Asmaul Husna dan Bisnis

Berbicara tentang bisnis dalam Islam tidak mungkin dilepaskan dari konsep Islam tentang Tuhan (Allah), dengan menekankan pada sifat-sifat Allah dan perbuatanNya terhadap alam dan manusia. Ada dua alasan utama yang mendasari mengapa bahasan ini harus dikemukakan.
Pertama, untuk memperlihatkan contoh teknis perilaku dengan mengemukakan sifat-sifat Tuhan, yang merupakan contoh terbaik dalam hal berbuat baik. Kedua, untuk memperoleh visi yang jelas tentang prinsip-prinsip "perintah langit" yang diharuskan dalam kehidupan manusia, dimana seorang pelaku bisnis Muslim harus senantiasa menyadarinya di segala waktu dan dalam segala urusan. Untuk lebih jelasnya mari kita simak sebagian deari firman Allah di bawah ini:
"Dialah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang inengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Se¬jahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan. Dialah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik (Asma ul-husna). Ber¬tasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Hasyr : 22 -24).
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa- penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat azdab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-An' aam: 165).
"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang yang kafir itulah orang yang zhalim." (Al-Baqarah : 254).
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah per¬mainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadiid : 20).

Allah adalah nama Tuhan yang disebutkan lebih dari 2.500 kali di dalam Al-Qur'an. [1] Allah adalah Pencipta dan Wujud Yang Maha Tinggi (Supreme Being). [2] Dengan demikian, sangatlah logis, sebagaimana yang secara benar dinyatakan Toshihiku Izutsu, Allah menjadi kata yang demikian mendapat fokus dalam kosa kata Al-Qur'an. [3] Sebagai tambahan terhadap nama Allah ini, Al-Qur'an juga membicarakan tentang sifat-sifat Allah, yang biasa dikenal dengan sebutan Asma-ul Husna (nama-nama indah), yang jumlahnya sebanyak 99 nama. [4]

Al-Qur'an menerangkan pada kita semua, bahwa Allah adalah Pencipta Alam semesta yang maha luas, dimana manusia merupakan bagian yang sangat kecil di semesta tersebut, [5] meskipun demikian ia memiliki hal yang unik dan menempati posisi yang sangat istimewa, [6] dimana manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. [7] Dengan demikian, manusia diberi amanah dan tanggung jawab di dunia untuk mewujudkan kehendak Ilahi dalam bidang moral. [8]

Agar manusia mampu melaksanakan tanggung jawab ini secara baik, maka manusia membutuhkan pengetahuan tentang Allah secara akurat, tentang sifat-sifat-Nya, tentang prinsip-prinsip yang Dia gariskan untuk mengatur alam ini secara umum dan kehidupan manusia secara khusus. Semua pengetahuan yang sangat vital ini telah Al-Qur' an sediakan. [9]

Apa yang tertera di dalam Al-Qur' an tidaklah bertujuan hanya sekedar informasi namun lebih dari itu ia bertujuan untuk merubah cara pandang manusia dan karakter mereka. Saat membicarakan tentang aspek ini Fazlur Rahman menyatakan, "Al-Qur' an itu bukan hanya sekedar sebuah Kitab Suci yang deskriptif, namun utamanya adalah sebuah Kitab Suci yang preskriptif. Baik isi risalah yang ada di dalamnya maupun kekuatan formatnya adalah didesain bukan hanya sebagai informasi bagi umat manusia, namun lebih dari itu ia adalah untuk mengubah karakter mereka. Dampak psikologis dan kandungan moral dari pesan-pesan Al-Qur' an adalah yang memainkan peran utama". [10]

Dampak psikologis dan kandungan moral yang ada inilah yang mengajak kita semua untuk memusatkan perhatian kita tentang pernyataan-pernyataan Al-Qur'an yang bersangkut paut dengan sifat-sifat Allah dan prinsip-prinsip yang mendasari tindakan-Nya.
Asma-ul Husna (Nama-nama Allah Yang Indah)

Dari 99 Asma ul Husna yang melukiskan sifat-sifat Allah, seperti yang telah disebutkan di muka, paling tidak 56 di antaranya memiliki relevansi dengan bisnis. [11] Dalam pandangan seorang Muslim sifat-sifat Allah itu adalah standard etik dalam perilakunya. Itulah sebabnya mengapa kaum Muslimin dituntut untuk merealisasikan nilai-nilai implisit yang ada dalam karakter-karakter ataupun sifat-sifat Allah. [12]

Keimanan kepada Allah, kepada sifat-sifat dan inayah-Nya, tidak hanya mengontrol shalatnya sehari-hari, puasa, zakat dan hajinya, namun keimanan itu pulalah yang mengontrol perilaku bisnis seorang Muslim di pasar. [13]

Sifat-sifat Allah di bawah ini dipilih dengan dua alasan utama. Pertama, sifat-sifat itu sesuai dengan situasi manusia, dan jika dia mau, dia bisa meniru sifat itu dalam kadar yang sesuai dengan kemampuannya. Kedua, dengan mengerti sifat-sifat Allah itu secara sempurna dan komprehensif akan banyak membantu manusia untuk melakukan hal-hal yang baik dan menghindarkannya dari perbuatan-perbuatan tercela dalam bisnis. Asma-ul Husna yang diseleksi adalah sebagai berikut:
Al-Haqq = Yang Maha Benar
Al Adl = Yang Maha Adil
Al-Mugsith = Yang Maha Adil
Al- Barr = Yang Maha Melimpahkan Kebaikan
As-Salaam = Yang Maha Sejahtera
Al-Hadi = Yang Maha Memberi Petunjuk
Ar-Rasyiid = Yang Maha Memberi Petunjuk
Al-Wakiil = Yang Maha Pelindung
Al-Hakiim = Yang Maha Bijaksana
Al-Khabiir = Yang Maha Mengetahui
Al Aliim = Yang Maha Mengetahui
Al-L at hi if = Yang Maha Lembut
As-Samii' = Yang Maha Mendengar
Al-Bashiir = Yang Maha Melihat
Asy-Syahiid = Yang Maha Menyaksikan
Ar-Raqiib = Yang Maha Dekat
Al-Waajid = Yang Maha Kaya, Pencipta dan Mengadakan
Al-Mu'min = Yang Mengaruniakan Keamanan
Al-Muhaimin = Yang Maha Memelihara
Al-Hafizh = Yang Maha Menjaga
Al-Qawiy = Yang Maha Kuat
Al-Matiin = Yang Maha Kokoh
Ar-Rahmaan = Yang Maha Pengasih
Al-Ghaffaar = Yang Maha Pengampun
Al-Ghafuur = Yang Maha Pengampun
Al-'Afw = Yang Maha Pemaaf
At-Tawwaab = Yang Maha Pemberi Taubat
Al-Haliim = Yang Maha Penyantun
As-Shabuur = Yang Maha Sabar
Ar-Rauuf = Yang Maha Pengasih
Al-Kariim = Yang Maha Mulia
Asy-Syakuur = Yang Maha Pembalas Jasa
Al-Qudduus = Yang Maha Suci
Al-Waduud = Yang Maha Kasih
Al-Wali = Yang Maha Pelindung
al-Mulk = Maha Raja Diraja
Al-Mugaddim = Yang Mengawalkan
Al-Mu'akkhir = Yang Mengakhirkan
Al-Mu'thi = Yang Maha Pemberi
Al-Maani' = Yang Maha Pencegah
Al-Qabidh = Yang Maha Mengekang
Al-Basith = Yang Maha Melapangkan
Al-Mugiit = Yang Maha Pemberi
Al-Ghani = Yang Maha Kaya
Al-Mughni = Yang Mengkayakan
Ar-Razzaaq = Yang Maha Pemberi Rizki
Al-Fattaah = Yang Maha Pemberi Keputusan
An-Nafi' = Yang Memberi Manfaat
Al-Wahhaab = Yang Maha Pemberi
Al-Mujiib = Yang Maha Menjawab permohonan
Al-Hasiib = Yang Maha Awas
Al-Mush = Yang Maha Penghitung
Al-Jami' = Yang Maha Mengumpulkan
Al-Hakam = Yang Maha Adil
Sifat-sifat Allah Secara Umum

Karena Allah berada di luar batas persepsi manusia, [14] maka pengetahuan kita tentang Allah itu sangat terbatas dan dibatasi dengan deskripsi yang ada di dalam Al-Qur'an. Tatkala kita melakukan studi terhadap Nama-nama Indah Allah (Asma-ul Husna) dalam hubungannya dengan karakteristik-Nya yang lain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an, maka kita akan mendapatkan gambaran hal-hal sebagai berikut: bahwasanya Allah adalah Sang Maha Pencipta dan Dialah satu-satunya yang memberi kehidupan dan kematian; [15] bahwasanya Dia adalah Pemberi rezki yang menanggung rizki hamba-hambaNya; [16] bahwasanya Dia adalah Maha Benar, [17] cinta kebenaran dan benci kebohongan; [18] bahwa Dia Maha Jujur dan senang kejujuran, benci kecurangan tipu daya dan mengingkari amanah; [19] bahwa Dia tidak bisa ditipu dan dicurangi; [20] bahwasanya Dia itu adalah Maha Adil, cinta keadilan dan benci segala bentuk kezhaliman; [21] bahwa Dia adalah dzat Yang Maha Lembut, [22] yang mengampuni taubat dan permohonan maaf; [23] bahwa Dia lebih senang pada nasehat-nasehat yang baik; [24] bahwasanya Allah memenuhi janji-janji-Nya, [25] Dia benci segala bentuk pengingkaran janji dan sumpah; [26] Dia menghargai dan akan mengganjar semua perbuatan baik; [27] Dia selalu berjalan dengan Sunnah-Nya; [28] dan Dia tidak aka pernah menyimpang dari Sunnah-Nya. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu dan Dia sendirilah yang menjadi saksi terhadap semua janji, kontrak dan semua urusan yang dilakukan oleh manusia; [29] Dia akan membangkitkan manusia kembali dan akan menghitung amal-amal mereka; [30] bahwasanya timbangan (mizan) dan ukuran (qadar) adalah institusiNya; [31] Dia akan menimbang semua pekerjaan yang kecil maupun yang besar; [32] Dia akan mengadakan perhitungan itu dengan akurat dan detail terhadap amal setiap individu; [33] Dia adalah dzat Yang Maha Cepat dalam perhitungan; [34] dan Dia adalah Hakim Terakhir Yang Maha Adil; [35] Dia adalah pemegang kekuasaan mutlak apakah Dia akan menghukum ataupun mengampuni orang-orang yang melakukan perbuatan dosa. [36]
(bersambung)
Referensi:

  1. Fazlur Rahman. Major Themes of the Quran (Chicago : Bibliotheca Islamica, 1980, 1).
  2. Allah menurut Al-Quraan, tulis Izutsu. " bukan hanya sebagai yang supreme (Yang Maha Ting¬gi), namun la benar-benar Wujud yang benar-benar pantas disebut "Yang Maha Wujud" dalam arti kata yang sebenarnya". Toshihiko, God and Man in the Koran (Yew York : Books for Libraries. 1980, 75).
  3. "Allah adalah kata yang mendapat fokus istimewa di dalam Al-Qur'an. yang melampaui sernua medan semantik yang lain, dan tentunya semua sistem. " Ibid : hal 75.
  4. Ahmad Sakr, Al-Khuthab (Makkah : The Muslim World League, 1977, 153).
  5. Al-Qur'an : 6 : 1,73; 10: 3; 14: 19; 17:99;29:44;55:3;96: 1-2.
  6. Al-Qur'an : 17: 70; 95: 4.
  7. Al-Qur'an : 2 : 30; 6 : 165; 57: 7.
  8. Al-Qur'an : 33: 72. Salah satu kualitas yang membedakan manusia adalah bahwasanya Allah meniupkan roh-Nya pada manusia (Al-Qur'an :32: 9; 15: 29). Artinya ialah manusia diberi pilihan untuk memilih antara yang baik dan yang jelek. dan Allah menciptakan dalam diri manusia kesabaran, cinta dan belas kasihan. Dalam diri manusia terkandung makna kebesaran Tuhan: karena manusia pada hakikatnya adalah sebuah mikrokosmos (Yusuf Ali, op.cit., 1130, no.3781.
  9. Al-Qur'an : 96 :5. Saat berbicara tentang Allah, Fazlur Rahman mengatakan : "Eksistensi Allah, dalam Al-Qur'an, dengan tegas dinyatakan: "Dia adalah Pencipta dan Pemelihara semesta dan manusia. Dan secara khusus Dia adalah Pemberi petunjuk pada manusia dan Dia pula yang akan mengadili, baik secara individu maupun secara kolektif dan Allah memberikan padanya rahmat dan keadilan-Nya." (Fazlur Rahman : op.cit., 1).
  10. Ibid : 22 -23.
  11. Untuk mengetahui secara lengkap tentang Asma-ul Husna, Iihat Ahmad Syakir, op.cit. 153 - 58.
  12. Perkataan “Takhallaqu bi akhlaqillah” (Berakhlaklah kamu sebagaimana Akhlak Allah) adalah perkataan yang sangat masyhur di kalangan para sufi.
  13. Maulana Maududi menyatakan, "Keimanan kepada Allah, kepada sifat-sifat-Nya dan kepada prinsip-prinsip yang ada di dalam Al-Qur'an adalah sebagai pondasi awal dari perilaku seorang Muslim. Keimanan bukan saja mengontrol shalat, puasa, zakat dan hajinya seorang Muslim, namun ia juga mampu mengontrol perilaku bisnis di tengah pasar. Sayyid Abul A' la Maudu¬di, Mu'ayasyaati Islam. (Lahore : Islamic Publication, 1969, hal 163).
  14. Al-Qur'an : 6 : 103: 42: 11.
  15. Al-Qur'an : 30: 40. Al-Qur'an selalu memerintahkan kepada setiap Muslim untuk senantiasa secara konstan agar sadar akan esensi penciptaannya. Seorang Muslim yang kehilangan kesa¬daran akan anal penciptaannya, sesungguhnya prang tersebut tidak pantas lagi untuk menyan¬dang gelar sebagai Muslim dalam arti yang sesungguhnya. Dengan demikian kesadaran akan sangat berhubungan erat dengan masalah relasi hamba-Pencipta, yakni hubungan antara Allah dan manusia. (Izutsu, op.cit., 122).
  16. Al-Qur'an 6 : 151; 11 : 6; 30 : 40; 20: 123.
  17. Al-Qur'an : 6 : 115: 35 : 5; 51 : 5 - 6.
  18. Al-Qur'an : 19: 50; 39 : 32; 33 : 24; 9 : 119; 33 : 35.
  19. Al-Qur'an : 9 : 77: 3 : 9, 77. 161; 13 :31: 39: 20: 2 :9: 8 : 27.58; 22: 38; 4 : 107. Lihat juga Torrey, op.cit.. 18.
  20. AI-Qur'an : 2 : 9. Lihat juga Torrey. op.cit., 18.
  21. Al-Qur'an : 4 : 10, 40, 58: 5 : 9, 45; 6 : 115. 152, 160: 16 : 90; 21 : 47: 2 : 190, 279; 49 :9; 60 :8; 10: 54: 41: 46: 55 : 9: 57 : 25; 8 : 60; 3 : 108; 45 :
  22. Izutsu mendeskripsikan Allah sebagai : Tuhan keadilan yang tidak pernah melakukan kezhaliman pada siapa saja (Izutsu, op.cit.. 129).
  23. Al-Qur'an :5: 7; 6 : 152; 3 :30., Al-Qur'an : 9 : 104: 16 : 18: 35 :30.
  24. Al-Qur'an : 4 : 58.
  25. Al-Qur'an : 2:40; 9:11; 30:6; 31:33; 34: 3 - 4.
  26. Al-Qur'an : 5 : 92; 9:12; 16 : 91, 9:77; 8 :56; 6 : 152; 2 : 177; 2 : 27; 17 : 94; 23 : 8.
  27. Al-Qur'an : 2 : 268; 4 : 40: 8 : 28, 60; 9 : 120: 16 : 97; 21 : 105; 24:37, 38 dan 55; 28 :35; 30: 6; 47:5; 53: 40 -41: 55: 60.
  28. Al-Qur'an : 35 : 43.
  29. Al-Qur'an : 3 : 98; 4 : 33: 5 : 120; 10 : 61; 22 : 17: 58: 6 -7: 85 : 9. Lihat juga Fazlur Rah¬man, op.cit.. 37 - 38.
  30. Al-Qur'an ; 3 : 30: 58: 6: 39: 70: 69: 18 : 26. Lihat juga. Torrey, op.cit.. 129.
  31. Al-Qur'an : 42: 17; 55 : 7: 57: 25. Lihat, Torrey. op.cit.. 17.
  32. Al-Qur'an : 7 :8- 21 : 47; 7 : 8 - 9; 23: 102 -103: 101 : 6 - 8.
  33. Al-Qur'an : 72 : 28: 58 : 6: 18 : 49; 19 : 94: 36 : 12: 78 : 29. Mat Izutsu, op. cit. 129 dan Torrey, op.cit., 14- 15.
  34. Al-Qur'an : 6 : 62: 21 : 47: 2 :202; 3 : 19. 199: 13 : 41: 40 : 17. Juga lihat Torrey, op. cit., 11-12.
  35. Al-Qur'an :39: 3.7: 42 : 10: 60: 3, 10 dan 83 : 5 - 6.
  36. Al-Qur'an : 6 : 165: 10: 107: 47 : 38.
Prinsip-prinsip Bisnis dalam Al-Qur’an
Al-Qur' an dengan sangat eksplisit mendeskripsikan prinsip-prinsip tertentu yang Allah perintahkan dan kejahatan yang sama sekali tidak Dia ijinkan. Hidup dan nasib manusia secara langsung dipengaruhi dan dikontrol oleh prinsip-prinsip tersebut. Dengan demikian, ekpose singkat tentang prinsip-prinsip itu bukan sesuatu yang hanya dibutuhkan, namun pada saat yang sama ia merupakan sesuatu yang esensial untuk diketengahkan dalam tulisan ini. Untuk tujuan yang mulia ini dan juga demi memberikan kejelasan, prinsip-prinsip tersebut akan didiskusikan dalam hubungannya yang relevan dengan kehidupan, (1). Di dunia dan (2) Di akhirat.
1. Di Dunia
Allah menciptakan alam semesta dan menciptakan manusia untuk menghuni, mengeksplorasi dan mendayagunakan potensi dunia ini. [37] Dia memberikan pada manusia hikmah dan kekuatan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam. [38] Allah jadikan segala sesuatu berada dan takluk di bawah kekuatan manusia. [39] Dan Allah jadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. [40] Alasan mengapa manusia mendapat posisi yang demikian istimewa, telah Al-Qur' an terangkan. Pada saat segala apa yang ada di dunia diharuskan untuk mengikuti hukum alam yang Allah ciptakan tanpa reserve, [41] manusia diberi kemampuan dan kemerdekaan untuk memilih jalan yang baik atau jalan yang buruk. [42] Dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sekaligus bisa menentukan opsi (pilihan) di antara dua hal itu alas dasar pilihannya sendiri dan kemauan bebasnya. Karena kemauan bebas yang sangat istimewa [43] inilah Allah memberikan amanah dan tanggung jawab pada manusia untuk merealisasikan kehendak-Nya dalam bingkai moral. [44] Inilah, secara singkat raison d'etre tugas utama manusia di dunia.
Kehidupan dunia ini adalah sebuah ujian yang sangat krusial bagi manusia. Dia akan senantiasa dan terus menerus ada dalam ujian, untuk mampu melakukan penempatan kehendak bebasnya secara proporsional. [45] Realisasi dari kemauan Ilahi dalam hukum moral adalah amanah yang diambil secara sukarela ataupun terpaksa. [46] Sebagai tambahan pada rasio dan kapabilitas yang jernih dan tajam, Allah juga mengaruniakan kepada manusia satu etika moral yang komplet dan sempurna dalam bentuk Al-Qur' an, [47] dimana di dalamnya parameter kebaikan dan keburukan bisa dilihat dengan jelas dan sangat transparan untuknya. [48] Manusia diperintahkan untuk berperilaku sesuai dengan etika moral, guideline (petunjuk) yang ada di dalam Al-Qur' an. [49] Dia bukan hanya disuruh melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan, [50] namun ia juga diperintahkan untuk menyuruh pada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar). [51] Setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan kadar kapasitasnya, sebab Allah tidak akan menyuruh manusia di luar batas kemampuan dan kapasitasnya tersebut. [52]
Allah menempatkan manusia di dunia ini dalam posisi yang berbeda-beda. Oleh karena itulah perilaku mutualistis (saling menguntungkan) dan kooperatif (kerjasama) menjadi sebuah keharusan mutlak. [53] Namun demikian, itu tidak berarti bahwasanya posisi-posisi itu adalah sesuatu yang permanen dan juga sebagai indikasi adanya status final seseorang. Semua itu adalah sekedar variasi kesempatan yang disediakan dalam batas waktu yang terbatas, dalam rangka agar manusia mengaktualkan diri dan menunjukkan nilai dirinya. [54] Posisi final setiap individu manusia akan ditentukan nanti pada Hari Kiamat, berdasarkan rekam jejak kumulatif yang dia lakukan di dunia ini . Di sinilah terletak signifikan dan pentingnya kehidupan manusia yang terbatas di dunia ini. [55]
Di dunia ini mungkin saja manusia tidak memperoleh semua hasil dari apa yang dia kerjakan, walaupun dalam beberapa hal bisa ia peroleh, sebab Allah tidak menjadikan kehidupan dunia ini sebagai tempat untuk mencapai segalanya. Maka, perlu kiranya dicatat di sini, bahwasanya segala usaha manusia pasti akan mendapat balasan, jika tidak di dunia ini, pasti ia akan mendapat balasan di akhirat. [56] Oleh karena itulah manusia diperintahkan untuk bekerja keras dan melanjutkan perjuangan di jalan yang lurus tanpa kenal lelah dan jangan sampai resah dengan hasil yang ingin dicapai dengan segera. [57] Hasil yang akan dia capai akan sangat proporsional sesuai dengan kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan. [58] Maka jika ada kerusakan dan pengrusakan di dunia itu semua merupakan akibat dari perbuatan jahat manusia. [59] Jika seseorang yang melakukan kesalahan itu bertobat dan mengakui dosa-dosanya, Allah akan menerima tobat mereka, dan akan mengampuni semua dosa-dosanya. Allah juga akan melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. [60]
Kehidupan di dunia ini, sangat singkat, pendek dan remeh jika dibandingkan dengan kehidupan yang abadi di Akhirat. [61] Oleh karena itu AlQur' an sering kali menyebut kehidupan dunia ini hanya sebagai fatamorgana. [62] Masa hidup manusia di dunia ini telah pula Allah tentukan sebelumnya. [63] Allah telah menetapkan bahwa seluruh jiwa akan mencicipi kematian dan dia akan berpisah dengan dunia yang fana ini. [64] Sesungguhnya dunia yang kini kita berada akan berakhir pada saat yang telah ditentukan dan hanya Allah yang tahu. [65] Kehidupan yang abadi di akhirat akan dimulai saat dunia yang fana ini berakhir. Dua konsep tentang dunia kini dan Hari Akhir adalah dua konsep dimana satu dengan yang lainnya saling berhubungan yang tak mungkin bisa dibayangkan wujud salah satu di antaranya tanpa adanya yang lain. [66]
Walaupun kehidupan manusia di dunia sangatlah pendek, namun kehidupan ini sangatlah berarti sebab pada saat di dunia inilah manusia dituntut untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi hari akhirat. [67] Kehidupan di dunia ini adalah sebuah kesempatan yang diberikan pada manusia untuk berusaha mempersiapkan diri untuk membajak dan menanam "benih" (amal), baik untuk kesejahteraan hidup di dunia ini maupun untuk kesejahteraan hidup di akhirat. [68] Sedangkan hari akhirat adalah semata-mata merupakan masa memetik hasil kerja yang telah dilakukan dan dia tanam di dunia. [69] Semua tindakan manusia di dunia ini selalu dimonitor dan direkam serta disimpan di dalam buku amal (Book of Deeds, Kitab Amal), yang buku tersebut akan diberikan kepada manusia di Hari Pengadilan. [70] Tak ada yang terlewat dari ilmu Allah [71] karena Dia Maha Tahu dan yang selalu hadir di tengah-tengah manusia yang sedang berbisik-bisik dua orang atau lebih. [72]
Walaupun secara fakta apa yang dimiliki manusia, termasuk di dalamnya badan dan jiwanya adalah pemberian Allah, [73] namun demikian, Allah membuat dealing (jual beli) dengan manusia. Dengan membeli jiwa dan harta mereka dan menjanjikan pada mereka surga. [74]
Seorang Mukmin menerima jual beli ini dan menyerahkan jiwa serta semua hak miliknya kepada Allah; artinya ia mempergunakan semuanya itu untuk merealisasikan kehendak Allah. Yang dengan demikian dia yakin bahwa hasil yang akan dicapai adalah surga Allah. Dengan kata lain, kebahagiaan di Hari Kemudian seluruhnya sangat tergantung pada tindakan yang benar dari seseorang selama berada di dunia. [75]
2. Di Akhirat
Al-Qur'an menegaskan secara jelas dan tegas bahwa kehidupan manusia di dunia ini tidaklah berakhir dengan kematian. [76] Kematian hanyalah sebuah pintu gerbang pada sebuah kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan di dunia, yakni kehidupan alam akhirat, [77] yang menurut pandangan Al-Qur'an adalah sebuah kepastian dan tidak mungkin bisa dielakkkan. [78] Kehidupan di akhirat itu berbeda dengan kehidupan di dunia karena Allah telah mencantumkan prinsip-prinsip tertentu untuk mencapai itu. Beberapa keunikan di hari akhirat adalah sebagai berikut:
  1. Kehidupan di akhirat, tidak seperti kehidupan di dunia yang terbatas. Kehidupan akhirat tidak terbatas dan bersifat abadi. Keabadian (khulud) inilah yang merupakan satu hal yang sangat membedakan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. [79]
  2. Manusia tidak akan diberi satu cuil pun kesempatan untuk rektifikasi kesalahan-kesalahannya dan tidak pula diijinkan untuk menambah satu kebaikan apapun ke dalam buku neraca amalnya. [80] Di hari kiamat manusia hanya akan menerima ganjaran dan balasan sesuai dengan apa yang dia lakukan sebelumnya. [81] Oleh sebab itulah Al-Qur'an memperingatkan manusia agar mempersiapkan segalanya untuk menghadapi hari akhir itu selama berada di duni. [82]
  3. Penyesalan dan taubat bagaimanapun ikhlasnya itu dilakukan oleh seseorang pada hari Akhir, tidak akan lagi membawa faedah. [83]
  4. Di sana tidak ada lagi yang namanya bargaining (tawar menawar), tidak juga broker (perantara), tidak pula persahabatan dan tidak akan ada bantuan dari yang lain. Apa yang disebut bantuan terhadap segala macam bencana dan kemalangan yang ada di dunia ini, tidak lagi berlaku di akhirat. [84]
  5. Prinsip tanggung jawab personal akan diterapkan tanpa ada eksepsi (pengecualian) sama sekali. [85] Tak seorang pun mampu memberikan tebusan atau pengganti. Cara demikian tidak lagi bisa dan tidak akan diterima. [86]
  6. Prosedur prosekusi (penuntutan) akan terdiri dari hitungan amal, timbangan perbuatan dan pengecekan semua rekor saksi-saksi dari tindakantindakan setiap orang. [87] Pada saat itu tidak akan ada kemungkinan bagi seseorang untuk mengelak dan lari serta menyatakan pernyataan palsu serta bukti yang bohong. [88] Dan yang paling mengejutkan bagi para pelaku kejahatan saat itu ialah bahwasanya organ-organ tubuhnya akan memberikan kesaksian atas apa yang pernah mereka lakukan di dunia. [89]
  7. Pengadilan akhir atas orang dan individu akan Allah umumkan. [90] Pengadilan itu akan merupakan pengadilan yang seadil-adilnya yang didasarkan atas hitungan yang akurat dan sempurna serta bukti-bukti yang tidak mungkin untuk ditolak. [91]
  8. Setiap perilaku, baik ataupun buruk, akan dihitung, yang atas dasar perhitungan itulah manusia akan mendapat 'bayaran' secara penuh tanpa sedikit pun dikurangi. [92] Saat itu tidak akan ada seorang manusia pun yang akan didzalimi. [93] Dan tak ada amal perbuatan seorang pun yang akan diingkari bahkan dikurangi. [94]
  9. Mereka yang dinilai sebagai orang yang lurus akan Allah berikan tempat tinggal abadi di dalam surga. [95] Sebaliknya orang-orang yang dianggap bersalah dan pendosa, mereka akan dipaksa untuk masuk ke dalam neraka. [96]
Kesimpulan
Pertama : Al-Qur'an menghadirkan Allah sebagai contoh utama kepada manusia dalam segala perilaku mereka. Setiap Muslim diperintahkan untuk meniru sifat-sifat Allah dalam kehidupan mereka, termasuk di dalamnya, perilaku bisnis mereka.
Kedua : Al-Qur'an secara jelas menggambarkan sifat-sifat Allah dan semua prinsip-prinsip yang Allah perintahkan. Semua ini tidak bisa tidak akan mempengaruhi pikiran dan perilaku seorang Muslim, dan menggiring mereka melakukan yang terbaik dan yang sesuai dengan sifat-sifat Allah itu. Manusia-manusia yang seperti ini akan sangat tidak terlalu membutuhkan kekuatan ataupun otoritas luar untuk selalu merasa diawasi tingkah lakunya (karena ia sadar bahwasanya Allah akan selalu tahu, mengawasi dan tidak lalai terhadap tingkah dan perilakunya, yang biasa dikenal dengan konsep muragabatullahi, pent).
Pengetahuan tentang sifat-sifat Allah dan semua prinsip yang Dia perintahkan akan membentuk sebuah pendahuluan yang vital pada konsep-konsep yang unik tentang bisnis yang Al-Qur'an tawarkan.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
(Selesai)
Referensi:
  1. Al-Qur'an : 6 : 1, 73, 101; 10 : 3 ; 16 : 4; 16: 4; 25 : 54; 55 :3; 36 : 71; 2 : 29 dan pada surat 11 : 61 dengan firman-Nya : “ista'marakum fiiha”
  2. Al-Qur'an : 14: 32 - 33; 16: 12; 22: 65; 45: 13.
  3. Al-Qur'an : 45: 13; 22: 26; 7 : 54.
  4. Al-Qur'an:2: 30; 6: 165.
  5. Al-Qur'an : 7 : 54: 13 : 2 ; 22 : 18; 35 : 13; 2 : 216; 30 : 26 dan 3 : 83.
  6. Al-Qur'an : 76: 3; 90: 10; 17: 15; 2 : 185: 18 : 29.
  7. Al-Qur'an : 2 : 256; 7 : 146: 87:3; 76: 3; 27 : 92 dan 2 : 185.
  8. Al-Qur'an : 33: 72. Yusuf Ali menyatakan: "Manusia dengan demikian hendaknya meniru sifat—sifat Allah (walaupun dalam bentuk dan kadar yang sangat kecil), dalam hal Kehendak, Kesabaran, Kasih, Sayang yang membuat dia dekat pada Allah yang juga bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah." Yusuf Ali, op.cit., 1130, no. 3782.
  9. Al-Qur'an : 3 : 186: 6 : 165; 7 :163; 8 : 28; 18: 7: 21 : 35: 47: 31: 57: 25: 7 : 129.
  10. Al-Qur'an : 33 : 72. `hamala' : yang berarti membawa, memikul (amanah tanggung jawab). Inilah makna yang biasa ditafsirkan oleh mayoritas mufassir".(Yusuf Ali, op.cit., 1130, no. 3780).
  11. Al-Qur'an : 2:2, 185; 17: 9. Al-Qur'an menyebut kode moral itu dengan hudan Ii al-naas (petunjuk bagi manusia). Menurut Fazlur Rahman. "Al-Qur'an adalah Kitab yang secara dasar ditujukan pada manusia"; "la mendesak manusia untuk melakukan keutamaan-keutamaan nilai dan rasa tanggung jawab moral yang kuat".
  12. Al-Qur'an : 2 : 256; 12: 111; 17:12; 6 : 114.
  13. Al-Qur'an : 6 : 106; 10: 109; 75: 18; 7 : 3; 39: 55.
  14. Al-Qur'an : 39: 55; 28:50; 42: 15; 2 : 208: 7: 3: 6 : 155.
  15. Al-Qur'an : 7 : 199; 3 : 104, 110. 114; 9 : 71: 43 : 32.
  16. Al-Qur'an : 2:233.286; 6 : 152; 23 :62.
  17. Al-Qur'an : 6 : 165; 17: 21; 21 : 35; 4 : 32: 16: 71: 43: 32.
  18. Al-Qur'an : 21 : 35; 18 : 7: 6 : 165: 3 : 186; 76 : 2: 67 : 2.
  19. Al-Qur'an : 6 : 132; 17 : 21; 18 : 7, 46: 29: 6. Namun rezki Allah, itu meliputi semua nikmat, tidak hanya diberikan pada orang-orang yang beriman dan berperilaku baik selama hidup nya di dunia. Rezki Allah itu terbuka untuk diperoleh oleh siapa saja, baik orang-orang yang beriman maupun orang yang tidak beriman (Lihat Al-Qur'an : 17 : 20).
  20. Al-Qur'an : 3 : 171; 7 : 170; 9 : 120: 11 : 11; 16 : 41; 29 : 58; 3 : 185; 3 : 57; 11 : 15. Allah akan membalas semua perbuatan manusia ini secara penuh, kadang kala di dunia ini, dan yang pasti semua hasil perbuatan itu akan didapat di Yaum al-Hisaab (Hari Perhitungan). Untuk mengetahui secara detail dan rinci, silahkan lihat, Torrey, op.cit. , 19.
  21. Al-Qur'an : 9 : 105; 23 : 51; 34 : 11. Untuk lebih jelasnya lihat bab 2 dalam buku ini tentang sikap Al-Qur'an terhadap kerja.
  22. Al-Qur'an : 17 : 18-20, 30; 40: 58; 3 : 195; 9 : 94.
  23. Al-Qur'an : 30 : 41. Allah tidak suka fasad (kerusakan). yaitu tindakan koruptif dalam segala bentuknya. Hal ini bisa kita lihat di dalam Al-Qur'an pada : 2 : 205 dan 5 : 67. Saat mengomentari ayat 41 surat Ar-Ruum ini. Khallaf menyatakan bahwasanya, "Allah tidak suka terhadap semua pekerjaan jahat (evil-doing), yaitu tindakan-tindakan koruptif. Sebab semua kerusakan di dunia ini adalah tidak lain karena akibat tindakan manusia sendiri. Tatkala manusia melenceng dari jalan yang benar, Allah akan memberikan balasan untuk "mencicipi" akibat dari perbuatannya yang menyimpang tersebut" (Lihat Khallaf, op. cit. , 35). Fazlur Rahman juga menekankan tentang pentingnya kerja. Merupakan sebuah prinsip dan aturan main Tuhan bahwasanya semua apa yang menimpa manusia adalah konsekuensi dari perbuatan yang dia lakukan sebelumnya. Tak ada yang diperoleh manusia kecuali dari hasil buah tangannya yang dia lakukan (Untuk lebih jelasnya lihat. Fazlur Rahman, op.cit., 108).
  24. Al-Qur'an : 5 : 42: 6:54; 19: 60; 20: 82; 25 :70: 28: 67: 2 : 160; 3 :89; 11 :52; 11 : 90.
  25. AI-Qur'an : 4 : 77: 6:32; 9 : 38, 13 : 26: 29: 64; 18:46; 57 : 20; 16 : 117.
  26. Al-Qur'an : 3 : 185: 6 : 32; 29 : 64: 35 : 5; 57 : 20.
  27. Al-Qur'an : 6 : 2, 60; 7 :34: 10:49: 11 :3; 71 : 4; 23 : 43; 63 : 11: 34 :30; 16: 61.
  28. Al-Qur'an : 3 : 145, 185, 4 : 78: 21:35; 33: 16; 62 : 6; 39 : 20.
  29. Al-Qur'an : 4 : 77; 55 : 26.
  30. Al-Qur'an : 18: 99; 36: 51: 39 : 68; 78: 18. Izutsu telah mengkomparasikan hubungan antara dunia dan akhirat dengan hubungan antara suami dan isteri. Dia menulis : " Seorang laki-laki bisa dinyatakan sebagai seorang suami jika dia memiliki isteri. Konsep tentang suami ini, secara implisit mengandung makna tentang konsep adanya isteri dan sebaliknya. Demikian jugalah dengan konsep tentang dunia telah mengantarkan pada konsep tentang Hari Akhir. Al-Qur'an demikian konsern dengan adanya korelasi ini, sehingga dengan demikian dia menyebutkan dua kata itu secara bersamaan. Atau Dia sebutkan dalarn sebuah "nafas" dan nuansa yang sama. Lihat misalnya pada surat 8 : 67 (Izutsu, op.cit., 85).
  31. Al-Qur'an : 28: 77; 59: 18; 78:40: 82: 5; 89: 24; 2 : 110, 245; 73 : 20: 3 : 30; 17: 21.
  32. Al-Qur'an: 23 : 99- 101.7: 53; 32: 12- 14; 35 : 37; 11 : 93; 39: 93; 29 : 58.
  33. Al-Qur'an : 3 : 30; 16 : 111; 39 : 70; 18 : 49. Esensi Akhirat adalah akan bergantung pada sejauh mana usaha yang telah dilakukan manusia ini di dunia. Dan setiap manusia akan memetik semua apa yang telah dia kerjakan di dunia. Oleh karenanya Al-Qur'an menekankan agar setiap manusia "send something for the morrow" (mengirimkan sesuatu untuk hari esok). Lihat Al—Qur'an : 59: 18; dan lihat juga Fazlur Rahman, op.cit., 108.
  34. Al-Qur'an : 43: 19, 80; 82: 11; 78: 29; 17: 14; 69: 19, 25; 21 : 4; 58: 1; 10: 61.
  35. Al-Qur'an : 6:73; 9 : 105; 13:9: 23 : 93; 35 : 38; 21 : 81; 17 : 25; 2 : 29, 137; 8:43.; 5 : 112. Saat berbicara tentang sistem yang ada di dalam Al-Qur'an Izutsu mengungkap bahwasanya seluruh kegiatan manusia, bahkan hitungan detik dan menit dan sesuatu yang tampaknya tidak begitu penting di mata manusia, akan selalu ada di bawah pengawasan ketat Allah. " (Izutsu: op.cit., 129).
  36. Al-Qur'an : 57: 4; 20: 46; 4 : 108; 58: 7.
  37. A1-Qur'an : 30: 40; 2 : 29; 36 : 42, 71; 17: 20: 38: 39. Segala sesuatu yang dimiliki manusia adalah pemberian Allah, dimana dia dituntut untuk bisa bersyukur. Izutsu menyatakan ballwasanya. "kesadaran manusia akan ketergantungannya pada Tuhan adalah sebuah awal keimanan yang benar." (Lihat Izutsu : op.cit.. 129.
  38. Al-Qur'an : 9 : 111. Torrey menyebutkan bahwa ide tentang "jual beli" antara manusia dan Tuhan bukanlah hal yang asing bahkan di dalam ajaran kitab-kitab Yahudi dan Kristen. Walaupun dia dengan panjang lebar membahas ini, namun ada satu hal yang sangat menarik saat dia mengatakan tentang dealing Allah dengan manusia. Dia berkata "Hubungan antara Allah dan manusia memiliki watak komersial yang ketat. Allah adalah "Pedagang" yang ideal. Seluruh semesta berada di bawah perhitungan-Nya. Semua hal dihitung dan diukur. Buku (Al-Kitab) dan Timbangan (Al-Mizaan) adalah institusi-Nya. Dan Dia sendiri adalah sebagai dzat yang jujur dalam melakukan dealing. Kehidupan adalah sebuah bisnis, yang bisa untuk untung dan bisa pula rugi. Siapa saja yang melakukan kebaikan dan kejahatan, maka dia harus membayar ongkos perbuatannya itu, bahkan mungkin di dunia. Mungkin hutang dari tindakannya itu masih bisa diampuni, karena Allah bukanlah "Kreditur" yang keras. Kaum Muslimin memberikan "pinjaman" pada Allah, yang mereka bayarkan diawal untuk memperoleh Surga, dia menjual jiwanya pada-Nya, satu bargaining yang mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya orang-orang yang tidak beriman telah menggadaikan kebenaran Ilahi dengan harga yang murah, dan dia bangkrut. Setiap jiwa adalah jaminan terhadap hutang yang dia kontrakkan. Di Hari Kemudian Allah akan melakukan penghitungan terhadap setiap manusia. Aksi-aksi mereka di dunia akan dibacakan di dalam sebuah buku neraca, akan ditimbang di atas Mizan, setiap mereka akan dibayar sesuai dengan apa yang telah dikerjakan, tidak ada seorang pun yang akan dirugikan. Orang beriman dan tidak beriman akan mendapat ganjarannya. Kaum Muslimin (yang menerima banyak ganjaran atas semua amal kerjanya) akan menerima pahala yang demikian spesial. " Torrey, op.cit., 48.
  39. Al-Quraan : 22: 14, 23, 50, 56; 29: 66: 30: 40; 45: 26; 29: 57; 6 : 36; 7 : 57; 30: 50.
  40. Al-Qur’an : 19: 66 - 68; 16: 38; 2:28; 22: 66; 30: 40; 45: 26; 29:57: 6 : 36; 7:57;30: 50
  41. Al-Qur’an : 39: 68; 2 : 4; 4 : 77; 93: 4. Ajal di dalam welstanchung Quraani bukanlah titik terminal (pemberhentian) sesungguhnya dari wujud manusia. Ini hanyalah merupakan suatu ambang batas untuk menuju sebuah kehidupan yang sama sekali baru dan kekal (khulud).Lihat :Izutsu, op.cit., 130.
  42. Al-Qur'an : 2 : 245; 3 : 30, 77; 6 : 164; 39 : 7; 41 : 21; 58 : 6; 69 : 18 - 26; 83 : 5 - 6; 7 : 169: 11 : 19: 16: 60: 29: 64; 87: 17; 22: 7; 40: 59.
  43. Al-Qur'an : 44:56; 25 : 15; 4 : 14.77;2: 25; 43:71; 9 : 38; 72: 23; 50 : 34; 98: 6; 29: 64; 87 : 17.
  44. Al-Qur'an : 2 : 167; 26: 102; 39: 58; 32: 12-14;23: 99; 6 : 158
  45. Al-Qur'an : 20 : 15;40: 17-745: 22; 10: 52; 36: 54; 45: 28; 66: 7; 8:51;22: 10
  46. Al-Qur'an : 59 : 18: 78 : 40; 89 : 24; 2 : 110, 223; 73 : 20. Perbuatan baik yang dilakukan manusia di dunia ini Allah ambil sebagai bayaran awal (prabayar) untuk kehidupan Akhirat nanti. Dan manusia yang telah membayar di awal itu akan mendapatkan ganjaran dari Allah sesuai dengan apa yang dia bayarkan sebelumnya itu. Ini adalah laksana "hutang" yang diberikan pada Allah, yang nantinya akan Allah bayar. (Torrey, op.cit., 45)
  47. Al-Qur'an : 26 : 96 - 102, 39 : 54 -59; 3:90; 32 : 12 - 14; 35 : 37.
  48. Al-Qur'an : 2 : 123, 254-255; 74 : 48; 6 : 51, 70; 32 : 4: 40: 18; 30 : 13: 2 : 48.
  49. Al-Qur'an : 17 : 15; 39:7, 80 : 34-37; 2 : 48. 123, 134, 141, 281; 3 : 25.30; 10 : 30: 16 : 111; 82 : 19: 31 : 33. "Al-Qur'an secara berulang-ulang menyatakan bahwasanya setiap individu, laki-laki dan perempuan, bertanggung jawab terhadap apa yang mereka kerjakan. Satu ajaran Al-Qur'an yang menolak penebusan dosa oleh orang lain (Lihat : Fazlur Rahman op.cit.. 19.
  50. 86. Al-Qur'an : 2 : 123: 17 : 15; 39 : 7; 2:254; 3 : 91: 70 : 10 - 15: 5 : 39: 57 : 15. Lihat juga, Torrey, op.cit., 17.
  51. Al-Qur'an : 99:4 -5: 21 : 47, 94; 7 : 8-9: 41 :20-21:36:65: 11 : 18: 40: 51: 4:41-42,= 10: 46: 5 : 120; 22: 17; 56: 143; 4 : 159; 16: 84 : 22:78: 28: 75; 2 : 202,284; 84:8: 6 : 62; 3 : 19; 13: 18, 40. 14: 41; 23: 117; 88:26; 4 :86.
  52. Al-Qur'an : 20:74; 36: 65; 39: 60; 67: 9: 74: 46; 55: 41.
  53. Al-Qur'an : 41 : 20 - 21; 36: 65. Lihat juga Fazlur Rahman, op. cit. , 110.
  54. Al-Qur'an : 22: 17, 56 - 57; 40: 48; 3 : 55; 2 : 113; 13: 41; 60: 10
  55. Al-Qur'an : 21 : 47; 657; 60: 10; 10: 109; 95 :8; 13 : 40; 40: 17; 4 : 86; 72: 28; 58: 6; 18: 49; 36: 12; 78: 29.
  56. Al-Qur'an : 3 :30; 6 : 160; 2 : 22-t: 3 : 25; 39: 70; 21 : 47, 94; 16: 111; 99: 8. Tentang konsep perbuatan sebagai satu-satunya barang dagangan di Akhirat, lihat Fazlur Rahman, op.cit., 109 dan Torrey, op.cit., 16-17.
  57. Al-Qur'an : 4 : 77; 6 : 160; 2 : 272, 179, 3 : 25; 21 : 47; 16: 111„ 39: 70. Lihat juga Torrey, op.cit., 32.
  58. Al-Qur'an : 21 :94; 99: 7 - 8; 11 : 109; 3 : 171; 7 : 170; 9 : 120; 18 :30; 3 :57; 4 : 173
  59. Al-Qur'an : 4 : 124; 19 : 60; 13 : 23; 16 : 31; 35 : 33; 7 : 49: 39 : 73; 50: 34; 4 : 57; 58 : 22: 2: 25; 3 : 136, 198.
  60. Al-Qur'an : 40 : 60.76; 16: 29; 39: 72; 4 : 14: 59:17; 2 : 39, 81, 217, 257; 3 : 116; 5 : 83 ; 13 : 5; 72 : 23. Izutsu mengatakan, "bahwasanya konsep tentang Surga dan Neraka yang ada di dalam Al-Qur'an secara langsung berhubungan dengan kehidupan manusia di atas dunia ini. Hal ini sangat berhubungan dengan nilai-nilai moral manusia. Manusia selama berada di dunia disarankan dengan sangat untuk selalu memilih jalan-jalan menuju Surga dan menjauhi jalan—jalan yang mengantarkan ke Neraka" (Lihat Izutsu, op.cit.. 89)
 
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang tidak bisa disangkal dalam memberi perhatian pada dunia dan menilainya secara positif, dan sama sekali tidak menilai negatif. Oleh karena itulah Al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala sesuatu yang baik yang Allah ciptakan yang disediakan bagi dirinya. [1] Dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang Allah sediakan pada jalan yang benar adalah sama artinya dengan tidak menghargai karunia dan nikmat yang Allah berikan pada manusia.
Sebagaimana telah difahami bersama, bahwa amwal pada hakikatnya adalah merujuk pada semua parameter sumber-sumber alam. Yang menurut pandangan Al-Qur’an, itu adalah nikmat Allah, alat-alat provisi (perlengkapan), kesenangan dan kebanggaan. [2] Harta bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak juga sesuatu yang menjijikkan. Al-Qur’an menyatakan bahwa ia adalah sesuatu yang baik (khair) [3] dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia. [4] Al-Qur’an banyak menekankan untuk mempergunakan kekayaan dalam hal-hal baik, yang disebut infaq. [5] Implikasinya adalah bahwasanya mencari penghasilan, memiliki kekayaan bukan saja suatu hal yang baik, namun itu adalah hal yang sangat esensial agar orang bisa berinfak. Sebab sangat tidak mungkin seseorang akan berinfak jika dia tidak memiliki harta benda. [6]
Jadi, kekayaan itu tidaklah jelek. Yang dicela adalah tamak akan harta dan “menyembah” uang. Jika praktek dan kecakapan “menciptakan uang” itu mengakibatkan hancurnya nilai-nilai akhlak dan kehidupan akhirat yang lebih mulia, maka itulah yang menjijikkan. [7] Kekayaan itu dianggap sebagai fadl (karunia) [9] dan juga kebaikan (khair), dan ia dianggap sebagai salah satu karunia Allah yang besar. [10] Karena kekayaan itu adalah sesuatu yang baik, maka seorang Muslim diperintahkan untuk mencari dan menghasilkan harta serta berjuang dengan sekuat tenaga. Sebaliknya, tidak adanya harta kekayaan di tangan manusia dianggap sesuatu yang tidak diharapkan. [11] Tangan yang mengucurkan bantuan, dalam pandangan Islam, jauh lebih baik daripada tangan yang menerima kucuran bantuan. [12]
Jika harta dianggap sesuatu yang jelek, niscaya Allah tidak akan memasukkan dalam deretan apa yang dia sebut sebagai nikmat-Nya. Pada saat Allah berfirman pada rasul-Nya, Dia berfirman :
"…..Dan Dia mendapatkanmu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (Adh-Dhuha : 8)
Pernyataan bahwa harta itu adalah sebagai kebaikan, memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa kehidupan tanpa kekayaan itu tidak baik. [13] Rasulullah juga sangat menekankan pada umatnya untuk mencari harta yang halal dan menafkahkan hartanya pada jalan yang benar. [14] Harta dan anak digambarkan Al-Qur’an sebagai sumber kekuatan dan kehormatan. [15] Dengan dinyatakannya harta kekayaan sebagai qiyaam (alat pendukung), secara jelas Al-Qur’an menegaskan bahwasanya harta kekayaan itu hendaknya diperlakukan dengan adil pada semua lapisan masyarakat. Jika harta tidak disebarkan dengan adil dan dengan distribusi yang tidak seimbang di dalam sebuah masyarakat, maka harta kekayaan bukan lagi sebagai alat pendukung dan sesuatu yang baik. Harta hanya akan menjadi kanz (harta simpanan) manakala tidak dikeluarkan hak-haknya. Maka Allah akan menimpakan pada orang itu siksaan dan azab. [16] Dengan mengatakan bahwa harta kekayaan itu sebagai sesuatu yang baik (khair), artinya adalah bahwa harta harus diperoleh dengan cara yang fair dan legal yang kemudian juga dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik. [17] Allah tidak akan menerima pembelanjaan harta benda di dalam jalan yang khabits (jelek). [18]
Walaupun kekayaan adalah sesuatu yang baik, namun obsesi, kecintaan yang berlebihan dan tamak pada harta benda adalah hal yang benar-benar tercela. Orang yang kerasukan rasa cinta pada harta tidak akan lagi memperhatikan cara-cara yang baik dan benar demi untuk menimbun harta. Bahkan dia tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk mencapai hal tersebut. Eksploitasi dan komersialisasi kemiskinan dan orang-orang miskin, monetisasi dan kapitalisasi jaringan umat yang tsiqah pada pimpinan untuk kepentingan pribadi, memperjualbelikan posisi politik dengan harga tertentu; adalah cara-cara yang masuk kategori hina, karena mengeksploitasi hak-hak kalangan rakyat kecil dan lemah, dan menjadi instrument dalam proses pemasungan hak dan pelecehan orang-orang kecil dan miskin. [19] Proses perolehan harta seperti itu dilarang dan dikutuk oleh Allah dalam Al-Qur’an karena hal tersebut “mencegah manusia untuk menghargai nilai-nilai yang lebih tinggi”, dan membuat harta kekayaan sebagai suatu obsesi yang diimpikan dan dikhayalkan selalu. [20] Sepanjang seseorang memperoleh harta kekayaan itu dengan cara yang baik, legal, transparan dan halal, maka tidak ada satu ayat pun yang mencelanya. Demikian juga dengan akumulasi harta ia tidak dicela sepanjang hak-hak harta benda itu tidak diinjak-injak. [21]
Perolehan harta dengan cara yang halal dipandang oleh Al-Qur’an sebagai sesuatu yang suci yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan potong tangan bagi siapa yang dengan sengaja melakukan pencurian dan hukuman mati bagi yang korupsi, karena telah mengambil hak orang lain secara tidak sah. [22] Orang-orang yang terbunuh karena gigih mempertahankan hartanya dan membela hak miliknya, digolongkan sebagai orang yang mati syahid. [23] Yang dikutuk adalah jika harta tersebut didapat dengan cara-cara yang tidak jelas, tidak legal dan tidak halal. Orang yang demikian biasanya tidak akan pernah puas menimbun harta dan tidak mau mendistribusikannya untuk orang lain, sehingga orang-orang yang berhak menerimanya tidak menikmati manfaat harta tersebut. [24] Uang atau harta benda bukanlah tujuan akhir dari pengumpulan harta kekayaan tersebut. Ia adalah sarana untuk meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Sedangkan jika uang telah dijadikan sebagai motivasi dan obsesi kehidupan, maka korupsi, kolusi dan nepotisme pun akan menjadi sesuatu yang bukan saja tidak mungkin bisa dihindari, tetapi akan menjadi sikap dan perilaku yang membudaya. [25]
Kepemilikan Harta
Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menyifati kepemilikan kekayaan pada manusia. Penyifatan seperti ini bukan berarti manusia adalah pemilik hakiki. Menurut Abdul Qadir ‘Awdah, ini hanya bermakna bahwa manusia bisa mengambil manfaat dari apa yang Allah berikan. Penyifatan kepemilikan pada manusia ini dalam spiritnya sama tatkala harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang bodoh (as-sufaha’) dan saat disifatkan kepemilikannya pada orang yang menjadi wali mereka. [26]
Allah sebagai pemilik hakiki dari kekayaan ini memberikan mandat kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya yang diberi karunia-Nya sebagai pemilik sementara harta itu, dan diberi wewenang untuk mengatur harta benda itu dengan sebaik-baiknya. [27] Hubungan ini mengharuskan manusia untuk tidak segan-segan dan tidak merasa keberatan dalam mengeluarkan harta dan kekayaan yang dimilikinya, ketika Allah menginginkan darinya untuk menggunakan harta itu; dan pada saat yang sama tidak boleh menggunakan otoritasnya dalam harta kekayaan itu dengan semena-mena dan di jalan yang tidak disukai Allah. [28] Artinya adalah bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak yang absolut dari harta kekayaan itu. Dia hanyalah pemilik yang serba terbatas. Dengan demikian dia hanya memiliki hak guna pakai, itupun harus sesuai dengan apa yang telah diatur dan diundangkan Allah. [29]
Konsep tentang kepemilikan harta tanpa batas ditentang oleh Al-Qur’an. Allah mengutuk kaum Nabi Syu’aib yang berlaku demikian. Kapitalisme yang menganut asas kepemilikan absolut atas modal atau harta, dengan cara-cara perolehan dan penggunaanya yang mengabaikan nilai-nilai moral dan agama, jelas ditolak oleh Islam. Oleh karenanya, seorang Muslim yang istiqamah tidak mungkin menjadi seorang kapitalis.
Dalam kapasitasnya sebagai pemilik mutlak, Allah telah menentukan bagian tertentu dari harta yang dititipkan kepada khalifah-Nya untuk dia bagikan kepada segmen masyarakat tertentu yang berhak menerimanya, karena harta itu adalah hak mereka. [30] Dalam kaitan dengan hal ini, ketidaksamaan pemilikan kekayaan pada manusia adalah suatu realitas alami yang merupakan hikmah dan kebijakan Allah. Jadi tidak perlu ada semacam perasaan iri atau dengki terhadap mereka yang memiliki harta melebihi dari yang lain. [31]
Seorang Muslim memiliki hak untuk menggunakan dan mengatur harta miliknya dengan cara yang baik sebagaimana halnya seseorang yang mendapatkan amanah dan wali yang bertugas menjaga hartanya. Jika dia gagal mengatur hal tersebut, maka pemerintahan Islam diperintahkan utk mengambil alih, demi kepentingan yang lebih besar bagi sang pemilik maupun juga bagi masyarakat. [32]
Sumber Pendanaan
Al-Qur’an telah meletakkan konsep yang mendasar tentang pencarian harta kekayaan dengan kriteria hukum halal dan haram. Semua bentuk praktek-praktek manipulatif, kecurangan, kebohongan, pemanfaatan institusi tanpa izin, pengambil alihan atau pemindahan hak orang lain secara sembunyi-sembunyi, ketidak-transparanan yang berhubungan dengan transaksi untuk mendapatkan harta dan kekayaan dilarang. Semua larangan itu berdasarkan satu prinsip: Jangan ada ketidakadilan dan jangan ada kebohongan serta penipuan. [33]
Perbedaan antara halal dan haram bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun cara, proses dan sarana untuk mencapai tujuan itu juga haruslah baik dan benar. [34] Perintah Al-Qur’an untuk mencari penghidupan (nafkah) setelah melakukan ibadah ritual, mengimplikasikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mencari harta dan pendanaan. [35] Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga mendaknya menyucikan niat dan metode dalam mencari nafkah atau pendanaan. Begitu pentingnya makna mencari nafkah dan pendanaan ini dengan jalan halal, sampai-sampai Rasulullah saw menyatakannya sebagai sesuatu yang fardhu, yang hapir sejajar dengan ibadah mahdhah. [36] Bahkan diterima dan tidaknya shalat, banyak tergantung pada halal tidaknya pakaian yang dipakai orang yang shalat tersebut.
“Jika seseorang memakai baju seharga sepuluh dirham, sedangkan satu dirham di antaranya dia peroleh dengan cara tidak halal, maka shalat yang dia kerjakan tidak akan diterima Allah.” (HR.Tirmidzi).
Karena demikian pentingnya masalah halal dan haram dalam memperoleh nafkah dan pendanaan, maka aturan tentang hal ini dibuat dengan jelas dan lengkap dalam Islam. [37]
Rasulullah saw sangat konsern dengan persoalan yang menyangkut penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini. Beliau sangat memperhatikan dari mana seorang memperoleh harta dan pendanaan. Beliaulah yang merumuskan formula yang sangat terkenal min ayna laka haadza? (darimana kamu dapat ini semua?). Umar bin Khathathab adalah khalifah yang dengan tegas mempraktekkan formula ini untuk para gubernur dan para pejabat di jajaran pemerintahannya. [38] Pada saat dia menduduki kursi khilafah, dia mengembalikan semua harta peninggalan para pendahulunya ke Baitul Maal, karena dia menganggap semua itu dihasilkan dengan cara yang subhat dan tidak halal. [39]
Bahkan meskipun seseorang telah memperoleh harta dengan cara yang halal, misal dari hasil bisnis yang jelas, accountable serta auditable, pemilik harta tersebut tidak diperkenankan membelanjakan harta semaunya, seperti membeli sarana atau assesoris pribadi berharga ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dia dituntut untuk menghindari pemborosan, walaupun uangnya itu dipergunakan untuk belanja sesuatu yang mubah. Apalagi di tengah kondisi lingkungan sosial ekonomi masyarakatnya yang tengah susah. [40] Pemilik harta kekayaan diperintahkan untuk memenuhi tanggung jawab tertentu dan mengikuti petunjuk yang telah diatur Allah agar dia menggunakan hartanya secara benar dan santun. [41] Ini semua demi kepentingan pemilik harta khususnya, dan sekaligus demi menjaga kemaslahatan dan stabilitas sosial, ekonomi dan politik di masyarakat pada umumnya. [42]
Jadi apabila masyarakat mempertanyakan seorang tokoh atau pemimpin, apalagi da’i yang mendadak menjadi kaya raya dan mampu membeli beberapa mobil mewah berharga miliaran rupiah, membangun rumah istana beserta villa megah dan indah bernilai belasan miliar, bahkan mampu memiliki pulau pribadi, -sementara bisnis tokoh tersebut tidak jelas dan tidak ada yang tahu usahanya apa- dari mana dia memperoleh kekayaan tersebut, adalah wajar-wajar saja. Bahkan masyarakat tersebut mungkin sedang mengikuti sunnah Nabi, dengan mengikuti formula beliau yang sangat terkenal, berupa pertanyaan: “min ayna laka haadza, ya ustaadz…?”
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Referensi:

  1. Al-Qur’an : 29:61 ; 14:32 ; 16:14 ; 45:13 ; 22:36-37.
  2. Al-Qur’an : 62:10 ; 73:20 ; 16:6 ; 17:70 ; 7:32.
  3. Al-Qur’an : 12:180, 215
  4. Al-Qur’an : 4:5 ; Lihat: Ibrahim Athahawi, Al-Iqtishad Al-Islamiy, Kairo, Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyah, 1974, vol.I hal. 184.
  5. Al-Qur’an : 17:100 ; 2:195, 254, 267 ; 63:10 ; 64:16. Infaq bisa dimaksudkan sebagai alat untuk tujuan-tujuan yang bersifat personal, sebagaimana ia juga ia ditujukan untuk ,menggapai keridhaan Allah dengan mempergunakannya dalam hal-hal yang baik, yang tidak dimaksudkan untuk tujuan keduniaan. Al-Qur’an lebih banyak menggunakan terma infaq ini pada yang kedua (Mu’jam. op.cit. , vol. 2, 749).
  6. Mahmud Muhammad Babili, Al-Maal fi al-Islam (Beirut : Daar al-Kitab Al-Lubnani, 1975, hal. 101).
  7. Al-Qur’an : 102-1-3; 3:180; 28:58. Lihat: Sayyid Abul A’la Maududi, Mu’ayasyaati Islamí, (Lahore: Islamic Publication, 1969, hal.90-91).
  8. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hal. 108)
  9. Al-Qur’an : 62:10; 73:20 5:22; 24:22; 27:16; 30:23.
  10. Fazlur Rahman , op.cit. , 38-39.
  11. Al-Qur’an : 2:268; 3:181; 8:26; 4:97. Ada dua hadist yang sangat terkenal tentang kefakiran ini. 1. Hampir saja kemiskinan, berubah menjadi kekufuran (HR. Thabarani). 2. Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari kekafirandan saya berlindung kepada-Mu dari kefakiran. (Babili, op.cit. , 39). 1
  12. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hadits ini dikutip oleh Babili, op.cit., hal.39-40.
  13. Al-Qur’an : 2:180. khair dalam ayat ini ditafsirkan sebagai maal (harta).
  14. Babili mengutip tiga hadist mengenai perintah rasulullah bagi umatnya untu mencari harta (lihat Babili, op.cit. 19-21).
  15. Al-Qur’an : 71:13. untuk lebih jelasnya lihat : Muhammad Sami, Al-Maal fi Al-Qur’an wa Sunnah (Kairo: Maktabah Al-Wa’d Al-Arabi, tanpa tahun, hal. 15).
  16. Al-Qur’an : 9:34. Lihat Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  17. Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  18. .Al-Qur’an : 2:267.
  19. Al-Qur’an : 89:17-20. Banyak sekali hadist yang dengan tegas melarang dan mencela orang-orang yang menjadi hamba uang . Lihat: Muhammad Abdul Mun’im Khallaf, Al-Madiyyah Al-Islamiyyah wa ‘Ab’aaduha, (Kairo: Daar al-Ma’arif, tanpa tahun, hal.30) juga: Babili, op.cit. , 25,29.
  20. Lihat Fazlur Rahman, op.cit.,39, yang mengutip ayat-ayat di bawah ini: 3:14, 185,197 4:77; 9:38 10:23,70; 13:36; 16:117; 28:60; 40:39; 42:36; 43:35 47:2o.
  21. Babili, op.cit. , 18
  22. Al-Qur’an : 5:41
  23. Lihat, Muzaffar Hussain, Motivation for Ecoomics in Islam (Lahore: All Pakistan Islamic Education Congress, 1974, hal.37)
  24. Babili, op.cit.,18
  25. Lihat, Ala’Uddin Kharufah, Ar-Ribaa wa al-Faidah (Baghdad: Mathba’ah As-Sina, 1962, hal.33, dan Fazlur Rahman, op.cit.,108.
  26. Al-Qur’an: 4:5. Lihat Muhammad Al-Mubarak, Nizham Al-Islam Al-Iqtishadi wa Qawa’d Ammah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1972, hal.89. Juga Awdah, op.cit.,42-43.
  27. Al-Qur’an: 28:77. Lihat Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Daar al-‘Ulum, 1968, hal.13-14). Dalam hal ini kita menggunakan terma possessor-owner, possessor karena manusia memiliki sejumlah harta tertentu, sedangkan owner karena mereka memiliki otoritas untuk mengguakan harta itu.
  28. Al-Qur’an: 24:33; 65:7 14:31; 16:71 2:254; 63:10 439; 57:7. Lihat ‘Awdah, op,cit.,40-43.
  29. ‘Awdah, op.cit.,38.
  30. Al-Qur’an: 17:26; 30:38. Lihat Sayyid Quthb, Fii Zhilal al-Qur’an, 5th. (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1967, hal.64-65); Mufti Syafi’,op.cit,106-107; dan ‘Awdah, op.cit.,48-49.
  31. Al-Qur’an: 4:7; 43:32 4:32; 16:17; 6:165 Lihat S.M.Yusuf, op.cit.,106-107; dan Al-Maududi, op.cit.,79.
  32. Lihat Ath-Thahawi, op.cit.,206; untuk mendukung pendapatnya ini Ath-Thahawi mengutip ayat Al-Qur’an yang memerintahkan hajr ala as-afiih (menahan harta orang yang belum sempurna akalnya). (Al-Qur’an: 4:5).
  33. Ishaq Musa Al-Husaini, Hisbah in Islam, dalam jurnal The Islamic Quarterly, 10, no.3, 1966.
  34. Anwar Iqbal Qureisyi, the Economic and Social System of Islam (Lahore: Islamic Book Service, 1979, hal.60).
  35. Lihat M.Hussain, op.cit.,11.
  36. Lihat tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan pentingnya mencari nafkah atau pendanaan yang halal ini dalam buku M.Hussain, op.cit.,13. Dia banyak mengutip tentang hal tsb dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
  37. Untuk bahasan yang lebih detil dan luas tentang masalah memperoleh penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,93-96; Maududi, op.cit.,93. Sedangkan bahasan tentang cara terlarang dalam memperoleh pendanaan, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,99-101; dan Maududi, op.cit.,27,83-89,91-93 dan 122-123.
  38. Lihat bahasan ini dalam karya: Abdul Mu’im Khafaji, Al-Islam wa an-Nazhariyyat al-Iqtishadiyyah (Beirut: Daar al-Kitaab al-Lubnani, 1973, hal.76,81).
  39. Lihat Khafaji, op.cit.,76,81.
  40. Al-Qur’an: 25:67; 17:29; 7:31; 26:151-152.
  41. Lihat Hamdi Amin Abdul Hadi, Al-Fikrah Al-Idariyyah Al-Islamiyyah wa Al-Muqaranah (Kairo: Daar al-Fikr al-‘Arabi, 1976, hal.184-185).
  42. Lihat Al-Mubarak, op.cit.,72-74; Maududi, op.cit.,27,28,58; Mufti Syafi, op.cit.,15,37; Sayyid Quthb, op.cit.,10.

Al-Qur’an dan Kekayaan

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang tidak bisa disangkal dalam memberi perhatian pada dunia dan menilainya secara positif, dan sama sekali tidak menilai negatif. Oleh karena itulah Al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala sesuatu yang baik yang Allah ciptakan yang disediakan bagi dirinya. [1] Dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang Allah sediakan pada jalan yang benar adalah sama artinya dengan tidak menghargai karunia dan nikmat yang Allah berikan pada manusia.
Sebagaimana telah difahami bersama, bahwa amwal pada hakikatnya adalah merujuk pada semua parameter sumber-sumber alam. Yang menurut pandangan Al-Qur’an, itu adalah nikmat Allah, alat-alat provisi (perlengkapan), kesenangan dan kebanggaan. [2] Harta bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak juga sesuatu yang menjijikkan. Al-Qur’an menyatakan bahwa ia adalah sesuatu yang baik (khair) [3] dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia. [4] Al-Qur’an banyak menekankan untuk mempergunakan kekayaan dalam hal-hal baik, yang disebut infaq. [5] Implikasinya adalah bahwasanya mencari penghasilan, memiliki kekayaan bukan saja suatu hal yang baik, namun itu adalah hal yang sangat esensial agar orang bisa berinfak. Sebab sangat tidak mungkin seseorang akan berinfak jika dia tidak memiliki harta benda. [6]
Jadi, kekayaan itu tidaklah jelek. Yang dicela adalah tamak akan harta dan “menyembah” uang. Jika praktek dan kecakapan “menciptakan uang” itu mengakibatkan hancurnya nilai-nilai akhlak dan kehidupan akhirat yang lebih mulia, maka itulah yang menjijikkan. [7] Kekayaan itu dianggap sebagai fadl (karunia) [9] dan juga kebaikan (khair), dan ia dianggap sebagai salah satu karunia Allah yang besar. [10] Karena kekayaan itu adalah sesuatu yang baik, maka seorang Muslim diperintahkan untuk mencari dan menghasilkan harta serta berjuang dengan sekuat tenaga. Sebaliknya, tidak adanya harta kekayaan di tangan manusia dianggap sesuatu yang tidak diharapkan. [11] Tangan yang mengucurkan bantuan, dalam pandangan Islam, jauh lebih baik daripada tangan yang menerima kucuran bantuan. [12]
Jika harta dianggap sesuatu yang jelek, niscaya Allah tidak akan memasukkan dalam deretan apa yang dia sebut sebagai nikmat-Nya. Pada saat Allah berfirman pada rasul-Nya, Dia berfirman :
"…..Dan Dia mendapatkanmu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (Adh-Dhuha : 8)
Pernyataan bahwa harta itu adalah sebagai kebaikan, memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa kehidupan tanpa kekayaan itu tidak baik. [13] Rasulullah juga sangat menekankan pada umatnya untuk mencari harta yang halal dan menafkahkan hartanya pada jalan yang benar. [14] Harta dan anak digambarkan Al-Qur’an sebagai sumber kekuatan dan kehormatan. [15] Dengan dinyatakannya harta kekayaan sebagai qiyaam (alat pendukung), secara jelas Al-Qur’an menegaskan bahwasanya harta kekayaan itu hendaknya diperlakukan dengan adil pada semua lapisan masyarakat. Jika harta tidak disebarkan dengan adil dan dengan distribusi yang tidak seimbang di dalam sebuah masyarakat, maka harta kekayaan bukan lagi sebagai alat pendukung dan sesuatu yang baik. Harta hanya akan menjadi kanz (harta simpanan) manakala tidak dikeluarkan hak-haknya. Maka Allah akan menimpakan pada orang itu siksaan dan azab. [16] Dengan mengatakan bahwa harta kekayaan itu sebagai sesuatu yang baik (khair), artinya adalah bahwa harta harus diperoleh dengan cara yang fair dan legal yang kemudian juga dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik. [17] Allah tidak akan menerima pembelanjaan harta benda di dalam jalan yang khabits (jelek). [18]
Walaupun kekayaan adalah sesuatu yang baik, namun obsesi, kecintaan yang berlebihan dan tamak pada harta benda adalah hal yang benar-benar tercela. Orang yang kerasukan rasa cinta pada harta tidak akan lagi memperhatikan cara-cara yang baik dan benar demi untuk menimbun harta. Bahkan dia tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk mencapai hal tersebut. Eksploitasi dan komersialisasi kemiskinan dan orang-orang miskin, monetisasi dan kapitalisasi jaringan umat yang tsiqah pada pimpinan untuk kepentingan pribadi, memperjualbelikan posisi politik dengan harga tertentu; adalah cara-cara yang masuk kategori hina, karena mengeksploitasi hak-hak kalangan rakyat kecil dan lemah, dan menjadi instrument dalam proses pemasungan hak dan pelecehan orang-orang kecil dan miskin. [19] Proses perolehan harta seperti itu dilarang dan dikutuk oleh Allah dalam Al-Qur’an karena hal tersebut “mencegah manusia untuk menghargai nilai-nilai yang lebih tinggi”, dan membuat harta kekayaan sebagai suatu obsesi yang diimpikan dan dikhayalkan selalu. [20] Sepanjang seseorang memperoleh harta kekayaan itu dengan cara yang baik, legal, transparan dan halal, maka tidak ada satu ayat pun yang mencelanya. Demikian juga dengan akumulasi harta ia tidak dicela sepanjang hak-hak harta benda itu tidak diinjak-injak. [21]
Perolehan harta dengan cara yang halal dipandang oleh Al-Qur’an sebagai sesuatu yang suci yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan potong tangan bagi siapa yang dengan sengaja melakukan pencurian dan hukuman mati bagi yang korupsi, karena telah mengambil hak orang lain secara tidak sah. [22] Orang-orang yang terbunuh karena gigih mempertahankan hartanya dan membela hak miliknya, digolongkan sebagai orang yang mati syahid. [23] Yang dikutuk adalah jika harta tersebut didapat dengan cara-cara yang tidak jelas, tidak legal dan tidak halal. Orang yang demikian biasanya tidak akan pernah puas menimbun harta dan tidak mau mendistribusikannya untuk orang lain, sehingga orang-orang yang berhak menerimanya tidak menikmati manfaat harta tersebut. [24] Uang atau harta benda bukanlah tujuan akhir dari pengumpulan harta kekayaan tersebut. Ia adalah sarana untuk meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Sedangkan jika uang telah dijadikan sebagai motivasi dan obsesi kehidupan, maka korupsi, kolusi dan nepotisme pun akan menjadi sesuatu yang bukan saja tidak mungkin bisa dihindari, tetapi akan menjadi sikap dan perilaku yang membudaya. [25]
Kepemilikan Harta
Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menyifati kepemilikan kekayaan pada manusia. Penyifatan seperti ini bukan berarti manusia adalah pemilik hakiki. Menurut Abdul Qadir ‘Awdah, ini hanya bermakna bahwa manusia bisa mengambil manfaat dari apa yang Allah berikan. Penyifatan kepemilikan pada manusia ini dalam spiritnya sama tatkala harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang bodoh (as-sufaha’) dan saat disifatkan kepemilikannya pada orang yang menjadi wali mereka. [26]
Allah sebagai pemilik hakiki dari kekayaan ini memberikan mandat kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya yang diberi karunia-Nya sebagai pemilik sementara harta itu, dan diberi wewenang untuk mengatur harta benda itu dengan sebaik-baiknya. [27] Hubungan ini mengharuskan manusia untuk tidak segan-segan dan tidak merasa keberatan dalam mengeluarkan harta dan kekayaan yang dimilikinya, ketika Allah menginginkan darinya untuk menggunakan harta itu; dan pada saat yang sama tidak boleh menggunakan otoritasnya dalam harta kekayaan itu dengan semena-mena dan di jalan yang tidak disukai Allah. [28] Artinya adalah bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak yang absolut dari harta kekayaan itu. Dia hanyalah pemilik yang serba terbatas. Dengan demikian dia hanya memiliki hak guna pakai, itupun harus sesuai dengan apa yang telah diatur dan diundangkan Allah. [29]
Konsep tentang kepemilikan harta tanpa batas ditentang oleh Al-Qur’an. Allah mengutuk kaum Nabi Syu’aib yang berlaku demikian. Kapitalisme yang menganut asas kepemilikan absolut atas modal atau harta, dengan cara-cara perolehan dan penggunaanya yang mengabaikan nilai-nilai moral dan agama, jelas ditolak oleh Islam. Oleh karenanya, seorang Muslim yang istiqamah tidak mungkin menjadi seorang kapitalis.
Dalam kapasitasnya sebagai pemilik mutlak, Allah telah menentukan bagian tertentu dari harta yang dititipkan kepada khalifah-Nya untuk dia bagikan kepada segmen masyarakat tertentu yang berhak menerimanya, karena harta itu adalah hak mereka. [30] Dalam kaitan dengan hal ini, ketidaksamaan pemilikan kekayaan pada manusia adalah suatu realitas alami yang merupakan hikmah dan kebijakan Allah. Jadi tidak perlu ada semacam perasaan iri atau dengki terhadap mereka yang memiliki harta melebihi dari yang lain. [31]
Seorang Muslim memiliki hak untuk menggunakan dan mengatur harta miliknya dengan cara yang baik sebagaimana halnya seseorang yang mendapatkan amanah dan wali yang bertugas menjaga hartanya. Jika dia gagal mengatur hal tersebut, maka pemerintahan Islam diperintahkan utk mengambil alih, demi kepentingan yang lebih besar bagi sang pemilik maupun juga bagi masyarakat. [32]
Sumber Pendanaan
Al-Qur’an telah meletakkan konsep yang mendasar tentang pencarian harta kekayaan dengan kriteria hukum halal dan haram. Semua bentuk praktek-praktek manipulatif, kecurangan, kebohongan, pemanfaatan institusi tanpa izin, pengambil alihan atau pemindahan hak orang lain secara sembunyi-sembunyi, ketidak-transparanan yang berhubungan dengan transaksi untuk mendapatkan harta dan kekayaan dilarang. Semua larangan itu berdasarkan satu prinsip: Jangan ada ketidakadilan dan jangan ada kebohongan serta penipuan. [33]
Perbedaan antara halal dan haram bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun cara, proses dan sarana untuk mencapai tujuan itu juga haruslah baik dan benar. [34] Perintah Al-Qur’an untuk mencari penghidupan (nafkah) setelah melakukan ibadah ritual, mengimplikasikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mencari harta dan pendanaan. [35] Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga mendaknya menyucikan niat dan metode dalam mencari nafkah atau pendanaan. Begitu pentingnya makna mencari nafkah dan pendanaan ini dengan jalan halal, sampai-sampai Rasulullah saw menyatakannya sebagai sesuatu yang fardhu, yang hapir sejajar dengan ibadah mahdhah. [36] Bahkan diterima dan tidaknya shalat, banyak tergantung pada halal tidaknya pakaian yang dipakai orang yang shalat tersebut.
“Jika seseorang memakai baju seharga sepuluh dirham, sedangkan satu dirham di antaranya dia peroleh dengan cara tidak halal, maka shalat yang dia kerjakan tidak akan diterima Allah.” (HR.Tirmidzi).
Karena demikian pentingnya masalah halal dan haram dalam memperoleh nafkah dan pendanaan, maka aturan tentang hal ini dibuat dengan jelas dan lengkap dalam Islam. [37]
Rasulullah saw sangat konsern dengan persoalan yang menyangkut penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini. Beliau sangat memperhatikan dari mana seorang memperoleh harta dan pendanaan. Beliaulah yang merumuskan formula yang sangat terkenal min ayna laka haadza? (darimana kamu dapat ini semua?). Umar bin Khathathab adalah khalifah yang dengan tegas mempraktekkan formula ini untuk para gubernur dan para pejabat di jajaran pemerintahannya. [38] Pada saat dia menduduki kursi khilafah, dia mengembalikan semua harta peninggalan para pendahulunya ke Baitul Maal, karena dia menganggap semua itu dihasilkan dengan cara yang subhat dan tidak halal. [39]
Bahkan meskipun seseorang telah memperoleh harta dengan cara yang halal, misal dari hasil bisnis yang jelas, accountable serta auditable, pemilik harta tersebut tidak diperkenankan membelanjakan harta semaunya, seperti membeli sarana atau assesoris pribadi berharga ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dia dituntut untuk menghindari pemborosan, walaupun uangnya itu dipergunakan untuk belanja sesuatu yang mubah. Apalagi di tengah kondisi lingkungan sosial ekonomi masyarakatnya yang tengah susah. [40] Pemilik harta kekayaan diperintahkan untuk memenuhi tanggung jawab tertentu dan mengikuti petunjuk yang telah diatur Allah agar dia menggunakan hartanya secara benar dan santun. [41] Ini semua demi kepentingan pemilik harta khususnya, dan sekaligus demi menjaga kemaslahatan dan stabilitas sosial, ekonomi dan politik di masyarakat pada umumnya. [42]
Jadi apabila masyarakat mempertanyakan seorang tokoh atau pemimpin, apalagi da’i yang mendadak menjadi kaya raya dan mampu membeli beberapa mobil mewah berharga miliaran rupiah, membangun rumah istana beserta villa megah dan indah bernilai belasan miliar, bahkan mampu memiliki pulau pribadi, -sementara bisnis tokoh tersebut tidak jelas dan tidak ada yang tahu usahanya apa- dari mana dia memperoleh kekayaan tersebut, adalah wajar-wajar saja. Bahkan masyarakat tersebut mungkin sedang mengikuti sunnah Nabi, dengan mengikuti formula beliau yang sangat terkenal, berupa pertanyaan: “min ayna laka haadza, ya ustaadz…?”
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Referensi:

  1. Al-Qur’an : 29:61 ; 14:32 ; 16:14 ; 45:13 ; 22:36-37.
  2. Al-Qur’an : 62:10 ; 73:20 ; 16:6 ; 17:70 ; 7:32.
  3. Al-Qur’an : 12:180, 215
  4. Al-Qur’an : 4:5 ; Lihat: Ibrahim Athahawi, Al-Iqtishad Al-Islamiy, Kairo, Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyah, 1974, vol.I hal. 184.
  5. Al-Qur’an : 17:100 ; 2:195, 254, 267 ; 63:10 ; 64:16. Infaq bisa dimaksudkan sebagai alat untuk tujuan-tujuan yang bersifat personal, sebagaimana ia juga ia ditujukan untuk ,menggapai keridhaan Allah dengan mempergunakannya dalam hal-hal yang baik, yang tidak dimaksudkan untuk tujuan keduniaan. Al-Qur’an lebih banyak menggunakan terma infaq ini pada yang kedua (Mu’jam. op.cit. , vol. 2, 749).
  6. Mahmud Muhammad Babili, Al-Maal fi al-Islam (Beirut : Daar al-Kitab Al-Lubnani, 1975, hal. 101).
  7. Al-Qur’an : 102-1-3; 3:180; 28:58. Lihat: Sayyid Abul A’la Maududi, Mu’ayasyaati Islamí, (Lahore: Islamic Publication, 1969, hal.90-91).
  8. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hal. 108)
  9. Al-Qur’an : 62:10; 73:20 5:22; 24:22; 27:16; 30:23.
  10. Fazlur Rahman , op.cit. , 38-39.
  11. Al-Qur’an : 2:268; 3:181; 8:26; 4:97. Ada dua hadist yang sangat terkenal tentang kefakiran ini. 1. Hampir saja kemiskinan, berubah menjadi kekufuran (HR. Thabarani). 2. Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari kekafirandan saya berlindung kepada-Mu dari kefakiran. (Babili, op.cit. , 39). 1
  12. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hadits ini dikutip oleh Babili, op.cit., hal.39-40.
  13. Al-Qur’an : 2:180. khair dalam ayat ini ditafsirkan sebagai maal (harta).
  14. Babili mengutip tiga hadist mengenai perintah rasulullah bagi umatnya untu mencari harta (lihat Babili, op.cit. 19-21).
  15. Al-Qur’an : 71:13. untuk lebih jelasnya lihat : Muhammad Sami, Al-Maal fi Al-Qur’an wa Sunnah (Kairo: Maktabah Al-Wa’d Al-Arabi, tanpa tahun, hal. 15).
  16. Al-Qur’an : 9:34. Lihat Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  17. Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  18. .Al-Qur’an : 2:267.
  19. Al-Qur’an : 89:17-20. Banyak sekali hadist yang dengan tegas melarang dan mencela orang-orang yang menjadi hamba uang . Lihat: Muhammad Abdul Mun’im Khallaf, Al-Madiyyah Al-Islamiyyah wa ‘Ab’aaduha, (Kairo: Daar al-Ma’arif, tanpa tahun, hal.30) juga: Babili, op.cit. , 25,29.
  20. Lihat Fazlur Rahman, op.cit.,39, yang mengutip ayat-ayat di bawah ini: 3:14, 185,197 4:77; 9:38 10:23,70; 13:36; 16:117; 28:60; 40:39; 42:36; 43:35 47:2o.
  21. Babili, op.cit. , 18
  22. Al-Qur’an : 5:41
  23. Lihat, Muzaffar Hussain, Motivation for Ecoomics in Islam (Lahore: All Pakistan Islamic Education Congress, 1974, hal.37)
  24. Babili, op.cit.,18
  25. Lihat, Ala’Uddin Kharufah, Ar-Ribaa wa al-Faidah (Baghdad: Mathba’ah As-Sina, 1962, hal.33, dan Fazlur Rahman, op.cit.,108.
  26. Al-Qur’an: 4:5. Lihat Muhammad Al-Mubarak, Nizham Al-Islam Al-Iqtishadi wa Qawa’d Ammah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1972, hal.89. Juga Awdah, op.cit.,42-43.
  27. Al-Qur’an: 28:77. Lihat Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Daar al-‘Ulum, 1968, hal.13-14). Dalam hal ini kita menggunakan terma possessor-owner, possessor karena manusia memiliki sejumlah harta tertentu, sedangkan owner karena mereka memiliki otoritas untuk mengguakan harta itu.
  28. Al-Qur’an: 24:33; 65:7 14:31; 16:71 2:254; 63:10 439; 57:7. Lihat ‘Awdah, op,cit.,40-43.
  29. ‘Awdah, op.cit.,38.
  30. Al-Qur’an: 17:26; 30:38. Lihat Sayyid Quthb, Fii Zhilal al-Qur’an, 5th. (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1967, hal.64-65); Mufti Syafi’,op.cit,106-107; dan ‘Awdah, op.cit.,48-49.
  31. Al-Qur’an: 4:7; 43:32 4:32; 16:17; 6:165 Lihat S.M.Yusuf, op.cit.,106-107; dan Al-Maududi, op.cit.,79.
  32. Lihat Ath-Thahawi, op.cit.,206; untuk mendukung pendapatnya ini Ath-Thahawi mengutip ayat Al-Qur’an yang memerintahkan hajr ala as-afiih (menahan harta orang yang belum sempurna akalnya). (Al-Qur’an: 4:5).
  33. Ishaq Musa Al-Husaini, Hisbah in Islam, dalam jurnal The Islamic Quarterly, 10, no.3, 1966.
  34. Anwar Iqbal Qureisyi, the Economic and Social System of Islam (Lahore: Islamic Book Service, 1979, hal.60).
  35. Lihat M.Hussain, op.cit.,11.
  36. Lihat tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan pentingnya mencari nafkah atau pendanaan yang halal ini dalam buku M.Hussain, op.cit.,13. Dia banyak mengutip tentang hal tsb dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
  37. Untuk bahasan yang lebih detil dan luas tentang masalah memperoleh penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,93-96; Maududi, op.cit.,93. Sedangkan bahasan tentang cara terlarang dalam memperoleh pendanaan, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,99-101; dan Maududi, op.cit.,27,83-89,91-93 dan 122-123.
  38. Lihat bahasan ini dalam karya: Abdul Mu’im Khafaji, Al-Islam wa an-Nazhariyyat al-Iqtishadiyyah (Beirut: Daar al-Kitaab al-Lubnani, 1973, hal.76,81).
  39. Lihat Khafaji, op.cit.,76,81.
  40. Al-Qur’an: 25:67; 17:29; 7:31; 26:151-152.
  41. Lihat Hamdi Amin Abdul Hadi, Al-Fikrah Al-Idariyyah Al-Islamiyyah wa Al-Muqaranah (Kairo: Daar al-Fikr al-‘Arabi, 1976, hal.184-185).
  42. Lihat Al-Mubarak, op.cit.,72-74; Maududi, op.cit.,27,28,58; Mufti Syafi, op.cit.,15,37; Sayyid Quthb, op.cit.,10.
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang tidak bisa disangkal dalam memberi perhatian pada dunia dan menilainya secara positif, dan sama sekali tidak menilai negatif. Oleh karena itulah Al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala sesuatu yang baik yang Allah ciptakan yang disediakan bagi dirinya. [1] Dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang Allah sediakan pada jalan yang benar adalah sama artinya dengan tidak menghargai karunia dan nikmat yang Allah berikan pada manusia.
Sebagaimana telah difahami bersama, bahwa amwal pada hakikatnya adalah merujuk pada semua parameter sumber-sumber alam. Yang menurut pandangan Al-Qur’an, itu adalah nikmat Allah, alat-alat provisi (perlengkapan), kesenangan dan kebanggaan. [2] Harta bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak juga sesuatu yang menjijikkan. Al-Qur’an menyatakan bahwa ia adalah sesuatu yang baik (khair) [3] dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia. [4] Al-Qur’an banyak menekankan untuk mempergunakan kekayaan dalam hal-hal baik, yang disebut infaq. [5] Implikasinya adalah bahwasanya mencari penghasilan, memiliki kekayaan bukan saja suatu hal yang baik, namun itu adalah hal yang sangat esensial agar orang bisa berinfak. Sebab sangat tidak mungkin seseorang akan berinfak jika dia tidak memiliki harta benda. [6]
Jadi, kekayaan itu tidaklah jelek. Yang dicela adalah tamak akan harta dan “menyembah” uang. Jika praktek dan kecakapan “menciptakan uang” itu mengakibatkan hancurnya nilai-nilai akhlak dan kehidupan akhirat yang lebih mulia, maka itulah yang menjijikkan. [7] Kekayaan itu dianggap sebagai fadl (karunia) [9] dan juga kebaikan (khair), dan ia dianggap sebagai salah satu karunia Allah yang besar. [10] Karena kekayaan itu adalah sesuatu yang baik, maka seorang Muslim diperintahkan untuk mencari dan menghasilkan harta serta berjuang dengan sekuat tenaga. Sebaliknya, tidak adanya harta kekayaan di tangan manusia dianggap sesuatu yang tidak diharapkan. [11] Tangan yang mengucurkan bantuan, dalam pandangan Islam, jauh lebih baik daripada tangan yang menerima kucuran bantuan. [12]
Jika harta dianggap sesuatu yang jelek, niscaya Allah tidak akan memasukkan dalam deretan apa yang dia sebut sebagai nikmat-Nya. Pada saat Allah berfirman pada rasul-Nya, Dia berfirman :
"…..Dan Dia mendapatkanmu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (Adh-Dhuha : 8)
Pernyataan bahwa harta itu adalah sebagai kebaikan, memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa kehidupan tanpa kekayaan itu tidak baik. [13] Rasulullah juga sangat menekankan pada umatnya untuk mencari harta yang halal dan menafkahkan hartanya pada jalan yang benar. [14] Harta dan anak digambarkan Al-Qur’an sebagai sumber kekuatan dan kehormatan. [15] Dengan dinyatakannya harta kekayaan sebagai qiyaam (alat pendukung), secara jelas Al-Qur’an menegaskan bahwasanya harta kekayaan itu hendaknya diperlakukan dengan adil pada semua lapisan masyarakat. Jika harta tidak disebarkan dengan adil dan dengan distribusi yang tidak seimbang di dalam sebuah masyarakat, maka harta kekayaan bukan lagi sebagai alat pendukung dan sesuatu yang baik. Harta hanya akan menjadi kanz (harta simpanan) manakala tidak dikeluarkan hak-haknya. Maka Allah akan menimpakan pada orang itu siksaan dan azab. [16] Dengan mengatakan bahwa harta kekayaan itu sebagai sesuatu yang baik (khair), artinya adalah bahwa harta harus diperoleh dengan cara yang fair dan legal yang kemudian juga dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik. [17] Allah tidak akan menerima pembelanjaan harta benda di dalam jalan yang khabits (jelek). [18]
Walaupun kekayaan adalah sesuatu yang baik, namun obsesi, kecintaan yang berlebihan dan tamak pada harta benda adalah hal yang benar-benar tercela. Orang yang kerasukan rasa cinta pada harta tidak akan lagi memperhatikan cara-cara yang baik dan benar demi untuk menimbun harta. Bahkan dia tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk mencapai hal tersebut. Eksploitasi dan komersialisasi kemiskinan dan orang-orang miskin, monetisasi dan kapitalisasi jaringan umat yang tsiqah pada pimpinan untuk kepentingan pribadi, memperjualbelikan posisi politik dengan harga tertentu; adalah cara-cara yang masuk kategori hina, karena mengeksploitasi hak-hak kalangan rakyat kecil dan lemah, dan menjadi instrument dalam proses pemasungan hak dan pelecehan orang-orang kecil dan miskin. [19] Proses perolehan harta seperti itu dilarang dan dikutuk oleh Allah dalam Al-Qur’an karena hal tersebut “mencegah manusia untuk menghargai nilai-nilai yang lebih tinggi”, dan membuat harta kekayaan sebagai suatu obsesi yang diimpikan dan dikhayalkan selalu. [20] Sepanjang seseorang memperoleh harta kekayaan itu dengan cara yang baik, legal, transparan dan halal, maka tidak ada satu ayat pun yang mencelanya. Demikian juga dengan akumulasi harta ia tidak dicela sepanjang hak-hak harta benda itu tidak diinjak-injak. [21]
Perolehan harta dengan cara yang halal dipandang oleh Al-Qur’an sebagai sesuatu yang suci yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan potong tangan bagi siapa yang dengan sengaja melakukan pencurian dan hukuman mati bagi yang korupsi, karena telah mengambil hak orang lain secara tidak sah. [22] Orang-orang yang terbunuh karena gigih mempertahankan hartanya dan membela hak miliknya, digolongkan sebagai orang yang mati syahid. [23] Yang dikutuk adalah jika harta tersebut didapat dengan cara-cara yang tidak jelas, tidak legal dan tidak halal. Orang yang demikian biasanya tidak akan pernah puas menimbun harta dan tidak mau mendistribusikannya untuk orang lain, sehingga orang-orang yang berhak menerimanya tidak menikmati manfaat harta tersebut. [24] Uang atau harta benda bukanlah tujuan akhir dari pengumpulan harta kekayaan tersebut. Ia adalah sarana untuk meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah. Sedangkan jika uang telah dijadikan sebagai motivasi dan obsesi kehidupan, maka korupsi, kolusi dan nepotisme pun akan menjadi sesuatu yang bukan saja tidak mungkin bisa dihindari, tetapi akan menjadi sikap dan perilaku yang membudaya. [25]
Kepemilikan Harta
Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menyifati kepemilikan kekayaan pada manusia. Penyifatan seperti ini bukan berarti manusia adalah pemilik hakiki. Menurut Abdul Qadir ‘Awdah, ini hanya bermakna bahwa manusia bisa mengambil manfaat dari apa yang Allah berikan. Penyifatan kepemilikan pada manusia ini dalam spiritnya sama tatkala harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang bodoh (as-sufaha’) dan saat disifatkan kepemilikannya pada orang yang menjadi wali mereka. [26]
Allah sebagai pemilik hakiki dari kekayaan ini memberikan mandat kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya yang diberi karunia-Nya sebagai pemilik sementara harta itu, dan diberi wewenang untuk mengatur harta benda itu dengan sebaik-baiknya. [27] Hubungan ini mengharuskan manusia untuk tidak segan-segan dan tidak merasa keberatan dalam mengeluarkan harta dan kekayaan yang dimilikinya, ketika Allah menginginkan darinya untuk menggunakan harta itu; dan pada saat yang sama tidak boleh menggunakan otoritasnya dalam harta kekayaan itu dengan semena-mena dan di jalan yang tidak disukai Allah. [28] Artinya adalah bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak yang absolut dari harta kekayaan itu. Dia hanyalah pemilik yang serba terbatas. Dengan demikian dia hanya memiliki hak guna pakai, itupun harus sesuai dengan apa yang telah diatur dan diundangkan Allah. [29]
Konsep tentang kepemilikan harta tanpa batas ditentang oleh Al-Qur’an. Allah mengutuk kaum Nabi Syu’aib yang berlaku demikian. Kapitalisme yang menganut asas kepemilikan absolut atas modal atau harta, dengan cara-cara perolehan dan penggunaanya yang mengabaikan nilai-nilai moral dan agama, jelas ditolak oleh Islam. Oleh karenanya, seorang Muslim yang istiqamah tidak mungkin menjadi seorang kapitalis.
Dalam kapasitasnya sebagai pemilik mutlak, Allah telah menentukan bagian tertentu dari harta yang dititipkan kepada khalifah-Nya untuk dia bagikan kepada segmen masyarakat tertentu yang berhak menerimanya, karena harta itu adalah hak mereka. [30] Dalam kaitan dengan hal ini, ketidaksamaan pemilikan kekayaan pada manusia adalah suatu realitas alami yang merupakan hikmah dan kebijakan Allah. Jadi tidak perlu ada semacam perasaan iri atau dengki terhadap mereka yang memiliki harta melebihi dari yang lain. [31]
Seorang Muslim memiliki hak untuk menggunakan dan mengatur harta miliknya dengan cara yang baik sebagaimana halnya seseorang yang mendapatkan amanah dan wali yang bertugas menjaga hartanya. Jika dia gagal mengatur hal tersebut, maka pemerintahan Islam diperintahkan utk mengambil alih, demi kepentingan yang lebih besar bagi sang pemilik maupun juga bagi masyarakat. [32]
Sumber Pendanaan
Al-Qur’an telah meletakkan konsep yang mendasar tentang pencarian harta kekayaan dengan kriteria hukum halal dan haram. Semua bentuk praktek-praktek manipulatif, kecurangan, kebohongan, pemanfaatan institusi tanpa izin, pengambil alihan atau pemindahan hak orang lain secara sembunyi-sembunyi, ketidak-transparanan yang berhubungan dengan transaksi untuk mendapatkan harta dan kekayaan dilarang. Semua larangan itu berdasarkan satu prinsip: Jangan ada ketidakadilan dan jangan ada kebohongan serta penipuan. [33]
Perbedaan antara halal dan haram bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun cara, proses dan sarana untuk mencapai tujuan itu juga haruslah baik dan benar. [34] Perintah Al-Qur’an untuk mencari penghidupan (nafkah) setelah melakukan ibadah ritual, mengimplikasikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mencari harta dan pendanaan. [35] Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga mendaknya menyucikan niat dan metode dalam mencari nafkah atau pendanaan. Begitu pentingnya makna mencari nafkah dan pendanaan ini dengan jalan halal, sampai-sampai Rasulullah saw menyatakannya sebagai sesuatu yang fardhu, yang hapir sejajar dengan ibadah mahdhah. [36] Bahkan diterima dan tidaknya shalat, banyak tergantung pada halal tidaknya pakaian yang dipakai orang yang shalat tersebut.
“Jika seseorang memakai baju seharga sepuluh dirham, sedangkan satu dirham di antaranya dia peroleh dengan cara tidak halal, maka shalat yang dia kerjakan tidak akan diterima Allah.” (HR.Tirmidzi).
Karena demikian pentingnya masalah halal dan haram dalam memperoleh nafkah dan pendanaan, maka aturan tentang hal ini dibuat dengan jelas dan lengkap dalam Islam. [37]
Rasulullah saw sangat konsern dengan persoalan yang menyangkut penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini. Beliau sangat memperhatikan dari mana seorang memperoleh harta dan pendanaan. Beliaulah yang merumuskan formula yang sangat terkenal min ayna laka haadza? (darimana kamu dapat ini semua?). Umar bin Khathathab adalah khalifah yang dengan tegas mempraktekkan formula ini untuk para gubernur dan para pejabat di jajaran pemerintahannya. [38] Pada saat dia menduduki kursi khilafah, dia mengembalikan semua harta peninggalan para pendahulunya ke Baitul Maal, karena dia menganggap semua itu dihasilkan dengan cara yang subhat dan tidak halal. [39]
Bahkan meskipun seseorang telah memperoleh harta dengan cara yang halal, misal dari hasil bisnis yang jelas, accountable serta auditable, pemilik harta tersebut tidak diperkenankan membelanjakan harta semaunya, seperti membeli sarana atau assesoris pribadi berharga ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dia dituntut untuk menghindari pemborosan, walaupun uangnya itu dipergunakan untuk belanja sesuatu yang mubah. Apalagi di tengah kondisi lingkungan sosial ekonomi masyarakatnya yang tengah susah. [40] Pemilik harta kekayaan diperintahkan untuk memenuhi tanggung jawab tertentu dan mengikuti petunjuk yang telah diatur Allah agar dia menggunakan hartanya secara benar dan santun. [41] Ini semua demi kepentingan pemilik harta khususnya, dan sekaligus demi menjaga kemaslahatan dan stabilitas sosial, ekonomi dan politik di masyarakat pada umumnya. [42]
Jadi apabila masyarakat mempertanyakan seorang tokoh atau pemimpin, apalagi da’i yang mendadak menjadi kaya raya dan mampu membeli beberapa mobil mewah berharga miliaran rupiah, membangun rumah istana beserta villa megah dan indah bernilai belasan miliar, bahkan mampu memiliki pulau pribadi, -sementara bisnis tokoh tersebut tidak jelas dan tidak ada yang tahu usahanya apa- dari mana dia memperoleh kekayaan tersebut, adalah wajar-wajar saja. Bahkan masyarakat tersebut mungkin sedang mengikuti sunnah Nabi, dengan mengikuti formula beliau yang sangat terkenal, berupa pertanyaan: “min ayna laka haadza, ya ustaadz…?”
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Referensi:

  1. Al-Qur’an : 29:61 ; 14:32 ; 16:14 ; 45:13 ; 22:36-37.
  2. Al-Qur’an : 62:10 ; 73:20 ; 16:6 ; 17:70 ; 7:32.
  3. Al-Qur’an : 12:180, 215
  4. Al-Qur’an : 4:5 ; Lihat: Ibrahim Athahawi, Al-Iqtishad Al-Islamiy, Kairo, Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyah, 1974, vol.I hal. 184.
  5. Al-Qur’an : 17:100 ; 2:195, 254, 267 ; 63:10 ; 64:16. Infaq bisa dimaksudkan sebagai alat untuk tujuan-tujuan yang bersifat personal, sebagaimana ia juga ia ditujukan untuk ,menggapai keridhaan Allah dengan mempergunakannya dalam hal-hal yang baik, yang tidak dimaksudkan untuk tujuan keduniaan. Al-Qur’an lebih banyak menggunakan terma infaq ini pada yang kedua (Mu’jam. op.cit. , vol. 2, 749).
  6. Mahmud Muhammad Babili, Al-Maal fi al-Islam (Beirut : Daar al-Kitab Al-Lubnani, 1975, hal. 101).
  7. Al-Qur’an : 102-1-3; 3:180; 28:58. Lihat: Sayyid Abul A’la Maududi, Mu’ayasyaati Islamí, (Lahore: Islamic Publication, 1969, hal.90-91).
  8. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hal. 108)
  9. Al-Qur’an : 62:10; 73:20 5:22; 24:22; 27:16; 30:23.
  10. Fazlur Rahman , op.cit. , 38-39.
  11. Al-Qur’an : 2:268; 3:181; 8:26; 4:97. Ada dua hadist yang sangat terkenal tentang kefakiran ini. 1. Hampir saja kemiskinan, berubah menjadi kekufuran (HR. Thabarani). 2. Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari kekafirandan saya berlindung kepada-Mu dari kefakiran. (Babili, op.cit. , 39). 1
  12. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hadits ini dikutip oleh Babili, op.cit., hal.39-40.
  13. Al-Qur’an : 2:180. khair dalam ayat ini ditafsirkan sebagai maal (harta).
  14. Babili mengutip tiga hadist mengenai perintah rasulullah bagi umatnya untu mencari harta (lihat Babili, op.cit. 19-21).
  15. Al-Qur’an : 71:13. untuk lebih jelasnya lihat : Muhammad Sami, Al-Maal fi Al-Qur’an wa Sunnah (Kairo: Maktabah Al-Wa’d Al-Arabi, tanpa tahun, hal. 15).
  16. Al-Qur’an : 9:34. Lihat Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  17. Ath-Thahawi, op.cit. , 184
  18. .Al-Qur’an : 2:267.
  19. Al-Qur’an : 89:17-20. Banyak sekali hadist yang dengan tegas melarang dan mencela orang-orang yang menjadi hamba uang . Lihat: Muhammad Abdul Mun’im Khallaf, Al-Madiyyah Al-Islamiyyah wa ‘Ab’aaduha, (Kairo: Daar al-Ma’arif, tanpa tahun, hal.30) juga: Babili, op.cit. , 25,29.
  20. Lihat Fazlur Rahman, op.cit.,39, yang mengutip ayat-ayat di bawah ini: 3:14, 185,197 4:77; 9:38 10:23,70; 13:36; 16:117; 28:60; 40:39; 42:36; 43:35 47:2o.
  21. Babili, op.cit. , 18
  22. Al-Qur’an : 5:41
  23. Lihat, Muzaffar Hussain, Motivation for Ecoomics in Islam (Lahore: All Pakistan Islamic Education Congress, 1974, hal.37)
  24. Babili, op.cit.,18
  25. Lihat, Ala’Uddin Kharufah, Ar-Ribaa wa al-Faidah (Baghdad: Mathba’ah As-Sina, 1962, hal.33, dan Fazlur Rahman, op.cit.,108.
  26. Al-Qur’an: 4:5. Lihat Muhammad Al-Mubarak, Nizham Al-Islam Al-Iqtishadi wa Qawa’d Ammah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1972, hal.89. Juga Awdah, op.cit.,42-43.
  27. Al-Qur’an: 28:77. Lihat Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Daar al-‘Ulum, 1968, hal.13-14). Dalam hal ini kita menggunakan terma possessor-owner, possessor karena manusia memiliki sejumlah harta tertentu, sedangkan owner karena mereka memiliki otoritas untuk mengguakan harta itu.
  28. Al-Qur’an: 24:33; 65:7 14:31; 16:71 2:254; 63:10 439; 57:7. Lihat ‘Awdah, op,cit.,40-43.
  29. ‘Awdah, op.cit.,38.
  30. Al-Qur’an: 17:26; 30:38. Lihat Sayyid Quthb, Fii Zhilal al-Qur’an, 5th. (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1967, hal.64-65); Mufti Syafi’,op.cit,106-107; dan ‘Awdah, op.cit.,48-49.
  31. Al-Qur’an: 4:7; 43:32 4:32; 16:17; 6:165 Lihat S.M.Yusuf, op.cit.,106-107; dan Al-Maududi, op.cit.,79.
  32. Lihat Ath-Thahawi, op.cit.,206; untuk mendukung pendapatnya ini Ath-Thahawi mengutip ayat Al-Qur’an yang memerintahkan hajr ala as-afiih (menahan harta orang yang belum sempurna akalnya). (Al-Qur’an: 4:5).
  33. Ishaq Musa Al-Husaini, Hisbah in Islam, dalam jurnal The Islamic Quarterly, 10, no.3, 1966.
  34. Anwar Iqbal Qureisyi, the Economic and Social System of Islam (Lahore: Islamic Book Service, 1979, hal.60).
  35. Lihat M.Hussain, op.cit.,11.
  36. Lihat tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan pentingnya mencari nafkah atau pendanaan yang halal ini dalam buku M.Hussain, op.cit.,13. Dia banyak mengutip tentang hal tsb dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
  37. Untuk bahasan yang lebih detil dan luas tentang masalah memperoleh penghasilan dan pendanaan dengan cara yang halal ini, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,93-96; Maududi, op.cit.,93. Sedangkan bahasan tentang cara terlarang dalam memperoleh pendanaan, lihat: Al-Mubarak, op.cit.,99-101; dan Maududi, op.cit.,27,83-89,91-93 dan 122-123.
  38. Lihat bahasan ini dalam karya: Abdul Mu’im Khafaji, Al-Islam wa an-Nazhariyyat al-Iqtishadiyyah (Beirut: Daar al-Kitaab al-Lubnani, 1973, hal.76,81).
  39. Lihat Khafaji, op.cit.,76,81.
  40. Al-Qur’an: 25:67; 17:29; 7:31; 26:151-152.
  41. Lihat Hamdi Amin Abdul Hadi, Al-Fikrah Al-Idariyyah Al-Islamiyyah wa Al-Muqaranah (Kairo: Daar al-Fikr al-‘Arabi, 1976, hal.184-185).
  42. Lihat Al-Mubarak, op.cit.,72-74; Maududi, op.cit.,27,28,58; Mufti Syafi, op.cit.,15,37; Sayyid Quthb, op.cit.,10.

Pengaruh Pemerintah Untuk Mengatasi Kondisi Ekonomi Saat Ini

Pemerintah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perekonomian suatu Negara,karena itu pemerintah di sini mempunyai beberapa strategi khusus untuk mengatasi kondisi ekonomi yang kacau belakangan ini akibat dari adanya suatu bencana alam yang terjadi pada bangsa kita , dan juga karena situasi politik yang tidak menentu dan banyaknya koruptor di negara ini , dan masih banyak lagi.
Beberapa strategi khususnya yaitu :
  • Pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi dampak negative dari krisis ekonomi tersebut, terhadap kelompok penduduk yang berpendapatan rendah atau rentan.
  • pemulihan pembangunan ekonomi agar pertumbuhan semakin membaik.
  • memperluas lapangan kerja.
  • Membuka pelatihan khusus bagi para tenaga kerja.
  • Membuka kursus bagi pengangguran.
  • memperbaiki sistim distribusi agar berfungsi secara penuh dan efesien.
  • penghapusan berbagai praktek monopoli.
Saya mengambil contoh yang sering terlihat dalam realita yang ada yaitu soal  masalah pengangguran dan ketenaga kerjaan.
Hal ini terjadi karena, tidak seimbangnya antara ketersediaan tenaga kerja dan kesempatan kerja. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena kesempatan kerja yang sedikit tetapi banyak orang daerah datang ke kota atau ke daerah yang lebih banyak peluang untuk seseorang mendapatkan perkerjaan.
Nah, di sini pemerintah bisa menggunakkan salah satu strategi yang tertera di atas  yaitu mengadakan pelatihan khusus bagi tenaga kerja, pelatihan tersebut sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Selai itu pemerintah dapat membuka atau memperluas kesempatan kerja. Contohnya seperti memperluas atau membuka industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Sedangakan untuk masalah pengangguran pemerintah bisa juga mebuka kursus bagi mereka yang pengangguran seperti contoh ibu rumah tangga yang lemah akan finansial dan tidak punya mata pencaharian  , mereka bisa mengikuti kursus menjahit dan lain sebagainya.