Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa

Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa
Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela.  Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian  jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki.  (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.

Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)


Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah k melarang pula:


وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً


“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah k dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.
‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi n:


يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ


“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah k. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah n, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar c:


مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ


“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah k dan merendahkan hamba-hamba Allah k. Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah n tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar c, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau n menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau n menjawab:


سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ


“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)
Tak sedikit pun Rasulullah n membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau n senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:


إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ


“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)
Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah k, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:


وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ


“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’ karena Allah k ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah k karena Allah k, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah k. Kedua makna ini benar.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah k, maka Allah k akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah n banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau n adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah k. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik z tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah n, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau n pun berkata:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An- Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)
Anas bin Malik z mengisahkan:


كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ


“Rasulullah n biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash- Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhu’an Rasulullah n ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik z pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau n mengatakan:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ


“Nabi n biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi n dan diikuti pula oleh para shahabat beliau g. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi n serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:


اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا


“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)
Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah n yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat g. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

Zakat Implikasinya Pada Pemerataan Oleh A. Rahman Zainuddin

Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah  suatu  konsep
yang  berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh
aspek  dan  segi  kehidupan  manusia.  Dapat  dikatakan  bahwa
seluruh  ajaran Islam telah direkayasa untuk menciptakan suatu
kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal  kepercayaannya,
pemikirannya,   dan  juga  tingkah  lakunya.  Pembersihan  dan
pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik  tolak  dalam  hidup
terjelma  dengan  jelas  dalam  rukun  iman yang enam. Sebelum
segala  sesuatunya,  manusia  harus  mempunyai   titik   tolak
keimanan yang bersih dalam hidup ini.
 
Berdasarkan  pemikiran  tersebut  maka kepercayaan pada Allah,
Tuhan  Yang  Maha  Esa,  adalah  pemurnian   kepercayaan   par
excellence.  Dengan  kepercayaan itu manusia mendapatkan makna
yang baru dan dimensi yang lebih  dalam  tentang  ikatan  yang
dimilikinya  dalam  alam  semesta  ini.  Tauhid  adalah proses
pembebasan manusia yang tiada tara. Proses ini mencakup segala
hubungan  yang  ada,  seperti  hubungan  antara manusia dengan
dirinya, antara manusia  dengan  sesama,  dan  antara  manusia
dengan  alam  semesta,  yang merupakan lokus sementara baginya
dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali
hubungan  itu  telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala
hubungan itu dibangun  kembali,  sesuai  dengan  kaidah-kaidah
yang telah ditentukan Tuhan.
 
Dengan   petunjuk  dan  iradah-Nya  pulalah  ditentukan  bahwa
manusia diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot  yang
telah  diprogramkan  sampai  pada perincian-perinciannya, tapi
suatu makhluk yang telah diberi kemampuan menentukan  nasibnya
sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia telah
berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan
seimbang dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.
 
Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan
jembatan yang terdapat antara  bumi  dan  langit,  dan  dengan
demikian   manusia  menjadi  sadar  akan  satunya  dunia  yang
terlihat dengan dunia yang  tak  terlihat.  Dan  antara  kedua
dunia  itu  terdapat  saluran  komunikasi  yang berbentuk para
rasul itu. Kepercayaan pada buku-buku suci adalah  kepercayaan
bahwa   komunikasi   yang  telah  terjadi  itu  direkam  untuk
kepentingan umat manusia. Tapi sayang  sekali  bahwa  manusia,
dalam  pandangan  Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam
arti yang sesungguhnya dalam masalah rekaman komunikasi antara
langit  dan  bumi itu, sehingga dalam kepercayaan orang Islam,
dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang terdahulu
telah  mengalami  kerancuan karena campur-tangan manusia dalam
bentuk yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah
memperoleh jaminan Tuhan untuk diperlihara kemurniannya sampai
hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran seperti telah  dialami
buku-buku  suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang
merupakan koreksi total dan terakhir  segala  buku  suci  yang
terdapat sebelumnya.
 
Kepercayaan   pada   para  malaikat  adalah  kepercayaan  yang
mengajarkan pada manusia bahwa apa yang ada itu  bukanlah  apa
yang  mereka raba, lihat dan rasakan saja. Di balik eksistensi
alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain,  yaitu  alam
malakut,  yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang
rendah)  yang  diindrai  manusia  ini.  Sekaligus  kepercayaan
tersebut  merupakan  peringatan  bagi manusia, bahwa kemampuan
rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan  eksistensi
yang  relatif  kecil  sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa
yang tersebut dalam al-Qur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan  kamu
tak  mengetahui"  (QS.  al-Baqarah:  232;  'Ali Imran: 66; dan
al-Nahl: 74).
 
Kepercayaan terhadap hari  akhirat,  di  samping  mengantarkan
manusia   ke   alam  yang  belum  pernah  mereka  alami,  juga
menyadarkan mereka bahwa kehidupan dunia  ini  bukanlah  suatu
kehidupan  tanpa  arti  dan  makna,  yang  hanya akan berakhir
apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini
adalah  suatu kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan
penuh keseriusan pula, karena ia merupakan  babak  pendahuluan
yang  pendek  bagi  suatu kehidupan lain yang jauh lebih kekal
dan lebih abadi. Jenis kehidupan  akhirat  yang  akan  ditemui
manusia  nanti, ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan
dunia ini. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik dan  lebih
kekal  (QS.  al-A'la:  17).  Di  samping itu, kepercayaan akan
kehidupan akhirat meminta manusia  hidup  dalam  suasana  yang
penuh  tanggung jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya
akan  diperlihatkan  kepadanya   nanti,   dan   akan   diminta
pertanggungjawabannya.  Malah  perilaku manusia ini nanti akan
disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan  seluruh  orang-orang  yang
beriman (QS al-Taubah: 94,105).
 
Kepercayaan  pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik
juga merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan  lemahnya
manusia sebagai suatu eksistensi, terlepas dari kemandiriannya
dan kebebasannya dalam beribadah dan mengubah hidupnya  sesuai
dengan    keinginannya,   ia   adalah   makhluk   yang   penuh
ketergantungan terhadap  faktor-faktor  yang  dapat  dikatakan
seluruhnya berada di luar pengendaliannya.
 
Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia
telah berada dalam  kondisi  sebaik-baiknya  untuk  mengarungi
alam  tindakan,  atau alam praktis, yang terlambang dalam lima
rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat  dan  ibadah
haji.   Syahadat   adalah  pernyataan  kebulatan  tekad  untuk
menyatukan bumi dan langit dalam diri  kita,  dengan  mengakui
tiada  Tuhan  selain  Allah  dan  Muhammad  itu pesuruh Allah.
Shalat selain merupakan mi'rajnya  orang-orang  yang  beriman,
juga memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek
memupuk  kehidupan  sosial   dalam   masyarakat,   yang   juga
menggalakkan  kepatuhan pada pimpinan, tanpa menghilangkan hak
kontrol  sosial  dan  hak  menegur  dalam  setiap  tahap  dari
pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk
rasa solidaritas sesama manusia, selain  dari  kepatuhan  pada
Tuhan,  terjelma dalam ibadah puasa. Sedangkan manifestasi dan
pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini tampak
dalam  zakat  yang  membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam
haji terlihat aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek
kehidupan  internasional,  aspek pengorbanan, aspek pernyataan
hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain sebagainya.
 
Dengan demikian, secara sepintas lalu telah  tampak  bagaimana
rukun  iman dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu
kehidupan dunia yang lebih bermakna, sebagai pendahuluan  bagi
manusia  dalam  menuju  kehidupan akhirat yang "lebih baik dan
lebih  kekal."  Dengan  kedua  rukun  itu,  kehidupan  manusia
diharapkan   menjadi  bersih  dan  transendental,  baik  dalam
dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam prakteknya.
 
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG ZAKAT
 
Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang  sejarah
Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu,
maupun buku-buku yang lebih baru dan  lebih  modern,  semuanya
mempelajari  zakat.  Dalam  buku-buku  lama,  yang  dipelajari
biasanya pengertian zakat secara bahasa  dan  secara  istilah,
dasar-dasar   yang  mewajibkannya,  siapa  saja  yang  memikul
kewajiban ini, jenis harta mana saja  yang  wajib  dizakatkan,
syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang
terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat  tersebut.
Pendapat-pendapat  para ulama dalam hal ini pada umumoya sama,
kecuali  perbedaan   pendapat   dalam   perincian-perinciannya
(mushali dan samarqandi).
 
Tulisan-tulisan  modern  di dunia Arab yang diperhatikan dalam
tulisan ini adalah Shalih, Sabiq  dan  Thabbarah,  di  samping
penulis-penulis  lain, seperti Mubarak, Tawati, Salamah, Affar
dan  lain-lain.  Para  ulama  muda  Indonesia,  yang  berusaha
menegakkan  ajaran  Islam  seutuhnya  di  negeri  ini juga tak
kurang jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan  Mas'udi  dan
Kuntowijoyo.  Seringkali  juga terdengar di Indonesia pendapat
yang  lebih  memandang  bahwa  zakat  itu  suatu  jenis  pajak
(Mas'udi,1991).
 
Para  penulis  biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem
ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama
sekali  bebas  sepenuhnya  dari  semua sistem yang terdapat di
dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini  terambil
dari  al-Qur'an  sedangkan  penjelasan-penjelasannya diberikan
Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di  masa  beliau
masih  hidup  (Shalih  1965,  354). Zakat merupakan pendapatan
utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti  pajak
tanah,  pajak  kepala,  rampasan  perang, pajak hasil bumi dan
lain-lain (Shalih 1965, 354-355).
 
Zakat  itu  adalah  bagian  dari  harta  benda  manusia   yang
dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir
miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam,
yang   dalam  delapan  puluh  dua  ayat  al-Qur'an  disebutkan
bersama-sama dengan shalat.  Kewajiban  zakat  itu  dibuktikan
dengan  adanya  ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya
hadits Nabi saw., dan  dengan  adanya  suatu  kewajiban  agama
(Sabig 73, 286).
 
Dipandang  dari  segi  pengertiannya, zakat berarti kebersihan
dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut  dalam  al-Qur'an
(QS.  al-Taubah:  103).  Zakat  dimaksudkan untuk membersihkan
harta benda orang lain yang dengan sengaja  atau  tak  sengaja
telah  termasuk  ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan
harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta
benda  yang  kita  peroleh  karena persaingan yang tak pantas,
karena kelicikan dan lain-lain  sebagainya.  Akibatnya  banyak
orang  lain  yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu.
Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena
tak  memiliki  keahlian  untuk  itu.  Mereka  hanya diam dalam
penderitaan mereka. Untuk membersihkan  harta  benda  daripada
kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan.
 
Zakat  berarti  juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak
fakir miskin dan lain-lain yang  terdapat  dalam  harta  benda
kita,  maka  terjadilah  suatu sirkulasi uang dalam masyarakat
yang mengakibatkan bertambah  berkembangnya  fungsi  uang  itu
dalam  masyarakat.  Di  belakang  pendapat  tersebut  terdapat
asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun  (1958,102-103),
bahwa  harta  benda  itu selalu beredar di antara penguasa dan
rakyat. Ia menganggap  negara  dan  pemerintahan  itu  sebagai
suatu  pasar  yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq
ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat
al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa
menahan  harta   benda   dalam   bentuk   pajak   yang   telah
dikumpulkannya  dalam  kalangannya saja, maka jumlah uang yang
beredar dalam  masyarakat  sudah  pasti  berkurang  pula,  dan
pendapatan  rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat
itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini. Gejala  ini
menimbulkan   kemacetan   ekonomi   di   kalangan  masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh  para  pedagang  juga  akan  menjadi
lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian
adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar  yang  terbesar
maka  kemakmuran  negara  itu  adalah dengan melihat banyaknya
harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi  kemandekan
dalam  sirkulasi  ini,  maka  semua pihak, termasuk pemerintah
sendiri dirugikan. Jadi harta  benda  itu  selalu  bolak-balik
antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan
pertumbuhan  itu  satu-satunya  sebab  disyari'atkannya zakat.
Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam,  yaitu
yang  bertumbuh  seperti  binatang  ternak  dan tanam-tanaman,
serta harta perdagangan.
 
Zakat  diwajibkan  pertama  kali  di  Makkah  pada   permulaan
turunnya  Islam,  tapi  ketika  itu  kewajiban  tersebut  baru
bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya,
baik  mengenai  harta  benda  jenis  apa  yang diwajibkan, dan
berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal
itu  diserahkan  pada  perasaan  dan kebaikan hati orang Islam
saja. Namun baru pada tahun kedua  Hijriah,  menurut  pendapat
yang  terkuat  di  kalangan  para ahli, zakat diwajibkan dalam
bentuk yang lebih terperinci (Shalih, 276-277).
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat  itu  bukanlah  suatu  karitas,
bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi
suatu bentuk keadilan internal  yang  terlembaga,  suatu  yang
diwajibkan,  sehingga  dengan  rasa solidaritas yang bersumber
dari  keimanan  itu  orang  dapat  menaklukkan   egoisme   dan
kerakusan  dirinya.  Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia
menyatakan  bahwa  al-Qur'an  dan  Sunnah  mengatur  pembagian
kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan
yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang  bukan
berdasarkan  penghasilan,  melainkan  berdasarkan kekayaan. Ia
selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif  umum  dua  setengah
persen  setahun  maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu
generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh  tahun,  dengan
demikian  tak  akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit
dari  kekayaan  yang  diwarisinya  dari   orang   tuanya.   Ia
berpendapat  bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti
ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada  orang  yang
terpaksa  mencuri,  selain dari orang yang berpenyakit seperti
kleptomaniak.
 
Boisard (64-65)  menyitir  pendapat-pendapat  yang  mengatakan
zakat   itu  menyucikan  manusia  yang  memberikannya,  dengan
kemenangan terhadap egoisme, atau bahwa ia memperoleh kepuasan
moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam
yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah  belas  kasihan,  akan
tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah
pembagian sesama sekutu dalam kekayaan umum,  dan  menjelmakan
persaudaraan  dan  solidaritas.  Dan lebih daripada orang yang
lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam
memandangnya   sebagai  kewajiban  agama.  Ia  juga  merupakan
penegasan kembali  kenyataan  bahwa  semua  harta  benda  yang
dimiliki  manusia  pada  hakikatnya milik Tuhan, sedangkan apa
yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu,  zakat
tak   lebih  dari  mengembalikan  sebagian  harta  itu  kepada
pemiliknya yang asli (Tuhan),  demi  menghindarkan  diri  dari
penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti di akhirat.
 
Salamah  (1978,  98-99)  berpendapat  bahwa dalam permasalahan
manusia  yang  bersifat  keuangan  dan   perekonomian,   Islam
menentukan   batas-batas  dan  meletakkan  kaidah-kaidah  yang
sangat  jelas,  yaitu  yang  sesuai   dengan   prinsip-prinsip
kebenaran,  keadilan  dan  kepercayaan. Islam menyatakan bahwa
harta benda itu bukan tujuan  dalam  hidup  ini,  akan  tetapi
hanya  alat  semata  untuk  mempertukarkan  manfaat dan saling
memenuhi keperluan, yang  digunakan  untuk  mencapai  keadilan
sosial  yang  dicita-citakan  Islam.  Harta  benda itu sendiri
sebagai  alat  yang  tunduk  kepada  kehendak  manusia  adalah
netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda
itu sebagai nikmat, rejeki,  dan  kurnia  yang  berguna,  demi
untuk  mencapai  yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah
yang dapat mengubah harta benda itu menjadi  sumber  azab  dan
sengsara bagi manusia itu sendiri.
 
Salamah  (h.  100)  merasa  heran karena dewasa ini umat Islam
pada umumnya  mentolerir  praktek-praktek  riba  dalam  bidang
keuangan  dan  ekonomi,  yang  berdasarkan  eksploitasi  dalam
bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini  memperlihatk
an  bahwa  harta  benda  itu  telah  menguasai  hak-hak  asasi
manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang  berdasarkan  riba
ini  pulalah  yang  menyebabkan  mengapa  sebagian besar harta
benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang  sangat
kaya.
 
Zakat   sebagai   rukun  Islam  ketiga,  menurut  pendapatnya,
disamping membersihkan jiwa dan harta  benda,  juga  merupakan
alat  pemerataan  yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat
(h. 102). Ia juga berpendapat bahwa zakat  merupakan  sebagian
besar  dari  pendapatan  negara  yang menjadikan negara-negara
dulu kaya  dan  makmur,  serta  tak  mengenal  kemiskinan  dan
penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di
masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak
yang  telah  ada,  karena  tempat penyalurannya berbeda. Zakat
merupakan  faktor  utama  dalam  pemerataan  harta  benda   di
kalangan  masyarakat,  dan  juga  merupakan sarana utama dalam
menyebarluaskan    perasaan     senasib-sepenanggungan     dan
persaudaraan  di  kalangan  umat  manusia.  Karena  itu  dapat
dikatakan bahwa zakat, kalau akan  dinamakan  pajak,  maka  ia
adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus (h. 103).
 
Bagi  Tawati  (1986,  h.  27),  kedatangan  Islam adalah untuk
memperbaiki kehidupan manusia  yang  dipenuhi  ketidak-adilan.
Dalam  hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk
mendirikan  keadilan  sosial  dalam   masyarakat   Islam.   Ia
bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan
dan ketamakan, serta  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka  yang
fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan
untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi  kepentingan
umat,  seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara
berbagai lapisan sosial.
 
Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para
ulama  terhadap  zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara
pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh,  kerjasama
antara  anggota  umat  berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan
seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua  orang  dapat
hidup  dalam  suatu  tingkat  kehidupan  yang layak dan mulia,
karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah
terpenuhi  (h.  28).  Perbedaan yang mendasar antara zakat dan
pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak  dibayar  orang
karena   terpaksa,   tapi  zakat  dibayarkan  sebagai  lambang
kerjasama,    persaudaraan    yang    sungguh-sungguh,    yang
dilaksanakan  dengan  cara yang berbeda pula (h. 30). Dan yang
lebih penting lagi adalah kenyataan  bahwa  zakat  itu  adalah
ibadah (h. 31).
 
Sementara itu, studi-studi kaum orientalis semenjak dulu telah
berusaha memberikan gambaran yang salah  dan  penafsiran  yang
tak  benar tentang Islam pada umumnya, termasuk mengenai zakat
ini (Daniel 1980, 222-223). Bagi mereka, kata-kata  zakat  itu
sendiri  tak  jelas  asal  usulnya  dalam bahasa Arab dan baru
dikenal Nabi dalam pengertian yang lebih  luas  karena  beliau
mengetahuinya  dari pengertian yang diberikan orang Yahudi dan
orang Aramaik. Bersama dengan sadaqah, Rasul mungkin  mengenal
konsep  ini  dari  orang  Yahudi  yang  ditemuinya di Madinah.
Konsep seperti ini sangat diperlukannya terutama dalam  rangka
memberikan  bantuan pada orang muhajirin yang baru datang dari
Makkah. Suatu praktek yang  pada  mulanya  sangat  bernapaskan
agama.  Lama-lama  kehilangan  motif keagamaannya. Harta benda
yang diperoleh dari zakat itu tak hanya untuk  menolong  fakir
miskin,  tapi  juga  untuk  tujuan-tujuan militer dan politik.
Untuk hal ini, yang dirasakan  berat  bagi  kebanyakan  orang,
maka  ia  menggunakan  nama  Allah,  atau  untuk  jalan  Allah
(Schacht 1961).
 
Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah
alat  pemerataan  dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak
akan lahir monopoli dan  monopsoni  (Kuntowijoyo  1991,  167).
Baginya  zakat  berpusat  pada  keimanan, tapi ujungnya adalah
menciptakan  terwujudnya  kesejahternan   sosial   (h.   229).
Penelitian  membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi
jumlah orang miskin di  beberapa  tempat  tertentu  (h.  257).
Karena  itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real
dan lebih faktual (h. 284).
 
Mas'udi (h. 139) melaporkan  bahwa  ada  pendapat-pendapat  di
Indonesia  yang  ingin  lebih  memberikan penekanan pada tarif
yang tinggi (20%) dari zakat dengan  berpegang  kepada  rikaz,
yang  dirasakan  Mas'udi  sendiri  merupakan  suatu kebuntuan.
Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau  para  ulama
mereka,  berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku
(qath'i)  demikian  saja  berdasarkan  perubahan  situasi  dan
kondisi.  Bagi  golongan  Syi'ah  hal ini tak menjadi masalah,
karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam  kalangan  Syi'ah
praktek khums adalah suatu praktek yang telah biasa.
 
Penulis  juga  tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah (h.
317-318) tentang  perbedaan  antara  fakir  dan  miskin  dalam
membicarakan  golongan-golongan  orang  yang  berhak  menerima
zakat.  Menurut  pendapat  'Akramah  Maula  Ibn  'Abbar,  yang
dimaksud  dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim,
sedangkan yang dimaksud  dengan  miskin  itu  adalah  golongan
miskin  kaum non-Muslim (ahl al-kitab). Pendapat ini diperkuat
pula  oleh  pendapat  'Umar  bin  Khattab   yang   menafsirkan
al-masakin  dengan  golongan lemah ahl al-kitab. Suatu kali ia
melihat seorang zhimmi yang buta  tergeletak  di  pintu  kota.
'Umar  bertanya kepadanya, "Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu
mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya telah buta,  mereka
menelantarkan   saya.   Tak   ada  orang  yang  membantu  saya
sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah  berlaku
tak adil terhadapmu." Setelah itu ia memerintahkan agar diberi
makan dan belanja untuk memperbaiki  tingkat  hidupnya.  'Umar
berpendapat  ini  adalah  penafsiran  perkataan  Tuhan, innama
'I-shadaqatu  li  'I-fuqara'  wa  'I  masakin.  Jadi  baginya,
masakin  itu  adalah  orang-orang  ahl al-kitab yang tak mampu
lagi bekerja, atau menderita penyakit yang  tak  dapat  sembuh
lagi.  Namun  pendapat  itu  tentu  saja  bertentangan  dengan
pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat,  zakat  itu  hanya
diberikan kepada orang Islam saja.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Affar, Muhammad 'Abd al-Mun'im. 1977. "An-Nizham  al-lqtishadi
al-Islami." Al-Wa'y al Islami, 154: 36-43.
 
Boisard,   Masrcel  A.  1980.  Humanisme  dalam  Islam.  Edisi
Indonesia terjemahan Prof. Dr. H.M.  Rasjidi.  Jakarta:  Bulan
bintang.
 
Booth,  Jr.,  Newell  S.  1970.  "The  Historical  and the Non
Historical in Islam". The Muslim World LX (2): 109-122.
 
Daniel, Norman. 1980. Islam and the West:  The  Making  of  an
Image. Edinburgh: University Press.
 
Garaudy,  Roger.  1986.  Mencari  Agama  pada  Abad XX: Wasiat
Filsafat Roger Garaudy. Edisi Indonesia  terjemahan  Prof  Dr.
H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
 
Garaudy, Roger. 1981. Promesses de l'Islam. Paris: Editions de
Seuil.
 
Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History.
Diterjemahkan  Franz  Rosenthal  ke dalam bahasa Inggris dalam
tiga jilid. New York: Bollingen Foundation.
 
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi  untuk  Aksi.
Bandung: Mizan.
 
Mas'udi, Masdar F. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
 
Mubarak, Muhammad. 1972. Nizham al-Islam: al-Iqtishad,  Mabadi
wa Qawa'id 'Ammah. Makkah: Dar al-Fikr.
 
Musholi,   'Abdullah   bin   Mahmud   bin  Maudud  al-.  1951.
Al-Ikhtiyar li Ta'lil al-Mukhtar. Lima Jilid.  Kairo:  Mustafa
al-Halabi
 
Nasr,  Seyyed  Hossein.  1975.  Ideals and Realities of Islam.
Boston: Beacon Press,
 
Sabiq, as-Syaid. 1973. Fiqh as-sunnah.  2  jilid.  "Zakat"  di
jilid I. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi.
 
Salamah,  'Abd al-Rahim bin. 1987. "al-Siyasat al-Maliyah fi'l
Islam al-Manhal 48 (No. 407): 98-109.
 
Samarqandi, 'Ala al-din as-.  1958.  Tuhfat  al-Fuqaha'.  Tiga
Jilid, Damaskus: Universitas Damaskus.
 
Schacht,  J. 1961. "Zakat". Shorter Encyclopedia of Islam, ed.
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers. Leiden: EJ. Brill.
 
Shalih, Subhi as-. 1965. Al-Nuzhum al-Islamiyah: Nasyatuha  wa
Tathawwuruha. Beirut: Dar al-'Ilmi li-'l-malayin.
 
Tabataba'i,  Muhammad  Husayn.  1975.  Shi'ite  Islam. London:
Allen & Unwin.
 
Tawati, 'Abd al-Karim at-.1986. "Mafhum al-Zakah  wa  Ab'aduha
wa Hikmatu Tasyri'iha fi 'l-Islam". al-Manhal 447: 24-41.
 
Thabbarah,  'Afif  'Abd al-Fattah. 1959. Ruh al-Din al-Islami.
Beirut: Dar al-'Ibad.
 

Berkhidmat Pada Suami

Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?
Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.
Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:

أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:

تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا

“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,” jawabku.
“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan janda,” jawabku.
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.
Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya:

أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ

“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,” jawabku.
“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)
Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”
Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ketika Bumi Dipenuhi Malaikat: oleh Nadirsyah Hosen

Lailatul Qadr, betapa mulianya malam itu!
Al-Qur'an menginformasikan bagaimana para Malaikat dan Jibril turun ke bumi atas izin Allah SWT.; bagaimana malam itu dilukiskan sebagai lebih mulia dari seribu bulan; bagaimana bumi penuh sesak dengan kehadiran para malaikat itu.
Rasul menganjurkan kita untuk mencari malam itu, yang saking mulianya sehingga dirahasiakan kepastiannya oleh Allah. Rasul hanya memberi petunjuk untuk mencarinya di sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya di malam-malam yang ganjil.
Pertanyaannya, di sepuluh malam itu apa yang sebaiknya kita lakukan? Persiapan apa yang harus kita lakukan menunggu datangnya para tamu agung dari langit itu, sikap apa yang harus kita ambil ketika ternyata para tamu itu mampir ke rumah kita, dan, akhirnya, ibadah apa yang mesti kita lakukan di saat datangnya malam itu?
Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, banyak pula saran dan kisah para ulama yang bisa kita jadikan patokan. Namun, saya menyarankan untuk melakukan dua hal.
Pertama, banyak-banyaklah berdekah. Sungguh hanya di bumi inilah kita mendapati saudara kita yang kekurangan. Hanya di bumi orang-orang kaya memberikan makanan kepada kaum fukara wal masakin. Kedua, merintih dan menangislah kita untuk memohon ampunan Allah.
Dua amalan itu merupakan amalan yang malaikat tak sanggup melakukannya. Bukankah di langit tak ada yang miskin, sehingga mustahil malaikat bisa bersedekah. Malaikat yang suci itu tentu saja tak pernah melakukan maksiyat, karenanya mereka adalah suci. Mereka tak pernah merintih dan menangisi dosa mereka. Kitalah yang mampu melakukannya.
Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi diceritakan bagaimana Allah berkata, "rintihan pendosa itu lebih aku sukai daripada gemuruh suara tasbih". Malaikat mampu melakukan tasbih, namun gemuruh suara tasbih dari para malaikat kalah kualitasnya dibanding rintihan dan tangisan kita yang memohon ampun pada Allah SWT.
Mari kita sambut Lailatul Qadr dengan dua amalan yang bahkan malaikat pun tak sanggup melakukannya. Bersedekah-lah.... kemudian menangis dan memohon ampunan ilahi. Siapa tahu, ada malaikat yang bersedia mampir ke rumah kita; dan malam itu menjadi milik kita, insya Allah!
Lailatul Qadr pertama kali dijumpai Nabi ketika beliau menerima wahyu untuk pertama kalinya. Hal yang amat menarik adalah Nabi sebelum kedatangan jibril sedang menyendiri, bertafakur dan berkontemplasi. Nabi memikirkan keadaan lingkungan sekitarnya yang mempraktekkan adat jahiliyah. Nabi menyingkir dari suasana yang tak sehat itu sambil merenung dan menghela nafas sejenak dari hiruk pikuk kota Mekkah. Nabi menetap di gua hira' untuk kemudian berkontemplasi guna mensucikan dirinya. Pada saat itulah turun malaikat Jibril alaihis salam.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Pertama, di tengah masyarakat yang tak lagi mengindahkan etika, moral dan hati nurani, kita harus menyingkir sejenak untuk memikirkan kondisi masyarakat tersebut.
Kedua, di tengah masyarakat yang giat mengerjakan maksiyat, kita harus menghela nafas sejenak dan mencoba untuk mensucikan diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mensucikan masyarakat luas.
Ketiga, di tengah "kesendirian" kita, kita berkontemplasi untuk mencari solusi terbaik dari persoalan yang dihadapi.
Ketika Nabi menganjurkan kita untuk melakukan i'tikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, khususnya malam yang ganjil, saya menangkap bahwa sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukan napak tilas proses pencerahan dan pensucian diri Nabi saat mendapati Lailatul Qadr.
Seyogyanya, i'tikaf yang kita lakukan tidak hanya berisikan alunan ayat suci Al-Qur'an dan dzikir semata. Akan jauh lebih baik bila saat i'tikaf kita pun memikirkan kondisi masyarakat sekitar kita, persis seperti yang telah dilakukan Nabi ratusan tahun yang lalu di gua Hira'. Insya Allah, ketika saat malam yang mulia itu tiba kita sudah siap menyambut dan menjumpainya.
Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa setiap ibadah maupun gerak hidup kita seharusnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata.Silahkan anda mencari Lailatul Qadr, namun jangan menjadi tujuan anda yang hakiki. Tujuan kita beri'tikaf dan beribadah di sepuluh malam terakhir nanti adalah untuk mencari keridhaan Allah.
Kalau yang anda kejar semata-mata hanyalah Lailatul Qadr, jangan-jangan anda tak mendapatkannya sama sekali. Tetapi kalau keridhaan Allah yang kita cari, maka terserah kepada Allah untuk mewujudkan keridhaan-Nya itu pada kita; apakah itu berbentuk Lailatul Qadr atau bentuk yang lain.
Bukankah shalat kita, hidup dan mati kita untuk Allah semata? Dan Sungguh Allah jauh lebih mulia daripada Lailatul Qadr!

Akankah Amalku Diterima

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata’ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata’ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata’ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata’ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba- lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata’ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata’ala.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara- perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.

Akankah Amalku Diterima

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata’ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata’ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata’ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata’ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba- lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata’ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata’ala.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara- perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.