Zakat Implikasinya Pada Pemerataan Oleh A. Rahman Zainuddin

Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah  suatu  konsep
yang  berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh
aspek  dan  segi  kehidupan  manusia.  Dapat  dikatakan  bahwa
seluruh  ajaran Islam telah direkayasa untuk menciptakan suatu
kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal  kepercayaannya,
pemikirannya,   dan  juga  tingkah  lakunya.  Pembersihan  dan
pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik  tolak  dalam  hidup
terjelma  dengan  jelas  dalam  rukun  iman yang enam. Sebelum
segala  sesuatunya,  manusia  harus  mempunyai   titik   tolak
keimanan yang bersih dalam hidup ini.
 
Berdasarkan  pemikiran  tersebut  maka kepercayaan pada Allah,
Tuhan  Yang  Maha  Esa,  adalah  pemurnian   kepercayaan   par
excellence.  Dengan  kepercayaan itu manusia mendapatkan makna
yang baru dan dimensi yang lebih  dalam  tentang  ikatan  yang
dimilikinya  dalam  alam  semesta  ini.  Tauhid  adalah proses
pembebasan manusia yang tiada tara. Proses ini mencakup segala
hubungan  yang  ada,  seperti  hubungan  antara manusia dengan
dirinya, antara manusia  dengan  sesama,  dan  antara  manusia
dengan  alam  semesta,  yang merupakan lokus sementara baginya
dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali
hubungan  itu  telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala
hubungan itu dibangun  kembali,  sesuai  dengan  kaidah-kaidah
yang telah ditentukan Tuhan.
 
Dengan   petunjuk  dan  iradah-Nya  pulalah  ditentukan  bahwa
manusia diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot  yang
telah  diprogramkan  sampai  pada perincian-perinciannya, tapi
suatu makhluk yang telah diberi kemampuan menentukan  nasibnya
sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia telah
berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan
seimbang dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.
 
Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan
jembatan yang terdapat antara  bumi  dan  langit,  dan  dengan
demikian   manusia  menjadi  sadar  akan  satunya  dunia  yang
terlihat dengan dunia yang  tak  terlihat.  Dan  antara  kedua
dunia  itu  terdapat  saluran  komunikasi  yang berbentuk para
rasul itu. Kepercayaan pada buku-buku suci adalah  kepercayaan
bahwa   komunikasi   yang  telah  terjadi  itu  direkam  untuk
kepentingan umat manusia. Tapi sayang  sekali  bahwa  manusia,
dalam  pandangan  Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam
arti yang sesungguhnya dalam masalah rekaman komunikasi antara
langit  dan  bumi itu, sehingga dalam kepercayaan orang Islam,
dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang terdahulu
telah  mengalami  kerancuan karena campur-tangan manusia dalam
bentuk yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah
memperoleh jaminan Tuhan untuk diperlihara kemurniannya sampai
hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran seperti telah  dialami
buku-buku  suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang
merupakan koreksi total dan terakhir  segala  buku  suci  yang
terdapat sebelumnya.
 
Kepercayaan   pada   para  malaikat  adalah  kepercayaan  yang
mengajarkan pada manusia bahwa apa yang ada itu  bukanlah  apa
yang  mereka raba, lihat dan rasakan saja. Di balik eksistensi
alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain,  yaitu  alam
malakut,  yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang
rendah)  yang  diindrai  manusia  ini.  Sekaligus  kepercayaan
tersebut  merupakan  peringatan  bagi manusia, bahwa kemampuan
rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan  eksistensi
yang  relatif  kecil  sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa
yang tersebut dalam al-Qur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan  kamu
tak  mengetahui"  (QS.  al-Baqarah:  232;  'Ali Imran: 66; dan
al-Nahl: 74).
 
Kepercayaan terhadap hari  akhirat,  di  samping  mengantarkan
manusia   ke   alam  yang  belum  pernah  mereka  alami,  juga
menyadarkan mereka bahwa kehidupan dunia  ini  bukanlah  suatu
kehidupan  tanpa  arti  dan  makna,  yang  hanya akan berakhir
apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini
adalah  suatu kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan
penuh keseriusan pula, karena ia merupakan  babak  pendahuluan
yang  pendek  bagi  suatu kehidupan lain yang jauh lebih kekal
dan lebih abadi. Jenis kehidupan  akhirat  yang  akan  ditemui
manusia  nanti, ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan
dunia ini. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik dan  lebih
kekal  (QS.  al-A'la:  17).  Di  samping itu, kepercayaan akan
kehidupan akhirat meminta manusia  hidup  dalam  suasana  yang
penuh  tanggung jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya
akan  diperlihatkan  kepadanya   nanti,   dan   akan   diminta
pertanggungjawabannya.  Malah  perilaku manusia ini nanti akan
disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan  seluruh  orang-orang  yang
beriman (QS al-Taubah: 94,105).
 
Kepercayaan  pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik
juga merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan  lemahnya
manusia sebagai suatu eksistensi, terlepas dari kemandiriannya
dan kebebasannya dalam beribadah dan mengubah hidupnya  sesuai
dengan    keinginannya,   ia   adalah   makhluk   yang   penuh
ketergantungan terhadap  faktor-faktor  yang  dapat  dikatakan
seluruhnya berada di luar pengendaliannya.
 
Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia
telah berada dalam  kondisi  sebaik-baiknya  untuk  mengarungi
alam  tindakan,  atau alam praktis, yang terlambang dalam lima
rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat  dan  ibadah
haji.   Syahadat   adalah  pernyataan  kebulatan  tekad  untuk
menyatukan bumi dan langit dalam diri  kita,  dengan  mengakui
tiada  Tuhan  selain  Allah  dan  Muhammad  itu pesuruh Allah.
Shalat selain merupakan mi'rajnya  orang-orang  yang  beriman,
juga memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek
memupuk  kehidupan  sosial   dalam   masyarakat,   yang   juga
menggalakkan  kepatuhan pada pimpinan, tanpa menghilangkan hak
kontrol  sosial  dan  hak  menegur  dalam  setiap  tahap  dari
pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk
rasa solidaritas sesama manusia, selain  dari  kepatuhan  pada
Tuhan,  terjelma dalam ibadah puasa. Sedangkan manifestasi dan
pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini tampak
dalam  zakat  yang  membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam
haji terlihat aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek
kehidupan  internasional,  aspek pengorbanan, aspek pernyataan
hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain sebagainya.
 
Dengan demikian, secara sepintas lalu telah  tampak  bagaimana
rukun  iman dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu
kehidupan dunia yang lebih bermakna, sebagai pendahuluan  bagi
manusia  dalam  menuju  kehidupan akhirat yang "lebih baik dan
lebih  kekal."  Dengan  kedua  rukun  itu,  kehidupan  manusia
diharapkan   menjadi  bersih  dan  transendental,  baik  dalam
dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam prakteknya.
 
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG ZAKAT
 
Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang  sejarah
Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu,
maupun buku-buku yang lebih baru dan  lebih  modern,  semuanya
mempelajari  zakat.  Dalam  buku-buku  lama,  yang  dipelajari
biasanya pengertian zakat secara bahasa  dan  secara  istilah,
dasar-dasar   yang  mewajibkannya,  siapa  saja  yang  memikul
kewajiban ini, jenis harta mana saja  yang  wajib  dizakatkan,
syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang
terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat  tersebut.
Pendapat-pendapat  para ulama dalam hal ini pada umumoya sama,
kecuali  perbedaan   pendapat   dalam   perincian-perinciannya
(mushali dan samarqandi).
 
Tulisan-tulisan  modern  di dunia Arab yang diperhatikan dalam
tulisan ini adalah Shalih, Sabiq  dan  Thabbarah,  di  samping
penulis-penulis  lain, seperti Mubarak, Tawati, Salamah, Affar
dan  lain-lain.  Para  ulama  muda  Indonesia,  yang  berusaha
menegakkan  ajaran  Islam  seutuhnya  di  negeri  ini juga tak
kurang jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan  Mas'udi  dan
Kuntowijoyo.  Seringkali  juga terdengar di Indonesia pendapat
yang  lebih  memandang  bahwa  zakat  itu  suatu  jenis  pajak
(Mas'udi,1991).
 
Para  penulis  biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem
ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama
sekali  bebas  sepenuhnya  dari  semua sistem yang terdapat di
dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini  terambil
dari  al-Qur'an  sedangkan  penjelasan-penjelasannya diberikan
Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di  masa  beliau
masih  hidup  (Shalih  1965,  354). Zakat merupakan pendapatan
utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti  pajak
tanah,  pajak  kepala,  rampasan  perang, pajak hasil bumi dan
lain-lain (Shalih 1965, 354-355).
 
Zakat  itu  adalah  bagian  dari  harta  benda  manusia   yang
dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir
miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam,
yang   dalam  delapan  puluh  dua  ayat  al-Qur'an  disebutkan
bersama-sama dengan shalat.  Kewajiban  zakat  itu  dibuktikan
dengan  adanya  ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya
hadits Nabi saw., dan  dengan  adanya  suatu  kewajiban  agama
(Sabig 73, 286).
 
Dipandang  dari  segi  pengertiannya, zakat berarti kebersihan
dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut  dalam  al-Qur'an
(QS.  al-Taubah:  103).  Zakat  dimaksudkan untuk membersihkan
harta benda orang lain yang dengan sengaja  atau  tak  sengaja
telah  termasuk  ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan
harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta
benda  yang  kita  peroleh  karena persaingan yang tak pantas,
karena kelicikan dan lain-lain  sebagainya.  Akibatnya  banyak
orang  lain  yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu.
Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena
tak  memiliki  keahlian  untuk  itu.  Mereka  hanya diam dalam
penderitaan mereka. Untuk membersihkan  harta  benda  daripada
kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan.
 
Zakat  berarti  juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak
fakir miskin dan lain-lain yang  terdapat  dalam  harta  benda
kita,  maka  terjadilah  suatu sirkulasi uang dalam masyarakat
yang mengakibatkan bertambah  berkembangnya  fungsi  uang  itu
dalam  masyarakat.  Di  belakang  pendapat  tersebut  terdapat
asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun  (1958,102-103),
bahwa  harta  benda  itu selalu beredar di antara penguasa dan
rakyat. Ia menganggap  negara  dan  pemerintahan  itu  sebagai
suatu  pasar  yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq
ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat
al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa
menahan  harta   benda   dalam   bentuk   pajak   yang   telah
dikumpulkannya  dalam  kalangannya saja, maka jumlah uang yang
beredar dalam  masyarakat  sudah  pasti  berkurang  pula,  dan
pendapatan  rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat
itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini. Gejala  ini
menimbulkan   kemacetan   ekonomi   di   kalangan  masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh  para  pedagang  juga  akan  menjadi
lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian
adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar  yang  terbesar
maka  kemakmuran  negara  itu  adalah dengan melihat banyaknya
harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi  kemandekan
dalam  sirkulasi  ini,  maka  semua pihak, termasuk pemerintah
sendiri dirugikan. Jadi harta  benda  itu  selalu  bolak-balik
antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan
pertumbuhan  itu  satu-satunya  sebab  disyari'atkannya zakat.
Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam,  yaitu
yang  bertumbuh  seperti  binatang  ternak  dan tanam-tanaman,
serta harta perdagangan.
 
Zakat  diwajibkan  pertama  kali  di  Makkah  pada   permulaan
turunnya  Islam,  tapi  ketika  itu  kewajiban  tersebut  baru
bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya,
baik  mengenai  harta  benda  jenis  apa  yang diwajibkan, dan
berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal
itu  diserahkan  pada  perasaan  dan kebaikan hati orang Islam
saja. Namun baru pada tahun kedua  Hijriah,  menurut  pendapat
yang  terkuat  di  kalangan  para ahli, zakat diwajibkan dalam
bentuk yang lebih terperinci (Shalih, 276-277).
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat  itu  bukanlah  suatu  karitas,
bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi
suatu bentuk keadilan internal  yang  terlembaga,  suatu  yang
diwajibkan,  sehingga  dengan  rasa solidaritas yang bersumber
dari  keimanan  itu  orang  dapat  menaklukkan   egoisme   dan
kerakusan  dirinya.  Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia
menyatakan  bahwa  al-Qur'an  dan  Sunnah  mengatur  pembagian
kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan
yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang  bukan
berdasarkan  penghasilan,  melainkan  berdasarkan kekayaan. Ia
selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif  umum  dua  setengah
persen  setahun  maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu
generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh  tahun,  dengan
demikian  tak  akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit
dari  kekayaan  yang  diwarisinya  dari   orang   tuanya.   Ia
berpendapat  bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti
ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada  orang  yang
terpaksa  mencuri,  selain dari orang yang berpenyakit seperti
kleptomaniak.
 
Boisard (64-65)  menyitir  pendapat-pendapat  yang  mengatakan
zakat   itu  menyucikan  manusia  yang  memberikannya,  dengan
kemenangan terhadap egoisme, atau bahwa ia memperoleh kepuasan
moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam
yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah  belas  kasihan,  akan
tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah
pembagian sesama sekutu dalam kekayaan umum,  dan  menjelmakan
persaudaraan  dan  solidaritas.  Dan lebih daripada orang yang
lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam
memandangnya   sebagai  kewajiban  agama.  Ia  juga  merupakan
penegasan kembali  kenyataan  bahwa  semua  harta  benda  yang
dimiliki  manusia  pada  hakikatnya milik Tuhan, sedangkan apa
yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu,  zakat
tak   lebih  dari  mengembalikan  sebagian  harta  itu  kepada
pemiliknya yang asli (Tuhan),  demi  menghindarkan  diri  dari
penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti di akhirat.
 
Salamah  (1978,  98-99)  berpendapat  bahwa dalam permasalahan
manusia  yang  bersifat  keuangan  dan   perekonomian,   Islam
menentukan   batas-batas  dan  meletakkan  kaidah-kaidah  yang
sangat  jelas,  yaitu  yang  sesuai   dengan   prinsip-prinsip
kebenaran,  keadilan  dan  kepercayaan. Islam menyatakan bahwa
harta benda itu bukan tujuan  dalam  hidup  ini,  akan  tetapi
hanya  alat  semata  untuk  mempertukarkan  manfaat dan saling
memenuhi keperluan, yang  digunakan  untuk  mencapai  keadilan
sosial  yang  dicita-citakan  Islam.  Harta  benda itu sendiri
sebagai  alat  yang  tunduk  kepada  kehendak  manusia  adalah
netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda
itu sebagai nikmat, rejeki,  dan  kurnia  yang  berguna,  demi
untuk  mencapai  yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah
yang dapat mengubah harta benda itu menjadi  sumber  azab  dan
sengsara bagi manusia itu sendiri.
 
Salamah  (h.  100)  merasa  heran karena dewasa ini umat Islam
pada umumnya  mentolerir  praktek-praktek  riba  dalam  bidang
keuangan  dan  ekonomi,  yang  berdasarkan  eksploitasi  dalam
bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini  memperlihatk
an  bahwa  harta  benda  itu  telah  menguasai  hak-hak  asasi
manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang  berdasarkan  riba
ini  pulalah  yang  menyebabkan  mengapa  sebagian besar harta
benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang  sangat
kaya.
 
Zakat   sebagai   rukun  Islam  ketiga,  menurut  pendapatnya,
disamping membersihkan jiwa dan harta  benda,  juga  merupakan
alat  pemerataan  yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat
(h. 102). Ia juga berpendapat bahwa zakat  merupakan  sebagian
besar  dari  pendapatan  negara  yang menjadikan negara-negara
dulu kaya  dan  makmur,  serta  tak  mengenal  kemiskinan  dan
penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di
masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak
yang  telah  ada,  karena  tempat penyalurannya berbeda. Zakat
merupakan  faktor  utama  dalam  pemerataan  harta  benda   di
kalangan  masyarakat,  dan  juga  merupakan sarana utama dalam
menyebarluaskan    perasaan     senasib-sepenanggungan     dan
persaudaraan  di  kalangan  umat  manusia.  Karena  itu  dapat
dikatakan bahwa zakat, kalau akan  dinamakan  pajak,  maka  ia
adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus (h. 103).
 
Bagi  Tawati  (1986,  h.  27),  kedatangan  Islam adalah untuk
memperbaiki kehidupan manusia  yang  dipenuhi  ketidak-adilan.
Dalam  hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk
mendirikan  keadilan  sosial  dalam   masyarakat   Islam.   Ia
bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan
dan ketamakan, serta  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka  yang
fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan
untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi  kepentingan
umat,  seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara
berbagai lapisan sosial.
 
Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para
ulama  terhadap  zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara
pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh,  kerjasama
antara  anggota  umat  berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan
seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua  orang  dapat
hidup  dalam  suatu  tingkat  kehidupan  yang layak dan mulia,
karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah
terpenuhi  (h.  28).  Perbedaan yang mendasar antara zakat dan
pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak  dibayar  orang
karena   terpaksa,   tapi  zakat  dibayarkan  sebagai  lambang
kerjasama,    persaudaraan    yang    sungguh-sungguh,    yang
dilaksanakan  dengan  cara yang berbeda pula (h. 30). Dan yang
lebih penting lagi adalah kenyataan  bahwa  zakat  itu  adalah
ibadah (h. 31).
 
Sementara itu, studi-studi kaum orientalis semenjak dulu telah
berusaha memberikan gambaran yang salah  dan  penafsiran  yang
tak  benar tentang Islam pada umumnya, termasuk mengenai zakat
ini (Daniel 1980, 222-223). Bagi mereka, kata-kata  zakat  itu
sendiri  tak  jelas  asal  usulnya  dalam bahasa Arab dan baru
dikenal Nabi dalam pengertian yang lebih  luas  karena  beliau
mengetahuinya  dari pengertian yang diberikan orang Yahudi dan
orang Aramaik. Bersama dengan sadaqah, Rasul mungkin  mengenal
konsep  ini  dari  orang  Yahudi  yang  ditemuinya di Madinah.
Konsep seperti ini sangat diperlukannya terutama dalam  rangka
memberikan  bantuan pada orang muhajirin yang baru datang dari
Makkah. Suatu praktek yang  pada  mulanya  sangat  bernapaskan
agama.  Lama-lama  kehilangan  motif keagamaannya. Harta benda
yang diperoleh dari zakat itu tak hanya untuk  menolong  fakir
miskin,  tapi  juga  untuk  tujuan-tujuan militer dan politik.
Untuk hal ini, yang dirasakan  berat  bagi  kebanyakan  orang,
maka  ia  menggunakan  nama  Allah,  atau  untuk  jalan  Allah
(Schacht 1961).
 
Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah
alat  pemerataan  dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak
akan lahir monopoli dan  monopsoni  (Kuntowijoyo  1991,  167).
Baginya  zakat  berpusat  pada  keimanan, tapi ujungnya adalah
menciptakan  terwujudnya  kesejahternan   sosial   (h.   229).
Penelitian  membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi
jumlah orang miskin di  beberapa  tempat  tertentu  (h.  257).
Karena  itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real
dan lebih faktual (h. 284).
 
Mas'udi (h. 139) melaporkan  bahwa  ada  pendapat-pendapat  di
Indonesia  yang  ingin  lebih  memberikan penekanan pada tarif
yang tinggi (20%) dari zakat dengan  berpegang  kepada  rikaz,
yang  dirasakan  Mas'udi  sendiri  merupakan  suatu kebuntuan.
Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau  para  ulama
mereka,  berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku
(qath'i)  demikian  saja  berdasarkan  perubahan  situasi  dan
kondisi.  Bagi  golongan  Syi'ah  hal ini tak menjadi masalah,
karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam  kalangan  Syi'ah
praktek khums adalah suatu praktek yang telah biasa.
 
Penulis  juga  tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah (h.
317-318) tentang  perbedaan  antara  fakir  dan  miskin  dalam
membicarakan  golongan-golongan  orang  yang  berhak  menerima
zakat.  Menurut  pendapat  'Akramah  Maula  Ibn  'Abbar,  yang
dimaksud  dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim,
sedangkan yang dimaksud  dengan  miskin  itu  adalah  golongan
miskin  kaum non-Muslim (ahl al-kitab). Pendapat ini diperkuat
pula  oleh  pendapat  'Umar  bin  Khattab   yang   menafsirkan
al-masakin  dengan  golongan lemah ahl al-kitab. Suatu kali ia
melihat seorang zhimmi yang buta  tergeletak  di  pintu  kota.
'Umar  bertanya kepadanya, "Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu
mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya telah buta,  mereka
menelantarkan   saya.   Tak   ada  orang  yang  membantu  saya
sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah  berlaku
tak adil terhadapmu." Setelah itu ia memerintahkan agar diberi
makan dan belanja untuk memperbaiki  tingkat  hidupnya.  'Umar
berpendapat  ini  adalah  penafsiran  perkataan  Tuhan, innama
'I-shadaqatu  li  'I-fuqara'  wa  'I  masakin.  Jadi  baginya,
masakin  itu  adalah  orang-orang  ahl al-kitab yang tak mampu
lagi bekerja, atau menderita penyakit yang  tak  dapat  sembuh
lagi.  Namun  pendapat  itu  tentu  saja  bertentangan  dengan
pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat,  zakat  itu  hanya
diberikan kepada orang Islam saja.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Affar, Muhammad 'Abd al-Mun'im. 1977. "An-Nizham  al-lqtishadi
al-Islami." Al-Wa'y al Islami, 154: 36-43.
 
Boisard,   Masrcel  A.  1980.  Humanisme  dalam  Islam.  Edisi
Indonesia terjemahan Prof. Dr. H.M.  Rasjidi.  Jakarta:  Bulan
bintang.
 
Booth,  Jr.,  Newell  S.  1970.  "The  Historical  and the Non
Historical in Islam". The Muslim World LX (2): 109-122.
 
Daniel, Norman. 1980. Islam and the West:  The  Making  of  an
Image. Edinburgh: University Press.
 
Garaudy,  Roger.  1986.  Mencari  Agama  pada  Abad XX: Wasiat
Filsafat Roger Garaudy. Edisi Indonesia  terjemahan  Prof  Dr.
H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
 
Garaudy, Roger. 1981. Promesses de l'Islam. Paris: Editions de
Seuil.
 
Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History.
Diterjemahkan  Franz  Rosenthal  ke dalam bahasa Inggris dalam
tiga jilid. New York: Bollingen Foundation.
 
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi  untuk  Aksi.
Bandung: Mizan.
 
Mas'udi, Masdar F. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
 
Mubarak, Muhammad. 1972. Nizham al-Islam: al-Iqtishad,  Mabadi
wa Qawa'id 'Ammah. Makkah: Dar al-Fikr.
 
Musholi,   'Abdullah   bin   Mahmud   bin  Maudud  al-.  1951.
Al-Ikhtiyar li Ta'lil al-Mukhtar. Lima Jilid.  Kairo:  Mustafa
al-Halabi
 
Nasr,  Seyyed  Hossein.  1975.  Ideals and Realities of Islam.
Boston: Beacon Press,
 
Sabiq, as-Syaid. 1973. Fiqh as-sunnah.  2  jilid.  "Zakat"  di
jilid I. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi.
 
Salamah,  'Abd al-Rahim bin. 1987. "al-Siyasat al-Maliyah fi'l
Islam al-Manhal 48 (No. 407): 98-109.
 
Samarqandi, 'Ala al-din as-.  1958.  Tuhfat  al-Fuqaha'.  Tiga
Jilid, Damaskus: Universitas Damaskus.
 
Schacht,  J. 1961. "Zakat". Shorter Encyclopedia of Islam, ed.
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers. Leiden: EJ. Brill.
 
Shalih, Subhi as-. 1965. Al-Nuzhum al-Islamiyah: Nasyatuha  wa
Tathawwuruha. Beirut: Dar al-'Ilmi li-'l-malayin.
 
Tabataba'i,  Muhammad  Husayn.  1975.  Shi'ite  Islam. London:
Allen & Unwin.
 
Tawati, 'Abd al-Karim at-.1986. "Mafhum al-Zakah  wa  Ab'aduha
wa Hikmatu Tasyri'iha fi 'l-Islam". al-Manhal 447: 24-41.
 
Thabbarah,  'Afif  'Abd al-Fattah. 1959. Ruh al-Din al-Islami.
Beirut: Dar al-'Ibad.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar