbulnya pola perilaku tipe A adalah keinginan atau obsesi untuk mengendalikan lingkungan. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A pada tidak bisa tidak melakukan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres yang relatif lebih besar jika mereka dibiarkan tanpa diberikan pekerjaan atau aktivitas.
3. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) mengatakan bahwa stres merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini berar-ti bahwa tidak ada stresor yang berifat universal. Stimulus yang sama dapat menyebabkan intensitas stres yang berbeda atau bahkan tidak menyebabkan stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya mampu menghadapi stres tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan adalah persepsi individu terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung. Dengan perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup populer berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model P-E stress tidak timbul akibat stressor lingkungan semata melainkan merupakan hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut merupakan faktor yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective Person). Dengan demi-kian jika salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada akhirnya bobot stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi dapat dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego Defence”. Artinya, jika individu memperoleh dukungan sosial yang memadai dari lingkungan dan/atau menggunakan ego defence yang tepat, stress dapat menurun intensitasnya.

Dengan demikian, berdasarkan model P-E dari French di atas, usaha-usaha yang diarahkan untuk menurunkan intensitas stres dapat dilakukan melalui perubahan persepsi dan pembeian dukungan sosial. Cobb (1976) telah memberikan bukti yang mengesankan bahwa di dalam suatu krisis, yang nyata-nyta merupakan suatu situasi penuh stres, dukungan sosial dapat melindungi manusia dari aneka ragam kondisi patologis (Fraser, hal. 87). Menurut Lieberman dkk, secara teoritis peran dukungan sosial adalah sebagai berikut (Goldberger & Breznitz, hal. 778) :
1. Social resources dapat mengurangi peluang terjadinya situasi yang mampu membangkitkan stres
2. Bila situasi tersebut terjadi juga, interaksi dengan ‘significant orthers’ dapat memodifikasikan persepsi indi-vidu terhadap situasi tersebut. Dengan demikian, intensitas stres yang timbul dapat dikurangi
3. Tingkat stres yang dialami oleh individu erat hubungannya dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh situasi tersebut, dalam hal ini adalah perubahan peran. Social resources dapat mengubah persepsi individu tentang relasi antara perannya yang terancam dengan situasi yang menimbulkan stres.
4. Social resources dapat mengubah persepsi individu tentang strategi ‘coping’ yang tepat, misalnya dengan cara mempe-ngaruhi individu untuk menggunakan strategi tertentu.
5. Social resources dapat memodifikasikan dampak stresor yang mengikis harga diri dan keyakinan individu.
6. Social resources berpengaruh langsung terhadap tingkat adaptasi yang dimiliki individu
Dengan demikian, dukungan sosial tidak saja dapat meredam dampak stres melainkan juga dapat mengurangi peluang terjadinya stres.

42.4 KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja akhir-akhir ini semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak masalah lainnya yang menyebabkan terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Secara umum dapat dikemukan bahwa pemecahan masalah-masalah organisasi dari segi manusianya dapat dilakukan melalui prinsip-prinsip kepuasan kerja. Dengan adanya kepuasan kerja yang tinggi akan muncul ikatan yang positif antara pekerja dengan pekerjaannya, sehingga dari pekerja ini dapat diharapkan suatu hasil yang optimal. Dari hampir semua perusahaan yang mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan gejala kepuasan kerja yang tinggi di antara para pekerjanya.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton menyata-kan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerja berdasarkan pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerja-annya tergantung kepada taraf pememnuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepu-asan atatu ketidakpuasan. Beberapa ahli telah mencoba mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam kepuasan kerja. Herzberg, seperti yang dikutif oleh Gilmer (1961), mengemukakan faktor-faktor kemapanan atau keamanan pekerjaan, kesempatan untuk maju, pandangan pekerja mengenai perusahaan dan manajemennya, gaji, aspek-aspek intrinsik pekerjaan, kualitas penyeliaan, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, serta kondisi kerja fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Perlu dicatat bahwa hasil penelitian diatas diperoleh dari laporan pekerja yang sebagian besar pekerja dalam kondisi yang cukup baik, dengan gaji yang mencukupi dan hubungan dengan atasan-bawahan yang baik.
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal tersebut, paling tidak sampai pada taraf tertentu, telah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menunjukkan urutan preferensi di antara pekerja pria untuk pekerjaan yang menarik adalah rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, gaji yang tinggi, dan penyelia yang penuh perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan prefensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang efisien, dan gaji yang tinggi. Dalam penelitian berikutnya (Johnston, 1973) menun-jukan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagi suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55).
Dari kenyataan-kenyataan di atas tampak bahwa faktor-faktor relasi sosial yang baik dan penghargaan terhadap prestasi kerja merupakan faktor-faktor yang sangat menetukan kepuasan kerja. Faktor gaji dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak memperoleh penekanan yang khusus. Dengan demikian, untuk meningkatkan kepuasan kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih dahulu.

2.4 STRES DAN KEPUASAN KERJA
Pekerjaan mengatur lalu-lintas udara dianggap sebagi salah satu pekerjaan yang paling menimbulkan stres. Jam demi jam mereka harus selalu waspada, mengawasi sejumlah pesawat terbang yang datang dan pergi dengan kecepatan dan ketinggian masing-masing. Walaupun demikian, dua buah penelitian (Singer & Ruterfranz, 1971; R.C Smith, 1973) menunjukan bahwa aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukai oleh pengawas lalu-lintas udara adalah administrasi, kualitas manajemen, upah/gaji, kerja malam (saat lalu-lintas udara tidak padat), dan yang disebut ‘stres’ (beban mental atau tanggung jawab yang besar) tidak termasuk kedalam aspek pekerjaan yang tidak disukai dan bahkan terkadang termasuk ke dalam aspek pekerjaan yang disukai (Cooper & Payne, hal. 9).
Dari penelitian yang dilakukan Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari 23 jabatan di Amerika Serikat, Fraser menarik kesimpulan bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara subyektif lebih berperan sebagai penentu ketegangan daripada lingkungan itu sendiri, dan bahwa reaksi subyektif seperti kecemasan, kemarahan, tekanan mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan erat satu sama lainnya dan tampaknya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada oleh sifat-sifat pekerjaan itu sendiri (Fraser, hal.92). Lebih jauh lagi, Fraser juga menga-takan bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga ditetapkan sebagai penyebab ketidak-puasan.
Salah satu kondisi kerja yang dapat menimbulkan stres pada diri pekerja adalah kerja paruh waktu (shift work). Keluhan-keluhan yang muncul pada kondisi kerja ini antara lain gangguan sulit tidur, gangguan pencernaan, dan gangguan-gangguan sosial Goldberger & Breznizt, hal.432). Tetapi keadaan dapat diperbaiki oleh motivasi pekerja itu sendiri. Bila kerja lembur atatu kerja malam memang dikehendaki oleh pekerja itu sendiri, stres akan diperkecil dan demikian pula ketegangan yang diakibatkannya. Taylor (1974) melaporkan bahwa masalah-masalah pembuluh darah jantung (kardiovaskuler) lebih umum dialami oleh para pekerja siang hari daripada para pekerja malam hari (Fraser, hal. 96).
Dari penjelasan-penjelasan diatas tampak bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kadar stres dan dapat mengurangi dampak menyakitkan dari stres tersebut. Robert R. Holt menyatakan bahwa :
Job satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its pathogenics effects.
(Goldberger & Breznizt, hal.436).
BAB 3
TINJAUAN KRITIS
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan kerja dapat menurunkan kadar stres dan mengurangi dampak stres tersebut terhadap diri pekerja. Berdasarkan model P-E dari French, stres muncul jika terdapat kesenjangan antara persepsi individu mengenai kebutuhan-kebutuhannya dan persepsi individu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari lingkungannya, serta adanya kesenjangan antara persepsi individu mengenai tuntutan lingkungan. Kepuasan kerja, yang berarti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pekerja, menunjukkan kesesuaian antara persepsi individu mengenai kebutuhannya dan persepsi mengenai pemenuhan kebutuhan tersebut dari lingkungan. Tampak jelas bahwa stres bahwa kepuasan kerja sendiri berarti tidak adanya stres individu.
Kepuasan kerja merupakan kondisi emosional yang positif atau menyenangkan terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. Dengan adanya makna pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. Dengan demikian, walaupun individu dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan memberikan stres yang besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar. Makna pekerjaan bagi individu merupakan sumber stres yang potensial.
Model P-E menekankan kepada kesesuaian antara karak-teristik individu dan karakteristik lingkungan. Berdasarkan pendekatan ini, usaha untuk mengurangi kadar stres dan dampak stres di lingkungan pekerjaan tidak dapat dilakukan hanya dengan memperhatikan faktor pekerjaan semata, melaikan juga turut memperhatikan faktor pekerjanya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu dapat kembali dirancang agar tercapai kesesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan pekerja. Misalnya dengan melakukan pemerkayaan pekerjaan pada pekerjaan lini rakit. Pada perkerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya penjinak bom atau pelatih singa untuk sirkus, perubahan pada pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, usaha mengu-rangi stres dan dampak stres lebih ditujukan pada pemilihan pekerja yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan Cara lain yang dapat dipergunakan untuk mengurangi stres dan dampaknya adalah dengan mengubah persepsi pekerja mengenai pekerjaan dan kemampuannya. Menurut pendekatan interaksional, persepsi memegang peranan yang besar dalam menentukan kadar stres dan dampak stres tersebut. Di lingkungan pekerjaan perubahan persepsi pekerja dapat dilaku-kan oleh atasan pekerjaan tersebut yang memberikan keyakinan diri dan perasaan aman kepada pekerjanya.
Faktor lain yang mempengaruhi daya tahan terhadap stres dalam pekerjaan adalah dukungan sosial (social supports), yaitu jalinan ikatan sosial dan keluarga dari pekerja. Dukungan sosial dan keluarga ini dapat menurunkan akibat-akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan, dengan memberi kepuasan-kepuasan dan pencapaian-pencapaian yang lain diluar pekerjaan. Dukungan sosial dan keluarga dapat menyalurkan perasaan-perasaan negatif pekerja terhadap pekerjaannya dan menimbulkan harga diri, penerimaan, serta kepercayaan terha-dap diri sendiri. Dari penelitian-penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa kebutuhan pekerja yang utama adalah hubungan sosial yang baik antara pekerja dan penyelia. Dengan demikian, tampak jelas bahwa dukungan sosial memiliki arti yang penting bagi pemuasan kebutuhan pekerja dan penurunan kadar stres maupun dampaknya.
Adanya hubungan yang baik dengan penyelia atau atasan memungkinkan pekerja untuk mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapinya, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini tentu memiliki dampak yang baik bagi penurunan ketegangan pekerja tersebut karena melalui cara demikian pekerja sedikit banyak dapat menyalurkan ketegangannya (kartasis). Selain itu, dengan adanya hubungan yang baik ini, pekerja memperoleh keyakinan bahwa pihak manajemen memberikan penghargaan terhadap dirinya sebagai manusia, pihak manajemen dapat memahaminya, dan bukan merupakan ancaman bagi dirinya. Di lain pihak, komunikasi dari pekerja merupakan suatu informasi yang berharga bagi pihak manajemen yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kondisi kerja di perusahaan tersebut.
BAB 4
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal berikut :
  1. Stres dan kepuasan kerja mempunyai hubungan timbal-balik. Kepuasan kerja dapat meningkatkan daya tahan individu terhadap stres dan dampak-dampak stres dan sebaliknya, stres yang dihayati oleh individu dapat menjadi sumber ketidakpuasan.
  2. Kebutuhan utama pekerja pada era teknologi canggih ini adalah adanya hubungan sosial yang baik dengan pekerja lainnya dan dengan penyelia/atasan serta penghargaan terhadap prestasi kerjanya. Sehingga dengan demikian, agar kepuasan kerja dapat tercapai maka perusahaan hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada sisi lain, adanya hubungan sosial yang baik ini dapat dipersepsi pekerja sebagi dukungan sosial yang dapat menurunkan ketegangan yang dihayatinya.
  3. Usaha menurunnya stres dan dampaknya dari lingkungan pekerjaan dapat dilakukan melalui perancangan kembali pekerjaan dan memilih pekerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakannya. Tujuannya adalah agar pekerjaan tidak dipersepsi sebagai suatu tekanan atau sumber ketegangan oleh pekerja.
  4. Dalam usaha mengurangi kadar stres dan dampaknya tersebut penyelia atau atasan dapat berperan sebagai konselor yang berusaha membantu pekerja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

DAFTAR PUSTAKA
Cooper, Cary L. & Roy Payne, Stress at Work, John Wiley and Sons Ltd., New York, 1978
Fraser, T.M., Stress & Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM, Jakarta, 1985
Goldberger, Leo & Shlomo Breznizt, Handbook of Stress, The Free Press, New York, 1982
Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior, 3rd edition, The Dorsey Press, USA, 1985
Milton, Charles R., Human Behavior in Organization, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1981
Wexley, Kenneth N. & Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personnel Psychology, Richard D. Irwin Inc., 1977

Teori-Teori tentang Kepuasan Kerja dan Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja

Teori-Teori tentang Kepuasan Kerja

Menurut Wexley dan Yukl (1977) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu:
1.Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antarastandar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar.
2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupunditempat lain.
3. Teori Dua – Faktor (Two Factor Theory)
Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators.


Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas.
Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status. Keberadaan kondisi-kondisi ini tidak selalu menimbulkan kepuasan bagi karyawan, tetapi ketidakberadaannnya dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan. As’ad (2004, p.104). Sebuah kelompok psikolog Universitas Minnesota pada akhir tahun 1950-an membuat suatu program riset yang berhubungan dengan problem umum mengenai penyesuaian kerja. Program ini mengembangkan sebuah kerangka konseptual yang, diberi nama Theory of Work Adjustment (Wayne dan Cascio, 1990, p.277).
Theory of Work Adjustment didasarkan pada hubungan antara individu dengan lingkungan kerjanya. Hubungan tersebut dimulai ketika individu memperlihatkan kemampuan atau keahlian yang memungkinkan untuk memberikan tanggapan terhadap kebutuhan kerja dari suatu lingkungan kerja. Dari lain pihak, lingkungan kerja menyediakan pendorong atau penghargaan tertentu seperti gaji, status, hubungan pribadi, dan lain-lain dalam hubungannya dengan kebutuhan individu.
Jika individu memenuhi persyaratan kerja, maka karyawan akan dianggap sebagai pekerja-pekerja yang memuaskan dan diperkenankan untuk tetap bekerja di dalam badan usaha. Di lain pihak, jika kebutuhan kerja memenuhi kebutuhan individu atau memenuhi kebutuhan kerja, pekerja dianggap sebagai pekerja-pekerja yang puas.
Individu berharap untuk dievaluasi oleh penyelia sebagai pekerja yang memuaskan ketika kemampuan dan keahlian individu memenuhi persyaratan kerja. Apabila pendorong-pendorong dari pekerjaan memenuhi kebutuhan kerja dari individu, mereka diharapkan untuk jadi pekerja yang puas. Seorang karyawan yang puas dan memuaskan diharapkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Jika kemampuan dan persyaratan kerja tidak seimbang, maka pengunduran diri, tingkat pergantian, pemecatan dan penurunan jabatan dapat terjadi. Model Theory of WorkAdjustment mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b. Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d. Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e. Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f. Company Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
g. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.
h. Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i. Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j. Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k. Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l. Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o. Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p. Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan.
q. Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
r. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
s. Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
t. Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.

Hipotesis pokok dart Theory of Work Adjustment adalah bahwa kepuasan kerja merupakan fungsi dari hubungan antara sistem pendorong dari lingkungan kerja dengan kebutuhan individu

Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja

1. Produktifitas atau kinerja (Unjuk Kerja)
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja. Asad (2004, p. 113).

2. Ketidakhadiran dan Turn Over
Porter & Steers mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih bersifat spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. dalam Asad (2004, p.115). Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan, lebih besar
kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuaan kerja. Menurut Robbins (1996) ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macamcara . Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka.

Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, (p. 205) :
1. Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.
2. Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
3. Mengabaikan (Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau dating terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.
4. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
5. Kesehatan
Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Baron & Byrne (1994) ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan iklim kerja. Faktor kedua yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor individual ada dua predictor penting terhadap kepuasan kerja yaitu status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas dengan hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal. (p.45). Pendekatan Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya,
nilai-nilai yang dianut dan sifat-sifat kepribadian. (p.35). Pendapat yang lain dikemukan oleh Ghiselli dan Brown, mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:


a. Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan
kerja.

b. Pangkat (golongan)
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan), sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya.

c. Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan finansial dan jaminan sosial
Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

e. Mutu pengawasan
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).
As’ad (2004, p. 112).
Sedangkan Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut :
a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. As’ad
(2004, p.114).

Berbeda dengan pendapat Blum ada pendapat lain dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut:

a. Kesempatan untuk maju
Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.

b. Keamanan kerja
Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja.

c. Gaji
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan.

e. Pengawasan (Supervise)
Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.

f. Faktor intrinsik dari pekerjaan
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.

g. Kondisi kerja
Termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir.

h. Aspek sosial dalam pekerjaan
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.

i. Komunikasi
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.

j. Fasilitas
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. As’ad (2004,p. 115)

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah:
1. Prestasi
2. Penghargaan
3. Kenaikan jabatan
4. Pujian.

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan adalah:
1. Kebijaksanaan perusahaan
2. Supervisor
3. Kondisi kerja
4. Gaji

Burt mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:
a. Hubungan antara manajer dengan karyawan
b. Faktor fisik dan kondisi kerja
c. Hubungan sosial di antara teman sekerja
d. Emosi dan situasi kerja
2. Faktor individual, yaitu yang berhubungan dengan:
a. Sikap orang terhadap pekerjaannya
b. Umur orang sewaktu bekerja
c. Jenis kelamin
3. Faktor-faktor luar (extern), yaitu berhubungan dengan faktor-faktor yang
mendorong karyawan yang berasal dari luar selain dirinya sendiri, yaitu:
a. Keadaan keluarga karyawan
b. Rekreasi
c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya). As’ad (2004,p.112).

Berdasarkan indikator yang menimbulkan kepuasan kerja tersebut di atas akan dapat dipahami sikap individu terhadap pekerjaan yang dilakukan. Karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan persepsi pada masing-masingindividu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari padanya.

Penilaian Kinerja Karyawan

Apa yang dimaksud dengan kinerja

Suatu penelitian telah memperlihatkan bahwa suatu lingkungan kerja yang menyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan yang paling produktif. Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan, berbagai asumsi dan harapan lain muncul. Ketika atasan dan bawahan membentuk serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak berbeda, perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada tingkat kinerja. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.(Rivai & Basri, 2004: 14 ).
Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun), maka pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. (Rivai & Basri, 2004:16.

Penilaian kinerja sendiri memiliki beberapa pengertian yaitu:
1. Suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai, dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku, dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi, dan masyarakat semuanya memperoleh manfaat. (Schuler & Jackson, 1996:3)
2. Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kerja individu.

Menurut Robbins (1996) yang dikutip oleh Rivai dan Basri dalam bukunya yang berjudul performance apprasial, pada halaman 15 menyatakan bahwa ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu yaitu:
(a) tugas individu.
(b) perilaku individu.
(c) dan ciri individu.
3. Dari beberapa pengertian kinerja di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya, sesuai denganstandar kriteria yang ditetapkan dalab pekerjaan itu. Prestasi yang dicapai ini akan menghasilkan suatu kepuasan kerja yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat imbalan.
Suatu kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan. Kinerja individu sendiri dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap pekerjaannya. Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya. Dalam hal ini dibutuhkan suatu evaluasi, yang kemudian dikenal dengan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja merupakan metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang paling umum digunakan. Dalam penilaian kinerja melibatkan komunikasi dua arah yaitu antara pengirim pesan dengan penerima pesan sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik. Penilaian kinerja dilakukan untuk memberi tahu karyawan apa yang diharapkan pengawas untuk membangun pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Penilaian kinerja menitikberatkan pada penilaian sebagai suatu proses pengukuran sejauh mana kerja dari orang atau sekelompok orang dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang ada.

Tujuan penilaian kinerja.
Schuler dan jackson dalam bukunya yang berjudul Manajemen sumber daya manusia edisi keenam, jilid kedua pada tahun 1996 menjelaskan bahwa sebuah studi yang dilakukan akhir-akhir ini mengidentifikasi ada dua puluh macam tujuan informasi kinerja yang berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan dalam empat macam kategori, yaitu:

1. Evaluasi yang menekankan perbandingan antar-orang.
2. Pengembangan yang menekankan perubahan-perubahan dalam diri seseorang dengan berjalannya waktu.
3. Pemeliharaan sistem.
4. Dokumentasi keputusan-keputusan sumber daya manusia bila terjadi peningkatan.

Efektifitas dari penilaian kinerja diatas yang dikategorikan dari dua puluh macam tujuan penilaian kinerja ini tergantung dalam sasaran bisnis strategis yang ingin dicapai. Oleh sebab itu penilaian kinerja diintegrasikan dengan sasaran-sasaran strategis karena berbagai alasan (Schuler&Jackson ,1996 : 48), yaitu:
1. Mensejajarkan tugas individu dengan tujuan organisasi yaitu, menambahkan deskripsi tindakan yang harus diperlihatkan karyawan dan hasil-hasil yang harus mereka capai agar suatu strategi dapat hidup.
2. Mengukur kontribusi masing-masing unut kerja dan masing-masing karyawan.
3. Evaluasi kinerja memberi kontribusi kepada tindakan dan keputusan-keputusan administratif yang mempetinggi dan mempermudah strategi.
4. Penilaian kinerja dapat menimbulkan potensi untuk mengidentifikasi kebutuhan bagi strategi dan program-program baru.

Manfaat penilaian kerja
Manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar bagi mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. (Rivai & Basri, 2004:55)
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam penilaian adalah:
(1) Orang yang dinilai (karyawan)
(2) Penilai (atasan, supervisor, pimpinan, manager, konsultan) dan
(3) Perusahaan.

Manfaat bagi karyawan yang dinilai

Bagi karyawan yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah (Rivai&Basri,2004 :58), antara lain:
a. Meningkatkan motivasi.
b. Meningkatkan kepuasan hidup.
c. Adanya kejelasan standard hasil yang diterapkan mereka.
d. Umpan balik dari kinerja lalu yang kurang akurat dan konstruktif.
e. Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi lebih besar.
f. Pengembangan tantang pengetahuan dan kelemahan menjadi lebih besar, membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal mungkin.
g. Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas .
h. Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi.
i. Kesempatan untuk mendiskusikan permasalahan pekerjaan dan bagaimana mereka mengatasinya.
j. Suatu pemahaman jelas dari apa yang diharapkan dan apa yang perlu untuk dilaksanakan untuk mencapai harapan tersebut.
k. Adanya pandangan yang lebih jelas tentang konteks pekerjaan.
l. Kesempatan untuk mendiskusikan cita-cita dan bimbingan apa pun dorongan atau pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi cita-cita karyawan.
m. Meningkatkan hubungan yang harmonis dan aktif dengan atasan.

Manfaat bagi penilai (supervisor/manager/penyelia)
Bagi penilai, manfaat pelaksanaan penilaian kinerja (Rivai&Basri, 2004 : 60) adalah;
a. Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan kinerja karyawan untuk perbaikan manajeman selanjutnya.
b. Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang pekerjaan individu dan departemen yang lengkap.
c. Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik untuk pekerjaan manajer sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya.
d. Identifikasi gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi.
e. Peningkatan kepuasan kerja .
f. Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut, rasa grogi, harapan, dan aspirasi mereka.
g. Menigkatkan kepuasan kerja baik terhadap karyawan dari para manajer maupun dari para karyawan.
h. Kesempatan untuk menjelaskan tujuan dan prioritas penilai dengan memberikan pandangan yang lebih baik terhadap bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada perusahaan.
i. Meningkatkan rasa harga diri yang kuat diantara manajer dan juga para karyawan, karena telah berhasil mendekatkan ide dari karyawan dengan ide para manajer.
j. Sebagai media untuk mengurangi kesejangan antara sasaran individu dengan sasaran kelompok atau sasaran departemen SDM atau sasaran perusahaan.
k. Kesempatan bagi para manajer untuk menjelaskan pada karyawan apa yang sebenarnya diingikan oleh perusahaan dari para karyawan sehingga para karyawan dapat mengukur dirinya, menempatkan dirinya, dan berjaya sesuai dengan harapan dari manajer.
l. Sebagai media untuk menigkatkan interpersonal relationship atau hubungan antara pribadi antara karyawan dan manajer.
m. Dapat sebagai sarana menimgkatkan motivasi karyawan dengan lebih memusatkan perhatian kepada mereka secara pribadi.
n. Merupakan kesempatan berharga bagi manajer agar dapat menilai kembali apa yang telah dilakukan sehingga ada kemungkinan merevisitarget atau menyusun prioritas kembali.
o. Bisa mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi atau perubahan tugas karyawan.

Manfaat bagi perusahaan
Bagi perusahaan, manfaat penilaian adalah, (Rivai&Basri, 2004 : 62) antara lain:
a. Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan karena:
1) Komunikasi menjadi lebih efektif mengenai tujuan perusahaan dan nilai budaya perusahaan.;
2) Peningkatan rasa kebersamaan dan loyalitas;
3) Peningkatan kemampuan dan kemauan manajer untuk menggunakan keterampilan dan keahlian memimpinnya untuk memotivasi karyawan dan mengembangkan kemauan dan keterampilan karyawan.
b. Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh masing-masing karyawan;
c. Meningkatkan kualitas komunikasi;
d. Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan;
e. Meningkatkan keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan perusahaan;
f. Peningkatan segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh setiap karyawan;
g. Harapan dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan;
h. Untuk mengenali lebih jelas pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan;
i. Kemampuan menemu kenali setiap permasalahan;
j. Sebagai sarana penyampaian pesan bahwa karyawan itu dihargai oleh perusahaan;
l. Budaya perusahaan menjadi mapan. Setiap kelalaian dan ketidakjelasan dalam membina sistem dan prosedur dapat dihindarkan dan kebiasaan yang baik dapat diciptakan dan dipertahankan. Berita baik bagi setiap orang dan setiap karyawan akan mendukung pelaksanaan penilaian kinerja, mau berpartisipasi secara aktif dan pekerjaan selanjutnya dari penilaian kinerja akan menjadi lebih baik;
m. Karyawan yang potensil dan memungkinkan untuk menjadi pimpinan perusahaan atau sedikitnya yang dapat dipromosikan menjadi lebih mudah terlihat, mudah diidentifikasikan, mudah dikembangkan lebih lanjut, dan memungkinkan peningkatan tanggung jawab secara kuat;
n. Jika penilaian kinerja ini telah melembaga dan keuntungan yang diperoleh perusahaan menjadi lebih besar, penilaian kinerja akan menjadi salah satu sarana yang paling utama dalam meningkatkan kinerja perusahaan.