Pentingnya Pendidikan

Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus memperlengkapi diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewati. Umumnya yang kerap kita dengar yaitu:

LONG LIFE EDUCATION

Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini. Dengan mudah kita beroleh informasi tentang perkembangan zaman baik dari belahan bumi barat terlebih lagi dari negara tetangga.

Ilmu pengetahuan, keterampilan, pendidikan merupakan unsur dasar yang menentukan kecekatan seseorang berpikir tentang dirinya dan lingkungannya. Seseorang yang mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik diharapkan mampu mengubah keluarganya, kelak mengubah daerahnya dan kemudian mengubah negaranya serta mengubah dunia dimana dia hidup. Seperti puisi seorang suster yang sangat mengharapkan terciptanya kedamaian di muka bumi ini. Seseorang memiliki eksistensi tentang arti penting dirinya dan kehidupan yang diberikan Tuhan bagi dia dan sangat disayangkan jika itu berbuah dalam kesiasiaan.

Jika kita melirik sebentar ke negara-negara di Barat, mereka memberi perhatian penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan keterampilan sebab hal itu bagi mereka merupakan asset, modal utama untuk boleh andil bersaing dengan yang lain.

Misalnya saja, negara USA dengan penemuan-penemuan baru di bidang IPTEK, yang dapat dijadikan sebagai "nilai jual" ke negara lain tanpa menghilangkan keoriginalan penemuan awal yang mereka lakukan. Mereka tidak segan-segan harus mengeluarkan berjuta dolar untuk merealisasikan penemuan mereka.

Kita sebagai warga negara Indonesia tidak menuntut seperti itu di negara kita sebab melihat kondisi pendidikan masih jauh perlu pembenahan di berbagai bidang pendidikan. Sekalipun demikian realitanya, bukan berarti kita hanya berpangku tangan saja dan menonton berharap dari negara lain yang akhirnya di era free trade ini kita tidak lagi mampu maju untuk memberdayakan diri agar layak bersaing dan layak jual. Kita boleh bermimpi tapi hati-hati jangan menjadi pemimpi.

Secara ruang lingkup yang sempit di kawasan Negara kita sendiri masih ada yang tertinggal, tidak mampu baca dan tulis. Hal ini merupakan suatu kekhawatiran yang sangat sulit untuk diberantas jika kita masih berkutat pada pemahaman yang primitif atau sedikit lebih maju namun sekedar tekhnis saja.

Memandang keluar dan melihat keterbukaan dalam dunia globalisasi, menjadikan peranan pendidikan sangat vital untuk jadi penentu sebab dunia pendidikan mampu memotivasi terciptanya tekhnologi yang bisa diadaptasi, diimitasi bahkan disebarkan dengan cara yang cepat dan mudah. Yang kemudian hal tersebut dapat mendukung laju perkembangan suatu Negara.

Saat ini kita ditantang untuk belajar dan belajar sebab semakin kita tahu justru semakin banyak yang kita tidak tahu. Perkembangan bukan hitungan hari tetapi sudah bertolak ukur dengan hitungan detik. Dari waktu detik ke detik berikutnya sudah menghasilkan berbagai daya kreasi penemuan-penemuan di berbagai bidang. Mengingat hal itu, maka mari kita memanfaatkan kesempatan yang tersedia, bukan kesempatan yang memanfaatkan kita. Sebab saat ini telah dinyatakan dalam prakteknya bahwa manusia adalah subyeknya dan kualitasnya adalah kunci, bukan soal kuantitas lagi.

Kata bijak dari seorang berkebangsaan China yang menyatakan:

Give a man a fish
And you will feed him for a meal
But
Teach a man how to fish
And you will feed him for life

Kata bijak yang sangat menggugah kita yang mempunyai arti "berikan pada seseorang seekor ikan maka kamu memberi dia hanya sekali makan tapi ajarilah seseorang untuk memancing maka kamu telah memberi dia makan seumur hidupnya." Suatu ungkapan yang boleh diberi acungan jempol. Dalam ungkapan itu tersimpan makna yang ingin disampaikan adalah manusiakan manusia agar ia menjadi manusia, berdayakan, didik, latih, beri keterampilan agar kelak dia yang memberdayakan dan bertanggungjawab pada dirinya, kehidupannya serta masa depannya.

Kaum muda adalah pemegang kunci di setiap daerah, pemuda adalah penerus bangsa. Adalah realita yang harus kita akui bahwa pemuda-pemuda bangsa kita, sebelum maju bersaing sudah hampir kalah bersaing, tetapi tidak ada kata terlambat, sekarang juga mari semua kita perlengkapi anak-anak, diri kita untuk menjadi manusia-manusia kunci sebagai langkah menuju manusia yang siap pakai dan mempunyai daya kreatif tinggi serta bernilai jual yang layak di dunia Internasional. Tidak mudah tapi kita mampu. Mari kita buktikan kepada dunia bahwa kita sebagai anak bangsa sanggup berkreasi di kancah dunia.

Pentingnya Pendidikan

Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus memperlengkapi diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewati. Umumnya yang kerap kita dengar yaitu:

LONG LIFE EDUCATION

Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini. Dengan mudah kita beroleh informasi tentang perkembangan zaman baik dari belahan bumi barat terlebih lagi dari negara tetangga.

Ilmu pengetahuan, keterampilan, pendidikan merupakan unsur dasar yang menentukan kecekatan seseorang berpikir tentang dirinya dan lingkungannya. Seseorang yang mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik diharapkan mampu mengubah keluarganya, kelak mengubah daerahnya dan kemudian mengubah negaranya serta mengubah dunia dimana dia hidup. Seperti puisi seorang suster yang sangat mengharapkan terciptanya kedamaian di muka bumi ini. Seseorang memiliki eksistensi tentang arti penting dirinya dan kehidupan yang diberikan Tuhan bagi dia dan sangat disayangkan jika itu berbuah dalam kesiasiaan.

Jika kita melirik sebentar ke negara-negara di Barat, mereka memberi perhatian penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan keterampilan sebab hal itu bagi mereka merupakan asset, modal utama untuk boleh andil bersaing dengan yang lain.

Misalnya saja, negara USA dengan penemuan-penemuan baru di bidang IPTEK, yang dapat dijadikan sebagai "nilai jual" ke negara lain tanpa menghilangkan keoriginalan penemuan awal yang mereka lakukan. Mereka tidak segan-segan harus mengeluarkan berjuta dolar untuk merealisasikan penemuan mereka.

Kita sebagai warga negara Indonesia tidak menuntut seperti itu di negara kita sebab melihat kondisi pendidikan masih jauh perlu pembenahan di berbagai bidang pendidikan. Sekalipun demikian realitanya, bukan berarti kita hanya berpangku tangan saja dan menonton berharap dari negara lain yang akhirnya di era free trade ini kita tidak lagi mampu maju untuk memberdayakan diri agar layak bersaing dan layak jual. Kita boleh bermimpi tapi hati-hati jangan menjadi pemimpi.

Secara ruang lingkup yang sempit di kawasan Negara kita sendiri masih ada yang tertinggal, tidak mampu baca dan tulis. Hal ini merupakan suatu kekhawatiran yang sangat sulit untuk diberantas jika kita masih berkutat pada pemahaman yang primitif atau sedikit lebih maju namun sekedar tekhnis saja.

Memandang keluar dan melihat keterbukaan dalam dunia globalisasi, menjadikan peranan pendidikan sangat vital untuk jadi penentu sebab dunia pendidikan mampu memotivasi terciptanya tekhnologi yang bisa diadaptasi, diimitasi bahkan disebarkan dengan cara yang cepat dan mudah. Yang kemudian hal tersebut dapat mendukung laju perkembangan suatu Negara.

Saat ini kita ditantang untuk belajar dan belajar sebab semakin kita tahu justru semakin banyak yang kita tidak tahu. Perkembangan bukan hitungan hari tetapi sudah bertolak ukur dengan hitungan detik. Dari waktu detik ke detik berikutnya sudah menghasilkan berbagai daya kreasi penemuan-penemuan di berbagai bidang. Mengingat hal itu, maka mari kita memanfaatkan kesempatan yang tersedia, bukan kesempatan yang memanfaatkan kita. Sebab saat ini telah dinyatakan dalam prakteknya bahwa manusia adalah subyeknya dan kualitasnya adalah kunci, bukan soal kuantitas lagi.

Kata bijak dari seorang berkebangsaan China yang menyatakan:

Give a man a fish
And you will feed him for a meal
But
Teach a man how to fish
And you will feed him for life

Kata bijak yang sangat menggugah kita yang mempunyai arti "berikan pada seseorang seekor ikan maka kamu memberi dia hanya sekali makan tapi ajarilah seseorang untuk memancing maka kamu telah memberi dia makan seumur hidupnya." Suatu ungkapan yang boleh diberi acungan jempol. Dalam ungkapan itu tersimpan makna yang ingin disampaikan adalah manusiakan manusia agar ia menjadi manusia, berdayakan, didik, latih, beri keterampilan agar kelak dia yang memberdayakan dan bertanggungjawab pada dirinya, kehidupannya serta masa depannya.

Kaum muda adalah pemegang kunci di setiap daerah, pemuda adalah penerus bangsa. Adalah realita yang harus kita akui bahwa pemuda-pemuda bangsa kita, sebelum maju bersaing sudah hampir kalah bersaing, tetapi tidak ada kata terlambat, sekarang juga mari semua kita perlengkapi anak-anak, diri kita untuk menjadi manusia-manusia kunci sebagai langkah menuju manusia yang siap pakai dan mempunyai daya kreatif tinggi serta bernilai jual yang layak di dunia Internasional. Tidak mudah tapi kita mampu. Mari kita buktikan kepada dunia bahwa kita sebagai anak bangsa sanggup berkreasi di kancah dunia.
Kita sebagai murid biasanya kita selalu malas untuk belajar. Sebenarnya yang membuat kita malas dalam hal itu bukan di karenakan kita bodoh atau tidak berbakat,saya percaya teman-teman itu tidak ada yang seperti yang saya katakan di atas. saya mengatakan demikian karena otak manusia itu bisa menampung jutaan memori bahkan bisa sampai miliaran memori. Dengan pendapat saya tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa teman-teman itu tidak ada yang di katakan dengan istilah bahasa kasar yang di sebut bodoh. Jika ada orang yang menggatakan teman-teman itu bodoh maka orang itu yang salah dan orang itu tidak memiliki ilmu tentang penggertian orang yang pintar,orang yang pintar itu adalah orang yang mamiliki kemampuan khusus yang dapat ia manfaatkan dalam hal yang positif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang di negaranya/orang di lingkungannya. Maka jika ada orang yang seperti itu bayangkan saja orang itu tidak di didik dengan baik oleh orang tuanya. saya akan memberi beberapa tips untuk berubah dari sikap malas menjadi sikap yang rajin:

1.Biasakan diri kita untuk selalu beribadah tepat waktu, karena dengan kebiasan tersebut bisa mempenggaruhi kita dalam kebiasaan belajar.Selain kita harus beribadah tepat waktu juga harus di ikuti beribadah yang harus teratu pula.

2.Hilangkan kebiasaan teman-teman dalam bermain yang tidak ada gunanya,contoh:membuka situs INTERNET yang tidak semestinya.

3.Hilangkan beban yang ada di hatimu,contoh:perkataan orang yang melukai hatimu seperti perkataan MONYET YANG BISA BICARA yang perkataannya hanya bisa melukai hatimu,lupakan kegagalanmu saat usahamu gagal di usaha yang pertama seperti saat kamu gagal ujian dan tidak lulus.

4.Belajarlah terus menerus dan jangan lupa berdoa ke pada penciptamu dan belajar dari penggalamanmu karena penggalaman mu itu adalah guru yang paling baik.

BERUBAH DARI MALAS MENJADI RAJIN

Kita sebagai murid biasanya kita selalu malas untuk belajar. Sebenarnya yang membuat kita malas dalam hal itu bukan di karenakan kita bodoh atau tidak berbakat,saya percaya teman-teman itu tidak ada yang seperti yang saya katakan di atas. saya mengatakan demikian karena otak manusia itu bisa menampung jutaan memori bahkan bisa sampai miliaran memori. Dengan pendapat saya tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa teman-teman itu tidak ada yang di katakan dengan istilah bahasa kasar yang di sebut bodoh. Jika ada orang yang menggatakan teman-teman itu bodoh maka orang itu yang salah dan orang itu tidak memiliki ilmu tentang penggertian orang yang pintar,orang yang pintar itu adalah orang yang mamiliki kemampuan khusus yang dapat ia manfaatkan dalam hal yang positif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang di negaranya/orang di lingkungannya. Maka jika ada orang yang seperti itu bayangkan saja orang itu tidak di didik dengan baik oleh orang tuanya. saya akan memberi beberapa tips untuk berubah dari sikap malas menjadi sikap yang rajin:

1.Biasakan diri kita untuk selalu beribadah tepat waktu, karena dengan kebiasan tersebut bisa mempenggaruhi kita dalam kebiasaan belajar.Selain kita harus beribadah tepat waktu juga harus di ikuti beribadah yang harus teratu pula.

2.Hilangkan kebiasaan teman-teman dalam bermain yang tidak ada gunanya,contoh:membuka situs INTERNET yang tidak semestinya.

3.Hilangkan beban yang ada di hatimu,contoh:perkataan orang yang melukai hatimu seperti perkataan MONYET YANG BISA BICARA yang perkataannya hanya bisa melukai hatimu,lupakan kegagalanmu saat usahamu gagal di usaha yang pertama seperti saat kamu gagal ujian dan tidak lulus.

4.Belajarlah terus menerus dan jangan lupa berdoa ke pada penciptamu dan belajar dari penggalamanmu karena penggalaman mu itu adalah guru yang paling baik.

Menjadi Manusia Ilmiah

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penetu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya.

Kembali pada manusia sebagai makhluk yang berpikir, meski dalam agama, kita dihadapkan dengan konsep "dengar dan kerjakan", namun hal yang demikian hanya terbatas pada ajaran-ajaran agama yang sudah pasti dan tak dapat mengalami perubahan sampai kapan pun. Sangat banyak, bahkan lebih dominan agama menganjurkan untuk tetap memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Kecenderungan seseorang dalam mengeksploitasi kata "kemanusiaan" sering berdampak menghilangkan jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berpikir. Demi kemanusiaan, hilanglah kemampuan berpikir manusia yang justru membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir sebenarnya tak mungkin hilang, namun dapat saja jika kita berusaha menjadi manusia yang tidak berpikir.

Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan.

Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus.

Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.

Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.

Saat ini, banyak prilaku tidak ilmiah yang justru ditampilkan oleh pemimpin yang semestinya lebih ilmiah dari masyarakat biasa. Saat tunjangan DPRD baru diwacanakan, maka dengan gesitnya Pemda mengucurkan tunjangan tersebut karena ada kedekatan kepentingan yang tidak ilmiah, meskipun akhirnya meka harus mengembalikannya. Sementara saat aturan yang jelas telah diterima tentang uang lauk pauk PNS yang harus dibayarkan oleh Pemda terhitung Januari 2007, maka dengan tidak ilmiahnya mereka mengatakan bahwa anggaran tidak mencukupi, sementara anggota DPRD yang merupakan perwakilan masyarakat tak bergeming dengan kebisuannya, karena sifat tidak ilmiahnya yang melihat tak ada kepentingan mereka disana.

Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa mereka tidak bersifat ilmiah, padahal mereka adalah manusia sebagai makhluk ilmiah? Ataukah mereka bukan manusia? Mereka sering bersifat ilmiah, tapi tak jarang mereka melupakannya. Mereka dan kita semua secara ilmiah pernah melakukan hal yang sama, yakni pernah berbuat dan berprilaku ilmiah dan pernah juga tidak ilmiah. Secara ilmiah itu adalah hal yang manusiawi, namun sifat manusiawi tak dapat kita jadikan sebagai tameng untuk melegalkan tindakan yang merugikan orang lain. Keputusan ataupun tindakan yang secara langsung melibatkan orang lain tak dapat ditolak haruslah ilmiah. Kesalahan pada masalah ini tak dapat ditoleransi dengan kata manusiawi, tetapi harus mendapat tindakan, sekurang-kurangnya tindakan etika. Kita dan siapapun yang telah mengetahui hakekat ilmiah dan sebenarnya kita pernah atau sering melakukan hal yang ilmiah, akan mampu menilai diri kita sendiri atau seseorang, terutama pemimpin kita apakah dalam bertindak kita atau dia ilmiah atau tidak.

Menjadi Manusia Ilmiah

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penetu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya.

Kembali pada manusia sebagai makhluk yang berpikir, meski dalam agama, kita dihadapkan dengan konsep "dengar dan kerjakan", namun hal yang demikian hanya terbatas pada ajaran-ajaran agama yang sudah pasti dan tak dapat mengalami perubahan sampai kapan pun. Sangat banyak, bahkan lebih dominan agama menganjurkan untuk tetap memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Kecenderungan seseorang dalam mengeksploitasi kata "kemanusiaan" sering berdampak menghilangkan jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berpikir. Demi kemanusiaan, hilanglah kemampuan berpikir manusia yang justru membedakan kita dengan makhluk lainnya. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir sebenarnya tak mungkin hilang, namun dapat saja jika kita berusaha menjadi manusia yang tidak berpikir.

Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan.

Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus.

Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Contoh kecil adalah saat penentuan kenaikan kelas atau kelulusan harus dilandasi cara-cara ilmiah, yakni dengan melihat perolehan nilai siswa secara komprehensif. Penilaian harus secara paripurna, bukan penilaian insidentil saat ujian saja yang waktunya 2 jam setiap pelajaran yang diujikan.

Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah "musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.

Saat ini, banyak prilaku tidak ilmiah yang justru ditampilkan oleh pemimpin yang semestinya lebih ilmiah dari masyarakat biasa. Saat tunjangan DPRD baru diwacanakan, maka dengan gesitnya Pemda mengucurkan tunjangan tersebut karena ada kedekatan kepentingan yang tidak ilmiah, meskipun akhirnya meka harus mengembalikannya. Sementara saat aturan yang jelas telah diterima tentang uang lauk pauk PNS yang harus dibayarkan oleh Pemda terhitung Januari 2007, maka dengan tidak ilmiahnya mereka mengatakan bahwa anggaran tidak mencukupi, sementara anggota DPRD yang merupakan perwakilan masyarakat tak bergeming dengan kebisuannya, karena sifat tidak ilmiahnya yang melihat tak ada kepentingan mereka disana.

Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa mereka tidak bersifat ilmiah, padahal mereka adalah manusia sebagai makhluk ilmiah? Ataukah mereka bukan manusia? Mereka sering bersifat ilmiah, tapi tak jarang mereka melupakannya. Mereka dan kita semua secara ilmiah pernah melakukan hal yang sama, yakni pernah berbuat dan berprilaku ilmiah dan pernah juga tidak ilmiah. Secara ilmiah itu adalah hal yang manusiawi, namun sifat manusiawi tak dapat kita jadikan sebagai tameng untuk melegalkan tindakan yang merugikan orang lain. Keputusan ataupun tindakan yang secara langsung melibatkan orang lain tak dapat ditolak haruslah ilmiah. Kesalahan pada masalah ini tak dapat ditoleransi dengan kata manusiawi, tetapi harus mendapat tindakan, sekurang-kurangnya tindakan etika. Kita dan siapapun yang telah mengetahui hakekat ilmiah dan sebenarnya kita pernah atau sering melakukan hal yang ilmiah, akan mampu menilai diri kita sendiri atau seseorang, terutama pemimpin kita apakah dalam bertindak kita atau dia ilmiah atau tidak.

Kriteria Pemimpin

Diriwayatkan daripada Abu Musa r.a katanya: Aku menemui Nabi s.a.w bersama dengan dua orang lelaki dari keluarga bapak saudaraku. Salah seorang warisku itu berkata: Wahai Rasulullah, berikanlah aku jawatan untuk mengurus (memimpin) sebahagian dari perkara yang diberikan oleh Allah kepada mu. Begitu juga waris ku seorang lagi mengajukan permohonan yang sama, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, apatah lagi kepada orang yang tamak padanya (H.R. Bukhori Muslim).

Hadits di atas dikutip dengan maksud sebagai dasar dari tulisan ini. Karena di era yang semakin tidak menentu ini sepertinya manusia sudah lupa akan pegangan hidup sebagai umat Islam yang senantiasa harus berpegang pada Al Quran dan Hadits. Menghadapi pemilihan presiden negeri ini 5 Juli 2004 mendatang, kita disuguhi berbagai dagelan kampanye yang ditampilkan para capres. Tanpa malu seolah mereka adalah yang terbaik diantara rakyat negeri ini. Mereka berteriak dan mengumbar janji kepada rakyat, bahwa mereka adalah calon presiden yang paling pantas memimpin negeri ini. Benarkah demikian? Simaklah hadits di atas, bila kita ingin mendapatkan pemimpin yang sesungguhnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menginginkan jabatan itu, presiden yang baik adalah presiden yang tidak mempromosikan dirinya lebih dari orang lain dan memproklamirkan dirinya sebagai manusia yang paling pantas memimpin negeri ini. Di televisi dan diberbagai media masa kita menyaksikan dan membaca dengan perasaan masygul. Terharu melihat rakyat berbinar-binar menatap calon presiden datang ke sekolah butut. Tersenyum pahit menyaksikan calon presiden yang mendadak menyalami tangan bau daki rakyat di tengah kerumunan. Tanpa jijik dan ragu para capres tersebut berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat yang saya yakin pasti tidak akan mereka injak lagi bila mereka telah terpilih menjadi presiden. Pasar yang kotor, terminal bis, tempat kumuh dan pesantren adalah tempat yang menjadi primadona selama satu bulan ini.

Di televisi, kita disuguhi aneka dagelan yang disuguhkan para badut politik tersebut. Kita disuguhi doktrinasi dan promosi dari para capres tersebut yang menukil berbagai peristiwa sejarah. Bahkan dengan aktif salah satu capres tersebut menjelek-jelekan orang lain yang seolah-olah pemerintahan semasa dia memimpinlah yang terbaik. Walau dia akui kurang berhasil, karena negeri yang dipimpinnya adalah negeri rongsokan sisa peninggalan Orba. Pantaskah kita memilih calon pemimpin seperti ini? Bukankah Rasululloh pernah bersabda orang yang menggunjing keburukan pihak lain tidak jauh berbeda dengan pemakan bangkai!

Dagelan kemudian lebih didramatisir dengan adegan-adegan protes mahasiswa, tentara menendang mahasiswa, anak-anak SD yang bersih-bersih menyiumi tangan mereka, sumpeknya pasar-pasar tradisional, pengapnya jalan-jalan berlubang yang dilalui bus atau truk atau angkutan kota di terminal, sampai lagu Sajadah Panjang (Bimbo). Ada juga yang menampilkan gelang bergelantungan di tangan dan berlian di telinga sembari menunjuk majunya ekonomi negara. Anehnya, tidak ada yang menampilkan perihnya perut rakyat gara-gara duit negara dikorupsi habis-habisan.

Sebagai rakyat yang telah kenyang dibohongi para pemimpinnya semestinya rakyat menyadari bahwa kampanye adalah ajang adu mulut dan janji palsu demi mendapatkan suara rakyat agar memilih mereka. Rakyat negeri ini semestinya mampu membaca bahwa semasa kampanye saja mereka sudah memanipulasi realita yang ada demi meninakbobokan rakyatnya apalagi kelak menjadi presiden? Mungkin tidak segan mereka untuk melakukan perbuatan yang susah digambarkan dari kacamata norma agama.

Haruskah Kita Golput?

Rasululloh sudah memberikan rambu-rambu kepada umatnya, untuk tidak memilih pemimpin atau memberikan jabatan kepada manusia yang menginginkannya. Pemimpin yang benar-benar asli punya jalan yang berbeda. Ia muncul dengan kekuatan yang begitu tulus, adem, menyenyumi kita dengan lembut. Orang langsung merasa ia tidak dibayang-bayangi ambisi pribadi. Orang yang tidak dengan serta merta berteriak pilihlah saya untuk memimpin negeri ini! Pemimpin yang bijaksana dan baik adalah orang yang murah hati, agamis dan berkepribadian seperti malaikat.

Pempimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang tinggi seperti yang dikatakan Ary Ginanjar Agustian (2001,114) Pemimpin sejati adalah seorang yang mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah.

Mencari dan memimpin sosok presiden dan wakil presiden yang bakal memimpin bangsa ini bukanlah hal yang mudah. Presiden memang bukan sembarang orang. Di tangan presidenlah jatuh bangunnya negara dan bangsa ditentukan. Untuk memilih pemimpin negeri yang carut marut dan sedang sakit ini diperlukan mata hati nurani dan meminta bimbingan Illahi.

Presiden dan calon presiden yang kita pilih haruslah memenuhi kriteria seperti di atas. Menurut hati nurani kita adakah dari para capres dan cawapres yang sedang menjadi artis selama satu bulan ini yang layak? Bukalah mata hati dan tanyakan pada kalbu kita, adakah yang pantas memimpin negeri ini sesuai dengan kriteria di atas?

Kita jangan memilih manusia yang tidak ksatria, yang bersembunyi di belakang wajah tak berdosanya ketika kerusuhan melanda negeri ini. Jangan jatuhkan pilihan kita yang jelas-jelas tidak jantan untuk mengakui kegagalan pemerintahannya dengan alasan dia hanya mewarisi negeri rongsokan. Jangan berikan suara kita kepada manusia yang jelas-jelas telah memusuhi rakyatnya sendiri sehingga menuduh seorang tua yang notabene rakyatnya sebagai tokoh teroris. Jangan tusukan paku di jari kita atas muka orang yang tidak jelas komitmen dan integritas untuk rakyatnya. Jelasnya tidak ada satu pasanganpun yang pantas memimpin negeri ini. Jadi, haruskah kita menjadi golput alias tidak mencoblos satu pasangan pun?

Kriteria Pemimpin

Diriwayatkan daripada Abu Musa r.a katanya: Aku menemui Nabi s.a.w bersama dengan dua orang lelaki dari keluarga bapak saudaraku. Salah seorang warisku itu berkata: Wahai Rasulullah, berikanlah aku jawatan untuk mengurus (memimpin) sebahagian dari perkara yang diberikan oleh Allah kepada mu. Begitu juga waris ku seorang lagi mengajukan permohonan yang sama, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, apatah lagi kepada orang yang tamak padanya (H.R. Bukhori Muslim).

Hadits di atas dikutip dengan maksud sebagai dasar dari tulisan ini. Karena di era yang semakin tidak menentu ini sepertinya manusia sudah lupa akan pegangan hidup sebagai umat Islam yang senantiasa harus berpegang pada Al Quran dan Hadits. Menghadapi pemilihan presiden negeri ini 5 Juli 2004 mendatang, kita disuguhi berbagai dagelan kampanye yang ditampilkan para capres. Tanpa malu seolah mereka adalah yang terbaik diantara rakyat negeri ini. Mereka berteriak dan mengumbar janji kepada rakyat, bahwa mereka adalah calon presiden yang paling pantas memimpin negeri ini. Benarkah demikian? Simaklah hadits di atas, bila kita ingin mendapatkan pemimpin yang sesungguhnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menginginkan jabatan itu, presiden yang baik adalah presiden yang tidak mempromosikan dirinya lebih dari orang lain dan memproklamirkan dirinya sebagai manusia yang paling pantas memimpin negeri ini. Di televisi dan diberbagai media masa kita menyaksikan dan membaca dengan perasaan masygul. Terharu melihat rakyat berbinar-binar menatap calon presiden datang ke sekolah butut. Tersenyum pahit menyaksikan calon presiden yang mendadak menyalami tangan bau daki rakyat di tengah kerumunan. Tanpa jijik dan ragu para capres tersebut berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat yang saya yakin pasti tidak akan mereka injak lagi bila mereka telah terpilih menjadi presiden. Pasar yang kotor, terminal bis, tempat kumuh dan pesantren adalah tempat yang menjadi primadona selama satu bulan ini.

Di televisi, kita disuguhi aneka dagelan yang disuguhkan para badut politik tersebut. Kita disuguhi doktrinasi dan promosi dari para capres tersebut yang menukil berbagai peristiwa sejarah. Bahkan dengan aktif salah satu capres tersebut menjelek-jelekan orang lain yang seolah-olah pemerintahan semasa dia memimpinlah yang terbaik. Walau dia akui kurang berhasil, karena negeri yang dipimpinnya adalah negeri rongsokan sisa peninggalan Orba. Pantaskah kita memilih calon pemimpin seperti ini? Bukankah Rasululloh pernah bersabda orang yang menggunjing keburukan pihak lain tidak jauh berbeda dengan pemakan bangkai!

Dagelan kemudian lebih didramatisir dengan adegan-adegan protes mahasiswa, tentara menendang mahasiswa, anak-anak SD yang bersih-bersih menyiumi tangan mereka, sumpeknya pasar-pasar tradisional, pengapnya jalan-jalan berlubang yang dilalui bus atau truk atau angkutan kota di terminal, sampai lagu Sajadah Panjang (Bimbo). Ada juga yang menampilkan gelang bergelantungan di tangan dan berlian di telinga sembari menunjuk majunya ekonomi negara. Anehnya, tidak ada yang menampilkan perihnya perut rakyat gara-gara duit negara dikorupsi habis-habisan.

Sebagai rakyat yang telah kenyang dibohongi para pemimpinnya semestinya rakyat menyadari bahwa kampanye adalah ajang adu mulut dan janji palsu demi mendapatkan suara rakyat agar memilih mereka. Rakyat negeri ini semestinya mampu membaca bahwa semasa kampanye saja mereka sudah memanipulasi realita yang ada demi meninakbobokan rakyatnya apalagi kelak menjadi presiden? Mungkin tidak segan mereka untuk melakukan perbuatan yang susah digambarkan dari kacamata norma agama.

Haruskah Kita Golput?

Rasululloh sudah memberikan rambu-rambu kepada umatnya, untuk tidak memilih pemimpin atau memberikan jabatan kepada manusia yang menginginkannya. Pemimpin yang benar-benar asli punya jalan yang berbeda. Ia muncul dengan kekuatan yang begitu tulus, adem, menyenyumi kita dengan lembut. Orang langsung merasa ia tidak dibayang-bayangi ambisi pribadi. Orang yang tidak dengan serta merta berteriak pilihlah saya untuk memimpin negeri ini! Pemimpin yang bijaksana dan baik adalah orang yang murah hati, agamis dan berkepribadian seperti malaikat.

Pempimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang tinggi seperti yang dikatakan Ary Ginanjar Agustian (2001,114) Pemimpin sejati adalah seorang yang mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah.

Mencari dan memimpin sosok presiden dan wakil presiden yang bakal memimpin bangsa ini bukanlah hal yang mudah. Presiden memang bukan sembarang orang. Di tangan presidenlah jatuh bangunnya negara dan bangsa ditentukan. Untuk memilih pemimpin negeri yang carut marut dan sedang sakit ini diperlukan mata hati nurani dan meminta bimbingan Illahi.

Presiden dan calon presiden yang kita pilih haruslah memenuhi kriteria seperti di atas. Menurut hati nurani kita adakah dari para capres dan cawapres yang sedang menjadi artis selama satu bulan ini yang layak? Bukalah mata hati dan tanyakan pada kalbu kita, adakah yang pantas memimpin negeri ini sesuai dengan kriteria di atas?

Kita jangan memilih manusia yang tidak ksatria, yang bersembunyi di belakang wajah tak berdosanya ketika kerusuhan melanda negeri ini. Jangan jatuhkan pilihan kita yang jelas-jelas tidak jantan untuk mengakui kegagalan pemerintahannya dengan alasan dia hanya mewarisi negeri rongsokan. Jangan berikan suara kita kepada manusia yang jelas-jelas telah memusuhi rakyatnya sendiri sehingga menuduh seorang tua yang notabene rakyatnya sebagai tokoh teroris. Jangan tusukan paku di jari kita atas muka orang yang tidak jelas komitmen dan integritas untuk rakyatnya. Jelasnya tidak ada satu pasanganpun yang pantas memimpin negeri ini. Jadi, haruskah kita menjadi golput alias tidak mencoblos satu pasangan pun?

Tips Bergaul Secara Sehat

Bertemu kawan baru? Pasti sering kita alami dan tidak jarang pula yang biasanya banyak ngomong ,cas cis cus lancar,tiba-tiba menjadi pendiam,grogi,bingung harus berbuat apa.. Agar kita bisa tetap rileks dan tidak salah tingkah,kehabisan bahan pembicaraan,berikut ini beberapa cara dapat kita lakukan.

1. Memulai Pembicaraan dengan Hal hal yang Sudah Pasti

Sering terlintas dalam pikiran kita,bila kita sedang berbicara denga kenalan baru (Jangan-jangan dikira sok kenal dan sok dekat) kita bisa memulai pembicaraan dengan menanyakan alamatnya.pekerjaannya,hobinya,atau hal lain yang sudah pasti.Tetapi kita jangan kecewa bila kawan baru kita hanya menjawab "ya" dan "tidak" bahkan hanya diam saja.Anggap saja belum saatnya kita dapat berkenalan.hindari fikiran yang negatif dan cobalah pada kesempatan lain.

2. Jangan Pernah Mengkritik Diri Sendiri

Ketakutan akan dinilai lawan bicara adalah hambatan yang terbesar untuk berbicara dengan orang lain. Dalam Psikologi dikenal dengan istilah " Self Criticism "(Kritik Diri). Ketakutan di atas merupakan wujud dari kritik diri yang berlebihan. Agar kita bisa dapat berhasil bergaul dengan kawan baru maka kita harus mampu mengendalikan kritik diri.

3. Jangan Mudah Memuji

Jangan sekaligus memberi kritikan sambil memuji seseorang misalnya kita bertemu sahabat pena, lalu kita katakan " Oh ternyata anda lebih cantik dari anda dulu ". Bisa saja dia menganggap bahwa dulu dia tidak pernah kelihatan cantik.

4. Jangan Membicarakan Diri Sendiri

Kita akan dinilai ramah bila kita memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Berikan pertanyaan-pertanyaan singakat agar dia terpancing untuk bercerta,hingga kita menemukan topik yang menarik dan disukai teman baru kita. Tapi jangan sampai terkesan kita sedang melakukan interogasi,karena bisa saja suasana akan menjadi rusak.

5. Bahasa Tubuh yang Ramah

Sikap tubuh yang menimbulkan penerimaan dengan senyuman dan keterbukaan akan menarik perhatian kawan baru kita. Sebab dengan muka masam dan tangan yang dilipat akan mengurungkan niat teman baru kita untuk berbicara dengan kita.

6. Membagi Perhatian dengan Adil

Bila pada saat yang sama kita menjumpai beberapa kawan baru sekaligus,bagilah pembicaraan di tengah-tengah mereka dengan melibatkan berbagai topik. Jangan sampai pembicaraan kita hanya terpusat pada satu orang. Sebab alangkah menyebalkan bila kita diabaikan orang lain.

7. Hindari Perdebatan

Hindari pembicaraan yang dapat memancing perdebatan dan tidak mengenakkan pada lawan bicara kita. Apalagi pembicaraan yang mengandung perbedaan Sara. Alangkah baiknya bila membicarakan hal- hal yang netral dan ringan-ringan saja.

8. Jadilah Pendengar yang Baik

Bila kita tidak tahu apa yang harus kita bicarakan,dengarkan saja lawan bicara kita. Berilah tanggapan dengan komentar-komentar yang segar, sehingga lawan bicara kita merasa dihargai dan dihormati pembicaraannya.

9. Seni Mengelak

Bila kita merasa kawan baru kita adalah lawan bicara yang membosankan (hanya berbicara tentang bengkelnya atau hobinya dengan pertandingan tinju,maka saat dia sedang mencari-cari bahan pembicaraan selanjutnya kita bisa berdalih,"maaf saya ada keperluan sebentar"atau alasan lain. Jangan sampai dia tahu bahwa kita menghindarinya.

10. Sense of Humor

Dengan rasa humor yang tinggi,suasana akan menjadi hangat dan menambah keakraban kita. Kita akan menjadi pribadi yang menarik dengan humor-humor ringan dan disukai lawan bicara kita. Asal tidak menyinggung perasaan dan kita tidak menjadi obyek yang ditertawakan terlebih sampai menyinggungb perasaan orang lain.

Saya harap artikel ini memperlancar perkenalan dengan para calon teman baru anda, dan lebih mempererat hubungan yang telah terjalin dengan kawan-kawan anda.serta menambah pengetahuan dan pengalaman yang baru.

Tips Bergaul Secara Sehat

Bertemu kawan baru? Pasti sering kita alami dan tidak jarang pula yang biasanya banyak ngomong ,cas cis cus lancar,tiba-tiba menjadi pendiam,grogi,bingung harus berbuat apa.. Agar kita bisa tetap rileks dan tidak salah tingkah,kehabisan bahan pembicaraan,berikut ini beberapa cara dapat kita lakukan.

1. Memulai Pembicaraan dengan Hal hal yang Sudah Pasti

Sering terlintas dalam pikiran kita,bila kita sedang berbicara denga kenalan baru (Jangan-jangan dikira sok kenal dan sok dekat) kita bisa memulai pembicaraan dengan menanyakan alamatnya.pekerjaannya,hobinya,atau hal lain yang sudah pasti.Tetapi kita jangan kecewa bila kawan baru kita hanya menjawab "ya" dan "tidak" bahkan hanya diam saja.Anggap saja belum saatnya kita dapat berkenalan.hindari fikiran yang negatif dan cobalah pada kesempatan lain.

2. Jangan Pernah Mengkritik Diri Sendiri

Ketakutan akan dinilai lawan bicara adalah hambatan yang terbesar untuk berbicara dengan orang lain. Dalam Psikologi dikenal dengan istilah " Self Criticism "(Kritik Diri). Ketakutan di atas merupakan wujud dari kritik diri yang berlebihan. Agar kita bisa dapat berhasil bergaul dengan kawan baru maka kita harus mampu mengendalikan kritik diri.

3. Jangan Mudah Memuji

Jangan sekaligus memberi kritikan sambil memuji seseorang misalnya kita bertemu sahabat pena, lalu kita katakan " Oh ternyata anda lebih cantik dari anda dulu ". Bisa saja dia menganggap bahwa dulu dia tidak pernah kelihatan cantik.

4. Jangan Membicarakan Diri Sendiri

Kita akan dinilai ramah bila kita memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Berikan pertanyaan-pertanyaan singakat agar dia terpancing untuk bercerta,hingga kita menemukan topik yang menarik dan disukai teman baru kita. Tapi jangan sampai terkesan kita sedang melakukan interogasi,karena bisa saja suasana akan menjadi rusak.

5. Bahasa Tubuh yang Ramah

Sikap tubuh yang menimbulkan penerimaan dengan senyuman dan keterbukaan akan menarik perhatian kawan baru kita. Sebab dengan muka masam dan tangan yang dilipat akan mengurungkan niat teman baru kita untuk berbicara dengan kita.

6. Membagi Perhatian dengan Adil

Bila pada saat yang sama kita menjumpai beberapa kawan baru sekaligus,bagilah pembicaraan di tengah-tengah mereka dengan melibatkan berbagai topik. Jangan sampai pembicaraan kita hanya terpusat pada satu orang. Sebab alangkah menyebalkan bila kita diabaikan orang lain.

7. Hindari Perdebatan

Hindari pembicaraan yang dapat memancing perdebatan dan tidak mengenakkan pada lawan bicara kita. Apalagi pembicaraan yang mengandung perbedaan Sara. Alangkah baiknya bila membicarakan hal- hal yang netral dan ringan-ringan saja.

8. Jadilah Pendengar yang Baik

Bila kita tidak tahu apa yang harus kita bicarakan,dengarkan saja lawan bicara kita. Berilah tanggapan dengan komentar-komentar yang segar, sehingga lawan bicara kita merasa dihargai dan dihormati pembicaraannya.

9. Seni Mengelak

Bila kita merasa kawan baru kita adalah lawan bicara yang membosankan (hanya berbicara tentang bengkelnya atau hobinya dengan pertandingan tinju,maka saat dia sedang mencari-cari bahan pembicaraan selanjutnya kita bisa berdalih,"maaf saya ada keperluan sebentar"atau alasan lain. Jangan sampai dia tahu bahwa kita menghindarinya.

10. Sense of Humor

Dengan rasa humor yang tinggi,suasana akan menjadi hangat dan menambah keakraban kita. Kita akan menjadi pribadi yang menarik dengan humor-humor ringan dan disukai lawan bicara kita. Asal tidak menyinggung perasaan dan kita tidak menjadi obyek yang ditertawakan terlebih sampai menyinggungb perasaan orang lain.

Saya harap artikel ini memperlancar perkenalan dengan para calon teman baru anda, dan lebih mempererat hubungan yang telah terjalin dengan kawan-kawan anda.serta menambah pengetahuan dan pengalaman yang baru.

Kiai dan Profesor; Upaya Mencari Titik Temu Perguruan Tinggi

Sungguh ironis jika kita memperbincangkan tentang keberadaan lembaga pendidikan pesantren di negeri ini. Biarpun pesantren merupakan lembaga pendidikan khas dan asli pribumi.(Bruinessen;1999). Namun kenyataannya, lembaga ini tetap saja kalah bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Padahal, baik dari segi wacana maupun praksis, perbedaan tradisonal maupun modern tentang lembaga pendidikan ini sudah tidak persoalkan lagi. Sebab, baik pesantren yang bersifat tradisional dan modern sama-sama mempunyai ciri-ciri yang kurang lebih persis sama. Pesantren tradisonal, misalnya pesantrennya orang-orang NU, meskipun dalam sistem pengkajiannya dikatakan tradisional namun, untuk tingkat pola pikir yang terjadi justru sebaliknya, mereka lebih modern atau bahkan liberal ketimbang lembaga pendidikan lainnya yang lebih modern. Untuk contoh ini bisa disebut para alumni dari pesantren tradisional seperti; Ulil Abshar Abdalla, Abdurrahman Wahid, Khamami Zada, dan lain sebagainya.

Sedangkan pesantren yang dikategorikan sebagai pesantren modern, biasanya identik dengan pesantren atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam yang masuk kelompok ormas Muhammadiyah. Dalam konteks ini, biarpun mereka dikatakan mengikuti sistem pendidikan modern, akan tetapi, untuk pola pikir, mereka masih terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok NU di atas. Baik dari segi wacana maupun dalam tataran praksis. Dan mungkin untuk beberapa hal lainnya juga sama.

Untuk itu, maka kata ''modern'' dan ''tradisional'' sudah tidak relevan lagi bila disematkan pada lembaga pendidikan ini, pesantren. Namun, persoalannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Melainkan sejumlah persoalan yang melingkupi pesantren ini masih saja ada. Setidaknya, ketika dihadapkan perbincangan pesantren ini dengan perbincangan lembaga pendidikan lainnya yang lebih diakui mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat dan pemerintahan, yakni perguruan tinggi-perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi. Meskipun untuk pengembangan studi ilmu-ilmu pesantren telah didirikan sebuah perguruan tinggi Islam dengan nama IAIN dan STAIN, namun, tetap saja, dua lembaga pendidikan ini dianggap mempunyai banyak perbedaan yang cukup mendasar dan substansial.

Baik dari segi kurikulum, metode pengkajian dan berbagai faktor lainnya. Oleh karena itu, fenomena tersebut jelas perlu dipertanyakan kembali mengenai sejauh mana antara pesantren dan perguruan tinggi mempunyai relevansi yang seimbang, atau paling tidak bisa dikatakan sama. Karena, kedua lembaga pendidikan ini tetap saja dipandang berbeda. Lebih dari itu, pesantren-terlepas dari perbedaan tradisional dan modern-tetap saja dipandang sebelah mata. Bahkan, dalam pandangan penulis, semodern-modernnya sebuah pesantren tetap saja tidak akan mempunyai arti apa-apa ketika dikomparasikan dengan lembaga pendidikan negara, yakni perguruan tinggi Bahkan lebih jauh, banyak juga lulusan-lulusan dari pesantren-pesantren modern yang pada akhirnya melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Begitu juga dengan santri-santri yang sebelumnya belajar di pesantren tradisional, melakukan hal yang sama, yakni melanjutkan studinya di perguruan tinggi negara.

Akan tetapi, dalam tulisan ini secara lebih khusus hanya akan memaparkan tentang bagaimana relevansi antara kedua tokoh figur di masing-masing kedua lembaga pendidikan tersebut, yakni kiai di pesantren dan dosen (guru besar) di perguruan tinggi. Apakah kedua tokoh figur tersebut mempunyai kesamaan yang selaras dan relevan? Ataukah sebaliknya, kedua tokoh tersebut memang benar-benar jauh berbeda? Sehingga tidak bisa dipertemukan antara satu dengan lainnya. Namun, biarpun tulisan ini secara khusus hanya akan mengurai upaya mencari titik temu antara kiai dan dosen (khususnya lagi guru besar) di masing-masing lembaga tersebut. Tetapi, dalam konteks tersebut, tentu tidak lepas dari pembahasan pesantren dan perguruan tinggi itu sendiri. Sehingga dalam uraian nanti, juga akan diterangkan secara sekilas mengenai kapan dan bagaimana perjalanannya untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang jelas begitu plural dan heterogen.

Sekilas Tentang Pesantren dan Perguruan Tinggi Di Masa Kolonial

a. Pesantren
Ketika membicarakan antara pesantren dan perguruan tinggi di masa kolonial, tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena, memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir.

Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmu-ilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita melihat ke belakang sekitar abad ke-17-18 maka, kita akan melihat bagaimana peran seorang ulama seperti syekh Yusuf al-Maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as-Sumaterani, Nuruddin ar-Raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya.

Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika yang cukup pesat. Apalagi dengan sudah dibukanya terusan Suez pada abad ke-19 (1870) (Steenbrink; 1984). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang mondok dan mesantren tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di Nusantara-walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah. Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmu-ilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiai atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--Dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya.

Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya bahkan kealimannya. Kenyataan tersebut semakin dipertegas dengan adanya bahasa Nusantara yang menjadi bahasa kedua setelah bahasa arab yang digunakan di sana. Setidaknya, menurut Martin, sekurang-kurangnya kira-kira tahun 1860 bahasa Melayu merupakan bahasa kedua setelah bahasa arab yang dipergunakan di Mekah.

Kembali kepada pesantren. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan kira-kira abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.

Karena, kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984)

Namun, ketika mulai menginjak abad ke-20, di mana abad ini disebut-sebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Tentang hal tersebut, sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga dengan begitu, fungsi dan peran pesantren seakan-akan memang benar telah bergeser dari sebelumnya. Tapi, paling tidak hal di atas cukup kiranya untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.

b. Perguruan Tinggi.
Sebagaimana yang sudah dikatakan di atas bahwa lembaga pendidikan yang paling berpengaruh sebelum abad ke-20 adalah pesantren, namun pada abad XX dan selanjutnya hingga sekarang justru sebaliknya, tingkat dominasi pesantren di seluruh kawasan Nusantara mengalami penurunan. Dan, mulai abad dua puluh itulah dan sampai sekarang yang lebih berperan dan mengambil peran dalam setiap persoalan pemerintah adalah lembaga pendidikan yang disebut kemudian dengan nama perguruan tinggi, baik itu universitas, institut ataupun sekolah tinggi.

Fenomena tersebut memang jelas merupakan hasil dari begiu kuatnya dominasi dan wilayah domain pemerintah Hindia Belanda dalam setiap menjalankan kebijakan politiknya. Namun, tentang mulai kapan ada dan berdirinya lembaga pendidikan yang berlabelkan universitas, institut dan sekolah tinggi ini juga belum bisa dipastikan. Tapi, setidaknya sebagai sekedar informasi yang ditemukan oleh Akira Nagazumi dari hasil studinya mengenai ''Perhimpunan Indonesia; Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda, 1916-1917'', patut dijadikan catatan. (Akira Nagazumi; 1986)

Tentang mulai berdirinya perguruan tinggi di Nusantara memang tidaklah langsung jadi secara cepat. Atau, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu tidak langsung mendirikan lembaga pendidikan tersebut, perguruan tinggi. Melainkan yang pertamakali didirikan terlebih dahulu adalah semacam sekolah tingkat dasarnya. Sekitar abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai berusaha meningkatkan pendidikan di Hinida Belanda. Tepatnya pada tahun 1845 Gubernur Jenderal J.C. Baud mengusulkan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi kalangan elit penduduk pribumi. Yang kemudian baru menjadi kenyataan beberapa tahun sesudahnya. Tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertama untuk guru pribumi (kweekscholen) dan satu sekolah untuk melatih ''juru suntik'' (dokter Djawa-Scholen). Karena baru ada 20 sekolah dasar untuk anak-anak pribumi pada tahun 1854, maka umumnya yang dapat memasuki lembaga pendidikan tersebut di atas, hanyalah mereka yang telah menerima pelajaran privat dari guru-guru Belanda atau, mereka yang telah dari Europeese Lagere School (sekolah dasar Eropa) di Hindia Belanda, yang baru setelah itu, tahun 1864 membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk belajar di lembaga pendidikan tersebut. (A. Nagazumi; 1986)

Tahun 1878 di Jawa telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-scholen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite), tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintah pribumi atau ambtenar (yang dimasa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja). Guru, tenaga medis dan pegawai pemerintahan adalah orang-orang yang paling diperlukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan lembaga untuk mendidik tenaga-tenaga ini, merupakan sekolah lanjutan yang paling tinggi tingkatnya di Hindia Belanda. (A. Nagazumi; 1986). Sementara itu, sekolah-sekolah kejuruan seperti hukum, peternakan, pertanian dan perdagangan, tumbuh seperti jamur dalam dasawarsa-dasawarsa abad XX, baru pada tahun 1920-an pendidikan universitas mulai diadakan di Hindia Belanda. Dan untuk pendidikan tinggi ini, seseorang terpaksa harus ke luar negeri, khususnya negeri Belanda. Di tahun 1900 hanya ada lima orang mahasiswa pribumi menuntut pendidikan tinggi di Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa sudah 23 orang, dan pada tahun yang sama inilah Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) dibentuk. Yang kemudian ''Perhimpunan Hindia'' berubah nama menjadi ''Perhimpunan Indonesia'' pada tahun 1925.

Itulah kira-kira sekilas tentang bagaimana pertamakali munculnya perguruan tinggi. Hanya untuk menegaskan, bahwa dari sinilah perguruan tinggi itu tumbuh dan kemudian mulai mengalami perkembangan terus semakin pesat. Dan tentunya berbeda dengan pesantren yang memang didirikan oleh masyarakat sendiri. Perguruan tinggi sengaja didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan banyak sekali orang-orang pribumi untuk dijadikan pegawai-pegawai di Pemerintahan Hindia Belanda, dan tentunya itu juga tidak lepas dari pretensi-pretensi Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada perkembangan selanjutnya itulah yang lebih mempunyai peran di tingkat pemerintahan nasional adalah para pemuda-pemuda yang memang merupakan llulusan perguruan tinggi. Salah satu contoh dapat kita sebut misalnya adalah; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Syafrudin Prawirangera dan yang lainnya. Mereka inilah yang kemudian mempunyai peranan dalam dinamika pemerintahan tingkat nasional.

Antara Kiai dan Profesor (Pengajar di Pesantren & Perguruan Tinggi)

Selama ini, mungkin kita hanya melihat kiai dan professor sebagai dua sosok figure yang berbeda, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan masyarakat intelektual. Apalagi jika dikaitkan dengan di mana kedua tokoh tersebut mengabdikan dirinya kepada masyarakat, kiai di pesantren, sedangkan professor di perguruan tinggi.

Kemudian, dalam pada itu, kiai lebih dikenal dengan atau sebagai tokoh agama yang tentu saja sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman yang berkembang dan memang sudah menjadi keharusan bagi seorang kiai untuk menguasainya. Sedangkan professor lebih dikenal sebagai seorang tokoh intelektual yang juga mempunyai keilmuan yang mendalam di bidang keilmuannya. Hanya saja, jika kiai merupakan gelar atau title yang diperoleh dari masyarakat langsung. Namun, tidak hanya disebabkan karena kedalaman keilmuan saja ia memperoleh gelar tersebut. Tetapi, ia mendapat gelar itu juga dikarenakan kesabarannya dalam mengasuh dan membina umat. Dan, tentunya moral juga dipertanggungjawabkan. Jadi, jika bisa dikatakan, gelar atau titel kiai didapatkan dari dan oleh masyarakat langsung karena peranannya dalam membina dan membawa masyarakat suatu pedesaan dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak bermoral menjadi bermoral.

Sehingga dengan demikian, gelar kiai tidak semata-mata disebabkan oleh kedalaman ilmu yang dimilikinya. Tetapi, secara moral dan tanggung jawab seoarang kiai memang lebih besar daripada seoarang professor. Karena, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kiai untuk menjadi tokoh masyarakat yang disegani, dihormati dan dikagumi. Atau pendeknya, kiai mempunyai tugas tidak hanya semata-mata urusan duniawi, tetapi, ia mempunyai tanggung jawab untuk dapat membimbing masyarakat ke jalan ukhrawi (agama). Agar masyarakat tersebut nantinya bisa menyeimbangkan antara keperluan duniawi dan ukhrawi.

Namun, dalam realitasnya, kiai ini terbagi menjadi dua. Munurut Prajarta Dirjosanto sebagaimana yang dikutip Nurul Huda SA, kiai pesantren dan kiai langgar. Kiai pesantren adalah kiai yang mempunyai pesantren, sedangkan kiai langgar yaitu kiai yang tidak memiliki pesantren dan hanya mengajar di rumah atau di langgar. Namun, meskipun dekian, pada dasarnya kedua kiai tersebut tetap mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama; membimbing umat. (Pikiran Rakyat, 2002). Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bila sedang membicarakan tentang kiai, maka hal itu identik dengan kiai-kiai yang tinggal di pesantren. Karena memang perannya yang begitu sentral dalam pembinaan umat. Dengan demikian, maka apa yang dikatakan Dhofier cukup selaras.

Karena kiai merupakan elemen yang paling penting dan esensial dari suatu pesantren. Bahkan seringkali ia merupakan pendiri dari pesantren tersebut. Maka sudah sewajarnya pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kiainya. (Dhofier; 1994). Berbeda dengan professor, di mana gelar tersebut diperoleh berdasarkan beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh masyarakat akademis pada suatu perguruan tinggi. Bisa jadi karena telah banyak menulis buku, melakukan penelitian, mengajar dan beberapa kategori yang lainnya. Sehingga dengan demikian, gelar atau titel professor diraih berdasarkan prestasi atau pengabdian di tempat di mana ia mengabdikan dirinya sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. Singkatnya, gelar professor merupakan gelar yang diraih atas dasar prestasi akademis.

Akan tetapi, biarpun perguruan tinggi berbeda dengan pesantren namun, ketika seorang mahasiswa yang akan dan sedang menyusun tugas akhirnya (baik itu skripsi, tesis maupun disertasi), biasanya dan memang sudah mejadi keharusan, setiap tema dan judul tugas akhir yang diambil oleh mahasiswa tersebut dan ketika si mahasiswa akan diberikan dosen pembimbing maka akan disesuaikan dengan masing-masing keahlian dari si dosen pembimbing tersebut. Melihat realitas seperti itu maka, hal itu mengingatkan kita tentang di setiap pesantren, atau pesantren-pesantren yang ada itu biasanya mempunyai ciri khas yang berbeda-beda.

Ciri khas itu biasanya identik dengan kajian yang dibahasnya di masing-masing pesantren. Ada pesantren al-Quran, gramatika arab, fiqih, tasawuf dan lain sebagainya. Dan, pesantren-pesantren tersebut menjadi terkenal dikarenakan ada satu bidang yang diprioritaskan untuk dikaji atau ditonjolkan. Misalnya saja seperti pesantren Gontor yang lebih dikenal dengan sistem dan program bahasa asingnya-Arab dan Inggris. Hal itu biasanya juga disesuaikan dengan keahlian dari para pengasuh atau para pengajar pesantren tersebut, baik itu ustadz maupun kiainya.

Sehingga dengan begitu, ternyata sistem pendidikan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut sama persis dengan pendidikan yang diterapkan di pesantren-pesantren. Singkatnya mengenai sipenuntut ilmu akan mencari seorang guru untuk studinya yang digelutinya. Hanya saja bedanya terletak pada, santri memang sudah dari awal diarahkan untuk mengkaji satu disiplin ilmu tertentu, dan biasanya untuk langkah menuju ke sana, santri tersebut harus mempelajari ilmu-ilmu dasarnya sebelum beralih ke tingkatan yang paling atas untuk mendalami satu bidang disiplin ilmu tertentu. Sedangkan di perguruan tinggi, hal itu akan terjadi ketika akan menulis tugas akhir.

Misalnya saja Hanun Asrohah-yang menyelesaikan studi S3-nya di UIN Jakarta-dengan judul disertasinya ''Pelembagaan Pesantren; Asal-Usul & Perkembangan Pesantren di Jawa''. Dikarenakan tema dan judul disertasinya berkaitan dengan sejarah intelektual di Indonesia maka, yang menjadi promotor atau dosen pembimbingnya salah satunya adalah Azyumardi Azra.
Jadi itulah kiranya titik temu antara pendidikan pesantren dan perguruan tinggi.

Guru, Antara Kebutuhan Hidup dan Profesionalisme

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa.
POTONGAN lagu himne guru di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul generasi pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui dengan tanpa upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada profesi lain. Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.

Tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat kita, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada, di samping tuntutan perbaikan taraf hidup guru. Mereka berharap, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan seorang guru yang profesional dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah.

Hal ini jelas menunjukkan masih adanya perhatian masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat karena dana untuk untuk membeli buku, berlangganan koran, internet tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan lainnya.
  2. Kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan.
  3. Meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun.
Hal itu merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja kemudian mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang "murah".Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan serta serta berbagai profesi lainnya kini dianggap sebagai profesi "murah" dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.

Upaya dengan cara berkoar-koar tidak akan mampu mengubah image yang telah melekat, namun justru malah semakin membuat posisi guru semakin terpojok. Yang harus dilakukan, guru justru harus memperlihatkan sikap profesional sebagai seorang pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Hanya melalui karya nyata dan sikap keseharian yang diperlihatkan oleh seorang guru lah yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta diakuinya keprofesionalannya oleh masyarakat. Pemenuhan kebutuhanPemenuhan kebutuhan hidup merupakan suatu yang harus diupayakan oleh setiap individu. Bagi seorang guru, kebutuhan hidupnya bukan hanya sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk menambah wawasan dan pengetahuan agar dia mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adat istiadat yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Bagi kebanyakan guru, pemenuhan semua kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dalam upaya meningkatkan profesionalisme masih menjadi suatu impian karena pendapatan mereka sebagai seorang guru belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Jangankan berpikir berlangganan koran, majalah atau internet dan menyediakan anggaran khusus untuk membeli buku secara rutin setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup rutin keluarganya yang paling mendasar pun masih kesulitan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kekurangan tersebut mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencukupi dengan melakukan kerja sampingan secara serabutan.Mengajar di banyak sekolah serta kerja sampingan yang bersifat fisik telah menjadi pilihan kebanyakan guru untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Hal ini jelas berakibat pada kurangnya waktu untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta perhatian kepada anak didik.

Akibat dari kesibukan mereka untuk mencari tambahan penghasilan tersebut, seorang guru berubah fungsi dari seorang pendidik menjadi pengajar. Mereka hanya mengajarkan ilmu kepada anak didiknya, dengan kemampuan yang pas-pasan karena apa yang disampaikannya hanya mengacu pada buku teks. Dengan demikian, tidak heran jika wawasan dan pengetahuan seorang guru berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat tertinggal dibanding anak didik. Akibatnya, lembanga sekolah dan khususnya guru hanya dianggap sebagai pemberi angka nilai rapor dan tidak lebih dari itu. Murid lebih percaya kepada lembaga bimbingan belajar dan informasi yang diperoleh dari berbagai media informasi. Penilaian atas rendahnya tingkat profesionalisme guru juga disebabkan oleh rendahnya minat guru terhadap dunia tulis-menulis. Mereka cenderung menyampaikan ide dan gagasan hanya melalui pembicaraan, bukan melalui tulisan ilmiah.

Padahal, penyampaian ide dan gagasan melalui tulisan akan terus memacu guru untuk membaca dan mencari sesuatu yang baru. Bahkan jika beruntung, tulisan kita dimuat di salah satu terbitan jelas akan mendatangkan pundi-pundi yang dapat menutupi kekurangan biaya hidup. Rendahnya minat guru untuk menekuni dunia tulis-menulis banyak disebabkan oleh keengganan mereka untuk mencoba menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Dengan alasan kesulitan untuk memulai, takut tidak dimuat, takut ditertawakan dan hanya menghabiskan waktu. Padahal, pengetahuan dan wawasan yang dimiliki guru dari hasil studi panjang di pergurtuan tinggi, berbagai pelatihan dan pendidikan profesi serta hasil membaca dari berbagai media cetak dan buku-buku ilmiah dapat dijadikan dasar untuk memulai menulis dan meningkatkan profesionalisme dalam menjalankan profesi pendidikan.

Pergeseran budaya dalam pendidikan, dari budaya mendengar dan mendongeng menjadi budaya membaca, menulis, dan diskusi perlu dilakukan. Melalui budaya membaca, menulis dan diskusi akan tumbuh kehidupan ilmiah dalam masyarakat kita. Jika budaya ini telah tumbuh pada diri setiap guru di Indonesia, insya Allah para guru di Indonesia dengan sendirinya akan diakui oleh masyarakat sebagai guru yang profesional karena mampu memperlihatkan kemampuannya kepada masyarakat secara nyata bukan hanya retorika.
Dalam kesempatan pertemuan "Pendidikan Katolik Internasional" di Brasilia-Brasil, seorang rekan dari Amerika Serikat berceritera bahwa "seorang anak nonton tv satu jam saja sudah akan berpengaruh terhadap perilakunya". Pernyataan itu kemudian kami eksplorasi bersama: mengapa demikian. Di Amerika cukup banyak saluran tv. Bukankah seseorang termasuk anak akan menonton siaran tv tidak hanya asal menghidupkan pesawat tv, tetapi yang bersangkutan pasti akan memilih saluran atau siaran-siaran yang diminati alias menjadi seleranya. Yang menjadi masalah adalah selera. Mengapa menjadi masalah?
SELERA
Mengikuti selera berarti memuaskan keinginan pribadi, atau secara kasar dapat dikatakan "memuaskan nafsu". Untuk mengeksplorasi masalah selera ini saya sampaikan, sekali lagi berupa ceritera, ceritera dari seorang dokter untuk tentara. Sang dokter pada suatu saat berkata:"Tugas saya adalah menjaga kesehatan tentara, antara lain menyediakan makanan yang memadai demi kesehatan. Untuk itu harus saya perhatikan gizi (mutu) maupun banyaknya. Demi kesehatan: apa yang saya sediakan harus dimakan habis, mereka tidak boleh makan menurut selera sendiri. Karena kalau mereka makan menurut selera sendiri, mereka tidak akan sehat alias sakit-sakitan, dan dengan demikian tidak layak menjadi prajurit yang siap tempur". Kalau makan menurut selera tidak sehat untuk pertumbuhan dan perkembangan phisik, bagaimana jika pergaulan, bekerja dst..hanya mengikuti selera? Bukankah juga tidak sehat?
Orang(anak) yang hanya mengikuti selera atau dominan dalam hal selera akan cenderung menjadi egois, dan jika ia menghadapi tantangan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan seleranya, ia akan marah (mencelakakan yang lain: kalau ia tidak punya kuasa akan "ngambek/dableg"/membisu, kalau ia penguasa dapat membuat kebijakan yang membuat orang lain menderita). Terbiasa mengikuti selera pribadi akan membuat orang kurang menghargai yang lain atau tidak tahan dalam penderitaan/tantangan/kesulitan.
MATA DAN TELINGA.
Dua indera kita ini aktif sejak kecil dan merupakan sarana untuk menerima (reciever) yang canggih. Orang dewasa dapat memilih atau mengikuti selera apa yang dilihat dan didengarnya. Apa yang dilihat dan didengarnya (termasuk yang dibaca) akan berpengaruh kuat dalam pandangan, sikap dan tindakan hidupnya. Bagaimana dengan anak-anak? Bukankah anak-anak tidak atau kurang dapat memilih. Mereka dapat melihat dan mendengar apa yang ada di sekitarnya. Bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya hidup (bertindak dan berbicara) akan berpengaruh terhadap mereka; hiasan dinding yang ditempel di rumah dst.,. akan berpengaruh terhadap mereka dst... Dalam hal melihat dan mendengar ini peting sekali diperhatikan bagi anak-anak balita.
TANTANGAN UNTUK PENDIDIKAN NILAI/BUDI PEKERTI.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro memiliki filsafat pendidikan yang kita kenal "ing arso asung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani" (keteladanan, motivasi dan pemberdayaan). Dalam rangka pendidikan nilai/budi pekerti KETELADANAN merupakan cara atau metode yang penting bahkan mutlak untuk dilaksanakan. Maka untuk pendidikan ini KETELADANAN dari para orang dewasa (orangtua, guru, kakak, atasan, pembesar dst..) mutlak untuk dihayati. Keteladanan dalam perilaku atau tindakan (apa yang dapat DILIHAT) dan kata-kata (apa yang dapat DIDENGARKAN). Tantangan: bukankah masa kini krisis keteladanan?
Apa yang DILIHAT nampaknya pada masa kini perlu memperoleh perhatian serius, misalnya:
- siaran tv (termasuk cd/vcd )
- hiasan-hiasan di dinding
- gambar-gambar iklan di jalanan
- perilaku para orang dewasa
- dst..
Demikian pula dengan apa yang DIDENGAR. Orang dapat bermain sandiwara: dihadapan anak kelihatan baik, tetapi jika tidak dilihat anak bertindak seenaknya (mengikuti selera sendiri). Ingat: bermain sandiwara tidak dapat bertahan lama, dan ketika orang tidak mampu bermain sandiwara, alias ia sudah hidup biasa dengan dan melalui perilaku tertentu, ia tak dapat menyembunyikan diri (bersandiwara lagi). Dengan demikian apa yang ia lakukan dengan mudah akan tersiarkan atau diceritakan dari mulut ke mulut...dan kemungkinan sangat besar terjadi ceritera itu sampai ke telinga orang/anak , kepada siapa sebenarnya ia ingin menyembunyikan. Dan jika hal ini terjadi akibatnya akan fatal. Ingat: penyelewengan suami/isteri, korupsi dan sebagaimana. Tantangan: hidup jujur dan disiplin.
Catatan: pengamatan kami anak-anak masa balita kurang memperoleh pendampingan atau pendidikan yang memadai, karena kesibukan orangtua (orangtua tidak punya waktu untuk anak secara memadai). Ketika anak masih kecil(balita) dapat dititipkan pada pembantu atau pengasuh/perawat. Dan memang anak balita tidak akan "rewel" atau "protes" atas hal itu. Tetapi kelak ketika menjadi remaja/pubertas, mereka mulai protes...dan inilah kenakalan yang tak terkendali sebagaimana yang terjadi saat ini. Hal ini merupakan permenungan pribadi. Silahkan para pembaca mengkritisi. Tetapi pengalaman dan pengamatan kami: masa BALITA PENTING (5 tahun pertama usia anak=anak, 5 tahun pertama usia perkawinan/hidup berkeluarga, 5 tahun pertama dalam kerja dst..).

Pendidikan nilai/budi pekerti: MATA dan TELINGA

Dalam kesempatan pertemuan "Pendidikan Katolik Internasional" di Brasilia-Brasil, seorang rekan dari Amerika Serikat berceritera bahwa "seorang anak nonton tv satu jam saja sudah akan berpengaruh terhadap perilakunya". Pernyataan itu kemudian kami eksplorasi bersama: mengapa demikian. Di Amerika cukup banyak saluran tv. Bukankah seseorang termasuk anak akan menonton siaran tv tidak hanya asal menghidupkan pesawat tv, tetapi yang bersangkutan pasti akan memilih saluran atau siaran-siaran yang diminati alias menjadi seleranya. Yang menjadi masalah adalah selera. Mengapa menjadi masalah?
SELERA
Mengikuti selera berarti memuaskan keinginan pribadi, atau secara kasar dapat dikatakan "memuaskan nafsu". Untuk mengeksplorasi masalah selera ini saya sampaikan, sekali lagi berupa ceritera, ceritera dari seorang dokter untuk tentara. Sang dokter pada suatu saat berkata:"Tugas saya adalah menjaga kesehatan tentara, antara lain menyediakan makanan yang memadai demi kesehatan. Untuk itu harus saya perhatikan gizi (mutu) maupun banyaknya. Demi kesehatan: apa yang saya sediakan harus dimakan habis, mereka tidak boleh makan menurut selera sendiri. Karena kalau mereka makan menurut selera sendiri, mereka tidak akan sehat alias sakit-sakitan, dan dengan demikian tidak layak menjadi prajurit yang siap tempur". Kalau makan menurut selera tidak sehat untuk pertumbuhan dan perkembangan phisik, bagaimana jika pergaulan, bekerja dst..hanya mengikuti selera? Bukankah juga tidak sehat?
Orang(anak) yang hanya mengikuti selera atau dominan dalam hal selera akan cenderung menjadi egois, dan jika ia menghadapi tantangan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan seleranya, ia akan marah (mencelakakan yang lain: kalau ia tidak punya kuasa akan "ngambek/dableg"/membisu, kalau ia penguasa dapat membuat kebijakan yang membuat orang lain menderita). Terbiasa mengikuti selera pribadi akan membuat orang kurang menghargai yang lain atau tidak tahan dalam penderitaan/tantangan/kesulitan.
MATA DAN TELINGA.
Dua indera kita ini aktif sejak kecil dan merupakan sarana untuk menerima (reciever) yang canggih. Orang dewasa dapat memilih atau mengikuti selera apa yang dilihat dan didengarnya. Apa yang dilihat dan didengarnya (termasuk yang dibaca) akan berpengaruh kuat dalam pandangan, sikap dan tindakan hidupnya. Bagaimana dengan anak-anak? Bukankah anak-anak tidak atau kurang dapat memilih. Mereka dapat melihat dan mendengar apa yang ada di sekitarnya. Bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya hidup (bertindak dan berbicara) akan berpengaruh terhadap mereka; hiasan dinding yang ditempel di rumah dst.,. akan berpengaruh terhadap mereka dst... Dalam hal melihat dan mendengar ini peting sekali diperhatikan bagi anak-anak balita.
TANTANGAN UNTUK PENDIDIKAN NILAI/BUDI PEKERTI.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro memiliki filsafat pendidikan yang kita kenal "ing arso asung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani" (keteladanan, motivasi dan pemberdayaan). Dalam rangka pendidikan nilai/budi pekerti KETELADANAN merupakan cara atau metode yang penting bahkan mutlak untuk dilaksanakan. Maka untuk pendidikan ini KETELADANAN dari para orang dewasa (orangtua, guru, kakak, atasan, pembesar dst..) mutlak untuk dihayati. Keteladanan dalam perilaku atau tindakan (apa yang dapat DILIHAT) dan kata-kata (apa yang dapat DIDENGARKAN). Tantangan: bukankah masa kini krisis keteladanan?
Apa yang DILIHAT nampaknya pada masa kini perlu memperoleh perhatian serius, misalnya:
- siaran tv (termasuk cd/vcd )
- hiasan-hiasan di dinding
- gambar-gambar iklan di jalanan
- perilaku para orang dewasa
- dst..
Demikian pula dengan apa yang DIDENGAR. Orang dapat bermain sandiwara: dihadapan anak kelihatan baik, tetapi jika tidak dilihat anak bertindak seenaknya (mengikuti selera sendiri). Ingat: bermain sandiwara tidak dapat bertahan lama, dan ketika orang tidak mampu bermain sandiwara, alias ia sudah hidup biasa dengan dan melalui perilaku tertentu, ia tak dapat menyembunyikan diri (bersandiwara lagi). Dengan demikian apa yang ia lakukan dengan mudah akan tersiarkan atau diceritakan dari mulut ke mulut...dan kemungkinan sangat besar terjadi ceritera itu sampai ke telinga orang/anak , kepada siapa sebenarnya ia ingin menyembunyikan. Dan jika hal ini terjadi akibatnya akan fatal. Ingat: penyelewengan suami/isteri, korupsi dan sebagaimana. Tantangan: hidup jujur dan disiplin.
Catatan: pengamatan kami anak-anak masa balita kurang memperoleh pendampingan atau pendidikan yang memadai, karena kesibukan orangtua (orangtua tidak punya waktu untuk anak secara memadai). Ketika anak masih kecil(balita) dapat dititipkan pada pembantu atau pengasuh/perawat. Dan memang anak balita tidak akan "rewel" atau "protes" atas hal itu. Tetapi kelak ketika menjadi remaja/pubertas, mereka mulai protes...dan inilah kenakalan yang tak terkendali sebagaimana yang terjadi saat ini. Hal ini merupakan permenungan pribadi. Silahkan para pembaca mengkritisi. Tetapi pengalaman dan pengamatan kami: masa BALITA PENTING (5 tahun pertama usia anak=anak, 5 tahun pertama usia perkawinan/hidup berkeluarga, 5 tahun pertama dalam kerja dst..).

Cinta kasih dan kebebasan, cirikhas pendidikan

Cinta kasih dan kebebasan: timbal balik/saling melengkapi.
Cintakasih itu bebas, tanpa batas, tanpa syarat, dengan kata lain batasnya adalah kebebasan. Sebaliknya kebebasan hanya dapat dibatasi oleh cintakasih. Cintakasih sejati berarti menghargai dan menghormati harkat martabat yang lain. Atau boleh memimjam ajaran Santo Paulus, sebagaimana dikutip oleh penulis buku "Spiritual Intelegence", Danah Zohar dan Ian Marschall, "Cintakasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tatapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkans segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan" (1Kor 13:4-8).
Anak/manusia "ada/lahir" karena dan oleh cintakasih
Bukankah cintakasih dan kebebasan sebagaimana dilukiskan di atas menjiwai sepasang laki-laki dan perempuan di dalam memadu kasih, membangun hidup berkeluarga, sebagai suami isteri? Antara suami dan isteri terjadi hubungan atau komunikasi cintakasih, saling mengasihi melalui dan dengan kata maupun tindakan. Tindakah cintakasih berdua memuncak dalam persetubuhan (sehati, sejiwa, setubuh dst..), dengan kata lain persetubuhan adalah perwujudan kasih, dan ada kemungkinan menghasilkan "buah kasih" yaitu janin, anak. Dengan kata lain anak adalah "buah kasih" atau kasih. Ia "diadakan", dibesarkan, dalam dan oleh cintakasih. Ia dilahirkan dan dididik oleh orangtuanya dalam dan oleh cintakasih. Dengan kata lain: setiap orang adalah kasih, hanya dengan dan oleh kasih ia masih hidup sampai saat ini (ingat: jumlah pengguguran di Indonesia 2.000.000. pertahun, saya dan anda yang masih hidup ini tidak termasuk yang digugurkan?!).
Pendidikan yang baik dijiwai oleh cintakasih dan kebebasan.
Hemat kami cintakasih dan kebebasan yang dihayati oleh para orangtua (ayah dan ibu) dalam mendidik dan mendampingi (membesarkan) anaknya dibutuhkan oleh setiap orang. Jika orang ingin hidup sejahtera ia perlu dipenuhi kebutuhan kasih dan kebebasannya. Sampai mati orang masih membutuhkan cintakasih dan kebebasan itu. Maka di dalam pendidikan formal di sekolah (ingat sekolah adalah pembantu orangtua dalam mendidik anak-anak mereka, berarti melanjutkan pendidikan di dalam keluarga) cintakasih dan kebebasan harus menjiwai proses belajar-mengajar atau proses pembelajaran.
Cintakasih dan kebebasan ini hemat kami sangat dibutuhkan berkaitan dengan reformasi pendidikan atau mengusahakan pendidikan yang baik, yang antara lain berciri:
1) berbasis pada kompetensi anak/peserta didik
2) proses: pendidikan itu proses, bukan instant atau paksaan
3) "cura personalis": pendidikan yang baik memperhatikan masing-masing pribadi atau "cura personalis" (bdk dengan berbasis kompetensi)
4) gembira : pertumbuhan dan perkembangan yang baik membutuhkan suasana atau iklim yang menyejukkan atau menggembirakan (kebebasan?).
5) dst..
Tidak boleh ada paksaan
Segala macam bentuk paksaan/ancaman dari aneka instansi akan mengganggu proses pendidikan atau pembelajaran yang baik. Agar suasana cintakasih dan kebebasan terasa di sekolah, hemat kami perlu diberi kebebasan dan tanggungjawab kepada "para penyelenggara pendidikan/pembantu orangtua dalam mendidik anak-anaknya dan orangtua para peserta didik". Dialog. komunikasi, kerjasama antar mereka mutlak dibutuhkan, sedangkan instansi lain juga sebagai pembantu, yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan atau kemudahan-kemudahan untuk menunjang proses pembelajaran, misalnya: dana, kurikulum, dst...

Tanggung Jawab Intelegensia

Sebelum mulai belajar seseorang hendaknya telah tuntas menajamkan visi pendidikannya. Bahwa belajar tentunya bukan sekedar menghafal berbaris kata dari diktat atau catatan. Tentu saja bukan menelan bulat-bulat semua fatwa pengajar. Mereka meresapi bahwa belajar bagaimana berbuat (learn to do) jauh lebih penting dari belajar menghafal.
Ilmu perlu diiringi oleh amalan. Apalah gunanya nasehat dokter bahwa puasa itu bermanfaat bagi kesehatan, kalau dokter itu sendiri tidak berpuasa? Alangkah ganjilnya bila politikus, tokoh dan pemuka masyarakat menyeru rakyat agar bersatu dan berdamai, padahal sesama mereka saling jatuh menjatuhkan demi memperebutkan kursi. Alangkah tidak lucunya seorang sarjana agama berpidato tentang faedah sholat, sementara air mukanya keruh tak pernah disentuh wudhu'. Kuliah belum tentu menjadi obat hati dan akal, bahkan bisa menjadi racun. Buktinya, banyak sarjana yang keluar dari pekarangan kampus, pandai segala macam ilmu. Dalam laut mampu ia ukur, jumlah bintang di langit sanggup ia hitung. Kemana-mana dipamerkannya ijazah sarjana dengan nilai luar biasa. Namun setelah itu perangainya lebih jelek dari bandit, sifatnya lebih busuk dari mafia.
Dengan ilmu ia rekayasa agama demi mengejar materi, memuaskan nafsu hedonisme dengan meng hambakan diri pada syahwat kekuasaan, dan terjebak dalam tarekat fulusiah. Ibarat menenggak air laut, semakin diminum semakin panas tenggorokan dibakar rasa haus. Kuliah -bagi mereka- seperti baca koran sambil minum kopi saja. Hanya pekerjaan selingan pengisi waktu kosong. Atau kuliah menjadi suatu rutunitas yang mau tidak mau harus dilalui. Setelah tamat SMU . apalagi kalau tidak kuliah! Dari pada bengong di rumah. Alhasil sense of belonging terhadap ilmu itu sendiri minus sekali, atau bahkan nyaris tak terdengar.
Dalam skala umum, berfikir belum menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi kebanyakan masyarakat kampus. Mereka terlalu sering meneriakkan keluhan setinggi langit jika berhadapan dengan sesuatu yang menguras otak. Bermimpi rasanya, bila kita melihat mahasiswa yang kuliah menyandang ransel besar berisi banyak buku bermutu. Atau diantaranya yang bergegas menjadi pengisi pustaka dan laboratorium kala waktu senggang. Tapi itu masih menjadi mimpi -yang terlalu indah untuk dihayalkan- dinegeri ini.
Karena bagi kita yang belum kehilangan mental terjajah, jiwa berkompetisi masih lemah. Justru merasa bangga dengan simbol-simbol kosong tanpa makna. Masih sombong menyandang gelar preman kampus tapi otaknya kosong. Atau yang mahasiswi sibuk dengan atribut kewanitaan yang setiap saat dipoleskan kewajah, guna menutupi ketumpulan otaknya.
Kita masih suka bergerombol untuk bergunjing, mendiskusikan lawan jenis atau hal-hal yang tak bermanfaat. Ketimbang bergerombol sesudah kuliah, dan memperbincangkan mengenai hal-hal yang bersifat ilmiah lagi berguna.
Banyak juga ahli-ahli agama yang tahu berapa pintu masuk dan jumlah simpang jalan di syorga. Bahkan tahu pula nama-nama bidadari di dalamnya. Sayang, pematang sawah sendiri ia tidak tahu. Jumlah hutang sendiri ia lupa. Tekadnya sudah bulat ingin masuk sorga. Saking semangatnya ingin masuk sorga, ia sampai lupa dunianya telah menjadi neraka karena kebodohannya.
Kemudian ada juga yang berfatwa bahwasanya tangan diatas lebih mulia dari pada tangan dibawah. Dengan fasih dibacakannya ayat dan hadis yang menyebutkan fadilah amalan tersebut. Tapi ia lalai mengoreksi diri, ternyata hidupnya dari infak, sadaqah dan zakat orang lain?
Konsep pendidikan Islam ialah belajar untuk diamalkan. Apa yang dipelajari dan diucapkan memiliki relevansi yang kuat dengan realita. Secara praktis terbagi atas dua kategori: Pertama, membongkar persepsi pemikiran yang salah secara menyeluruh hingga keakarnya. Kemudian membangun kembali konstruksi pemikiran yang benar.
Hal ini telah ditamsilkan lewat kisah Umar bin Khattab. Ketika masih jahiliyah ia menyimpan persepsi negatif terhadap agama Islam. Tak salah jika sang jagoan juga turut serta mengganggu langkah dakwah. Namun melalui proses pembelajaran Islam yang radikal. Umar menjadi sadar setelah membaca al-Qur'an. Ayat yang menjungkalkan teori syirik paganisme menjadi tauhid yang lurus. Sejak itu, Umar al-Faruq tampil di garda terdepan perjuangan Islam. Perubahan Umar 180 derjat, dari benci menjadi cinta, bahkan membuktikan cinta itu lewat amalan nyata. Adalah berkat proses pertama yang sangat matang. Dari itu terlihat urgensi perlunya dilakukan pembongkaran persepsi keliru yang selama ini merecoki dunia pendidikan kita. Meluruskan kembali niat dan tekad akademisi sebagai refleksi tanggung jawab moral terhadap zamannya.
Kedua, merekonstruksi ulang suatu persepsi pemikiran yang kokoh dengan mengoptimalkan unsur-unsur kekuatan berfikir yang akan mendorong kecendrungan untuk beramal. Karena berfikir tanpa amalan adalah sia-sia, beramal tanpa difikirkan berbahaya. Setelah melakukan revolusi radikal terhadap persepsi keliru. Maka dilanjutkan kepada fase proses pembangunan pondasi keilmuan yang lebih kokoh. Agar tidak terjadi kekosongan visi. Disinilah pentingnya pemberdayaan maksimal terhadap potensi fikir. Demi terlahirnya kreatifitas yang maksimal dalam beramal.
Langkah ini akan mewujudkan generasi-generasi pewaris Islam yang telah terdidik dengan pembinaan yang kuat sejak usia dini. Seperti Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein dan lainnya. Mereka adalah generasi yang telah tersibghah dengan celupan Islam. Dan memiliki visi yang jelas dalam memaknai kehidupan. Generasi seperti ini lekas berdikari dan mandiri, mengisi hari-hari dengan amalan yang berarti serta prestasi yang membanggakan.
Alhasil kaum intelegensia memikul "hutang sejarah" untuk mengamalkan pengetahuan yang telah dikunyah-kunyah. Agar ia tidak berlalu begitu saja tanpa pesan dan kesan. Jika hutang itu tidak jua dilunasi, ia kelak menjadi bayang-bayang hitam yang mengganggu ketentraman batin.
Tulisan ini mengajak kita gelisah dan resah ilmiah. Semoga ia berguna menjadi patron bagi kita tentang frame of reference dan field of experience dalam kancah pergulatan ilmu pengetahuan. Kita -karenanya- wajib ragu akan kemampuan mendedikasikan amanah ilmu dalam wujud amalan nyata. Agar apa yang diperbuat hari ini bisa digugu dan ditiru generasi mendatang. Seperti ungkapan A'a Gym: tiada hari tanpa mencari ilmu dan program mengamalkannya.