Kiai dan Profesor; Upaya Mencari Titik Temu Perguruan Tinggi

Sungguh ironis jika kita memperbincangkan tentang keberadaan lembaga pendidikan pesantren di negeri ini. Biarpun pesantren merupakan lembaga pendidikan khas dan asli pribumi.(Bruinessen;1999). Namun kenyataannya, lembaga ini tetap saja kalah bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Padahal, baik dari segi wacana maupun praksis, perbedaan tradisonal maupun modern tentang lembaga pendidikan ini sudah tidak persoalkan lagi. Sebab, baik pesantren yang bersifat tradisional dan modern sama-sama mempunyai ciri-ciri yang kurang lebih persis sama. Pesantren tradisonal, misalnya pesantrennya orang-orang NU, meskipun dalam sistem pengkajiannya dikatakan tradisional namun, untuk tingkat pola pikir yang terjadi justru sebaliknya, mereka lebih modern atau bahkan liberal ketimbang lembaga pendidikan lainnya yang lebih modern. Untuk contoh ini bisa disebut para alumni dari pesantren tradisional seperti; Ulil Abshar Abdalla, Abdurrahman Wahid, Khamami Zada, dan lain sebagainya.

Sedangkan pesantren yang dikategorikan sebagai pesantren modern, biasanya identik dengan pesantren atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam yang masuk kelompok ormas Muhammadiyah. Dalam konteks ini, biarpun mereka dikatakan mengikuti sistem pendidikan modern, akan tetapi, untuk pola pikir, mereka masih terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok NU di atas. Baik dari segi wacana maupun dalam tataran praksis. Dan mungkin untuk beberapa hal lainnya juga sama.

Untuk itu, maka kata ''modern'' dan ''tradisional'' sudah tidak relevan lagi bila disematkan pada lembaga pendidikan ini, pesantren. Namun, persoalannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Melainkan sejumlah persoalan yang melingkupi pesantren ini masih saja ada. Setidaknya, ketika dihadapkan perbincangan pesantren ini dengan perbincangan lembaga pendidikan lainnya yang lebih diakui mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat dan pemerintahan, yakni perguruan tinggi-perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi. Meskipun untuk pengembangan studi ilmu-ilmu pesantren telah didirikan sebuah perguruan tinggi Islam dengan nama IAIN dan STAIN, namun, tetap saja, dua lembaga pendidikan ini dianggap mempunyai banyak perbedaan yang cukup mendasar dan substansial.

Baik dari segi kurikulum, metode pengkajian dan berbagai faktor lainnya. Oleh karena itu, fenomena tersebut jelas perlu dipertanyakan kembali mengenai sejauh mana antara pesantren dan perguruan tinggi mempunyai relevansi yang seimbang, atau paling tidak bisa dikatakan sama. Karena, kedua lembaga pendidikan ini tetap saja dipandang berbeda. Lebih dari itu, pesantren-terlepas dari perbedaan tradisional dan modern-tetap saja dipandang sebelah mata. Bahkan, dalam pandangan penulis, semodern-modernnya sebuah pesantren tetap saja tidak akan mempunyai arti apa-apa ketika dikomparasikan dengan lembaga pendidikan negara, yakni perguruan tinggi Bahkan lebih jauh, banyak juga lulusan-lulusan dari pesantren-pesantren modern yang pada akhirnya melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Begitu juga dengan santri-santri yang sebelumnya belajar di pesantren tradisional, melakukan hal yang sama, yakni melanjutkan studinya di perguruan tinggi negara.

Akan tetapi, dalam tulisan ini secara lebih khusus hanya akan memaparkan tentang bagaimana relevansi antara kedua tokoh figur di masing-masing kedua lembaga pendidikan tersebut, yakni kiai di pesantren dan dosen (guru besar) di perguruan tinggi. Apakah kedua tokoh figur tersebut mempunyai kesamaan yang selaras dan relevan? Ataukah sebaliknya, kedua tokoh tersebut memang benar-benar jauh berbeda? Sehingga tidak bisa dipertemukan antara satu dengan lainnya. Namun, biarpun tulisan ini secara khusus hanya akan mengurai upaya mencari titik temu antara kiai dan dosen (khususnya lagi guru besar) di masing-masing lembaga tersebut. Tetapi, dalam konteks tersebut, tentu tidak lepas dari pembahasan pesantren dan perguruan tinggi itu sendiri. Sehingga dalam uraian nanti, juga akan diterangkan secara sekilas mengenai kapan dan bagaimana perjalanannya untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang jelas begitu plural dan heterogen.

Sekilas Tentang Pesantren dan Perguruan Tinggi Di Masa Kolonial

a. Pesantren
Ketika membicarakan antara pesantren dan perguruan tinggi di masa kolonial, tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena, memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir.

Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmu-ilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita melihat ke belakang sekitar abad ke-17-18 maka, kita akan melihat bagaimana peran seorang ulama seperti syekh Yusuf al-Maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as-Sumaterani, Nuruddin ar-Raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya.

Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika yang cukup pesat. Apalagi dengan sudah dibukanya terusan Suez pada abad ke-19 (1870) (Steenbrink; 1984). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang mondok dan mesantren tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di Nusantara-walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah. Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmu-ilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiai atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--Dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya.

Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya bahkan kealimannya. Kenyataan tersebut semakin dipertegas dengan adanya bahasa Nusantara yang menjadi bahasa kedua setelah bahasa arab yang digunakan di sana. Setidaknya, menurut Martin, sekurang-kurangnya kira-kira tahun 1860 bahasa Melayu merupakan bahasa kedua setelah bahasa arab yang dipergunakan di Mekah.

Kembali kepada pesantren. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan kira-kira abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.

Karena, kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984)

Namun, ketika mulai menginjak abad ke-20, di mana abad ini disebut-sebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Tentang hal tersebut, sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga dengan begitu, fungsi dan peran pesantren seakan-akan memang benar telah bergeser dari sebelumnya. Tapi, paling tidak hal di atas cukup kiranya untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.

b. Perguruan Tinggi.
Sebagaimana yang sudah dikatakan di atas bahwa lembaga pendidikan yang paling berpengaruh sebelum abad ke-20 adalah pesantren, namun pada abad XX dan selanjutnya hingga sekarang justru sebaliknya, tingkat dominasi pesantren di seluruh kawasan Nusantara mengalami penurunan. Dan, mulai abad dua puluh itulah dan sampai sekarang yang lebih berperan dan mengambil peran dalam setiap persoalan pemerintah adalah lembaga pendidikan yang disebut kemudian dengan nama perguruan tinggi, baik itu universitas, institut ataupun sekolah tinggi.

Fenomena tersebut memang jelas merupakan hasil dari begiu kuatnya dominasi dan wilayah domain pemerintah Hindia Belanda dalam setiap menjalankan kebijakan politiknya. Namun, tentang mulai kapan ada dan berdirinya lembaga pendidikan yang berlabelkan universitas, institut dan sekolah tinggi ini juga belum bisa dipastikan. Tapi, setidaknya sebagai sekedar informasi yang ditemukan oleh Akira Nagazumi dari hasil studinya mengenai ''Perhimpunan Indonesia; Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda, 1916-1917'', patut dijadikan catatan. (Akira Nagazumi; 1986)

Tentang mulai berdirinya perguruan tinggi di Nusantara memang tidaklah langsung jadi secara cepat. Atau, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu tidak langsung mendirikan lembaga pendidikan tersebut, perguruan tinggi. Melainkan yang pertamakali didirikan terlebih dahulu adalah semacam sekolah tingkat dasarnya. Sekitar abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai berusaha meningkatkan pendidikan di Hinida Belanda. Tepatnya pada tahun 1845 Gubernur Jenderal J.C. Baud mengusulkan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi kalangan elit penduduk pribumi. Yang kemudian baru menjadi kenyataan beberapa tahun sesudahnya. Tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertama untuk guru pribumi (kweekscholen) dan satu sekolah untuk melatih ''juru suntik'' (dokter Djawa-Scholen). Karena baru ada 20 sekolah dasar untuk anak-anak pribumi pada tahun 1854, maka umumnya yang dapat memasuki lembaga pendidikan tersebut di atas, hanyalah mereka yang telah menerima pelajaran privat dari guru-guru Belanda atau, mereka yang telah dari Europeese Lagere School (sekolah dasar Eropa) di Hindia Belanda, yang baru setelah itu, tahun 1864 membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk belajar di lembaga pendidikan tersebut. (A. Nagazumi; 1986)

Tahun 1878 di Jawa telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-scholen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite), tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintah pribumi atau ambtenar (yang dimasa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja). Guru, tenaga medis dan pegawai pemerintahan adalah orang-orang yang paling diperlukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan lembaga untuk mendidik tenaga-tenaga ini, merupakan sekolah lanjutan yang paling tinggi tingkatnya di Hindia Belanda. (A. Nagazumi; 1986). Sementara itu, sekolah-sekolah kejuruan seperti hukum, peternakan, pertanian dan perdagangan, tumbuh seperti jamur dalam dasawarsa-dasawarsa abad XX, baru pada tahun 1920-an pendidikan universitas mulai diadakan di Hindia Belanda. Dan untuk pendidikan tinggi ini, seseorang terpaksa harus ke luar negeri, khususnya negeri Belanda. Di tahun 1900 hanya ada lima orang mahasiswa pribumi menuntut pendidikan tinggi di Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa sudah 23 orang, dan pada tahun yang sama inilah Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) dibentuk. Yang kemudian ''Perhimpunan Hindia'' berubah nama menjadi ''Perhimpunan Indonesia'' pada tahun 1925.

Itulah kira-kira sekilas tentang bagaimana pertamakali munculnya perguruan tinggi. Hanya untuk menegaskan, bahwa dari sinilah perguruan tinggi itu tumbuh dan kemudian mulai mengalami perkembangan terus semakin pesat. Dan tentunya berbeda dengan pesantren yang memang didirikan oleh masyarakat sendiri. Perguruan tinggi sengaja didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan banyak sekali orang-orang pribumi untuk dijadikan pegawai-pegawai di Pemerintahan Hindia Belanda, dan tentunya itu juga tidak lepas dari pretensi-pretensi Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada perkembangan selanjutnya itulah yang lebih mempunyai peran di tingkat pemerintahan nasional adalah para pemuda-pemuda yang memang merupakan llulusan perguruan tinggi. Salah satu contoh dapat kita sebut misalnya adalah; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Syafrudin Prawirangera dan yang lainnya. Mereka inilah yang kemudian mempunyai peranan dalam dinamika pemerintahan tingkat nasional.

Antara Kiai dan Profesor (Pengajar di Pesantren & Perguruan Tinggi)

Selama ini, mungkin kita hanya melihat kiai dan professor sebagai dua sosok figure yang berbeda, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan masyarakat intelektual. Apalagi jika dikaitkan dengan di mana kedua tokoh tersebut mengabdikan dirinya kepada masyarakat, kiai di pesantren, sedangkan professor di perguruan tinggi.

Kemudian, dalam pada itu, kiai lebih dikenal dengan atau sebagai tokoh agama yang tentu saja sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman yang berkembang dan memang sudah menjadi keharusan bagi seorang kiai untuk menguasainya. Sedangkan professor lebih dikenal sebagai seorang tokoh intelektual yang juga mempunyai keilmuan yang mendalam di bidang keilmuannya. Hanya saja, jika kiai merupakan gelar atau title yang diperoleh dari masyarakat langsung. Namun, tidak hanya disebabkan karena kedalaman keilmuan saja ia memperoleh gelar tersebut. Tetapi, ia mendapat gelar itu juga dikarenakan kesabarannya dalam mengasuh dan membina umat. Dan, tentunya moral juga dipertanggungjawabkan. Jadi, jika bisa dikatakan, gelar atau titel kiai didapatkan dari dan oleh masyarakat langsung karena peranannya dalam membina dan membawa masyarakat suatu pedesaan dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak bermoral menjadi bermoral.

Sehingga dengan demikian, gelar kiai tidak semata-mata disebabkan oleh kedalaman ilmu yang dimilikinya. Tetapi, secara moral dan tanggung jawab seoarang kiai memang lebih besar daripada seoarang professor. Karena, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kiai untuk menjadi tokoh masyarakat yang disegani, dihormati dan dikagumi. Atau pendeknya, kiai mempunyai tugas tidak hanya semata-mata urusan duniawi, tetapi, ia mempunyai tanggung jawab untuk dapat membimbing masyarakat ke jalan ukhrawi (agama). Agar masyarakat tersebut nantinya bisa menyeimbangkan antara keperluan duniawi dan ukhrawi.

Namun, dalam realitasnya, kiai ini terbagi menjadi dua. Munurut Prajarta Dirjosanto sebagaimana yang dikutip Nurul Huda SA, kiai pesantren dan kiai langgar. Kiai pesantren adalah kiai yang mempunyai pesantren, sedangkan kiai langgar yaitu kiai yang tidak memiliki pesantren dan hanya mengajar di rumah atau di langgar. Namun, meskipun dekian, pada dasarnya kedua kiai tersebut tetap mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama; membimbing umat. (Pikiran Rakyat, 2002). Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bila sedang membicarakan tentang kiai, maka hal itu identik dengan kiai-kiai yang tinggal di pesantren. Karena memang perannya yang begitu sentral dalam pembinaan umat. Dengan demikian, maka apa yang dikatakan Dhofier cukup selaras.

Karena kiai merupakan elemen yang paling penting dan esensial dari suatu pesantren. Bahkan seringkali ia merupakan pendiri dari pesantren tersebut. Maka sudah sewajarnya pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kiainya. (Dhofier; 1994). Berbeda dengan professor, di mana gelar tersebut diperoleh berdasarkan beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh masyarakat akademis pada suatu perguruan tinggi. Bisa jadi karena telah banyak menulis buku, melakukan penelitian, mengajar dan beberapa kategori yang lainnya. Sehingga dengan demikian, gelar atau titel professor diraih berdasarkan prestasi atau pengabdian di tempat di mana ia mengabdikan dirinya sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. Singkatnya, gelar professor merupakan gelar yang diraih atas dasar prestasi akademis.

Akan tetapi, biarpun perguruan tinggi berbeda dengan pesantren namun, ketika seorang mahasiswa yang akan dan sedang menyusun tugas akhirnya (baik itu skripsi, tesis maupun disertasi), biasanya dan memang sudah mejadi keharusan, setiap tema dan judul tugas akhir yang diambil oleh mahasiswa tersebut dan ketika si mahasiswa akan diberikan dosen pembimbing maka akan disesuaikan dengan masing-masing keahlian dari si dosen pembimbing tersebut. Melihat realitas seperti itu maka, hal itu mengingatkan kita tentang di setiap pesantren, atau pesantren-pesantren yang ada itu biasanya mempunyai ciri khas yang berbeda-beda.

Ciri khas itu biasanya identik dengan kajian yang dibahasnya di masing-masing pesantren. Ada pesantren al-Quran, gramatika arab, fiqih, tasawuf dan lain sebagainya. Dan, pesantren-pesantren tersebut menjadi terkenal dikarenakan ada satu bidang yang diprioritaskan untuk dikaji atau ditonjolkan. Misalnya saja seperti pesantren Gontor yang lebih dikenal dengan sistem dan program bahasa asingnya-Arab dan Inggris. Hal itu biasanya juga disesuaikan dengan keahlian dari para pengasuh atau para pengajar pesantren tersebut, baik itu ustadz maupun kiainya.

Sehingga dengan begitu, ternyata sistem pendidikan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut sama persis dengan pendidikan yang diterapkan di pesantren-pesantren. Singkatnya mengenai sipenuntut ilmu akan mencari seorang guru untuk studinya yang digelutinya. Hanya saja bedanya terletak pada, santri memang sudah dari awal diarahkan untuk mengkaji satu disiplin ilmu tertentu, dan biasanya untuk langkah menuju ke sana, santri tersebut harus mempelajari ilmu-ilmu dasarnya sebelum beralih ke tingkatan yang paling atas untuk mendalami satu bidang disiplin ilmu tertentu. Sedangkan di perguruan tinggi, hal itu akan terjadi ketika akan menulis tugas akhir.

Misalnya saja Hanun Asrohah-yang menyelesaikan studi S3-nya di UIN Jakarta-dengan judul disertasinya ''Pelembagaan Pesantren; Asal-Usul & Perkembangan Pesantren di Jawa''. Dikarenakan tema dan judul disertasinya berkaitan dengan sejarah intelektual di Indonesia maka, yang menjadi promotor atau dosen pembimbingnya salah satunya adalah Azyumardi Azra.
Jadi itulah kiranya titik temu antara pendidikan pesantren dan perguruan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar