Puasa

MARHABAN YA RAMADHAN
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban"  diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan  yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
 
Walaupun    keduanya    berarti    "selamat   datang"   tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan  ahlan  wa
sahlan  untuk  menyambut  datangnya  bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".
 
Ahlan  terambil  dari  kata  ahl  yang   berarti   "keluarga",
sedangkan  sahlan  berasal  dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran  rendah"  karena  mudah  dilalui,  tidak
seperti  "jalan  mendaki".  Ahlan  wa  sahlan, adalah ungkapan
selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat
yaitu,  "(Anda  berada  di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."
 
Marhaban terambil dari kata  rahb  yang  berarti  "luas"  atau
"lapang",  sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima  dengan  dada  lapang,  penuh  kegembiraan  serta
dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang  diinginkannya.  Dari  akar   kata   yang   sama   dengan
"marhaban",  terbentuk  kata  rahbat  yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat  datang  Ramadhan"  mengandung  arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak   dengan   menggerutu   dan   menganggap    kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
 
Marhaban  ya  Ramadhan,  kita  ucapkan  untuk  bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.
 
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada  lereng  yang  curam,  belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu,  agar  perjalanan  tidak  melanjutkan.  Bertambah
tinggi  gunung  didaki,  bertambah  hebat  ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan.  Tetapi,  bila  tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu  jalan,  tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan  akan
ditemukan  kendaraan  Ar-Rahman  untuk  mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.  Demikian  kurang  lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
 
Tentu  kita  perlu  mempersiapkan  bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus  kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan  malam  Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui  pengabdian  untuk  agama,  bangsa  dan  negara.
Semoga  kita  berhasil,  dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
 
PUASA MENURUT AL-QURAN
 
Al-Quran  menggunakan  kata  shiyam  sebanyak  delapan   kali,
kesemuanya  dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum,  tetapi  maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:
 
     Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
     ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
     pun (QS Maryam [19]: 26).
 
Demikian ucapan  Maryam  a.s.  yang  diajarkan  oleh  malaikat
Jibril   ketika  ada  yang  mempertanyakan  tentang  kelahiran
anaknya (Isa  a.s.).  Kata  ini  juga  terdapat  masing-masing
sekali  dalam  bentuk  perintah  berpuasa  di  bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah   baik   untuk   kamu",   dan  sekali  menunjuk  kepada
pelaku-pelaku  puasa  pria  dan  wanita,   yaitu   ash-shaimin
wash-shaimat.
 
Kata-kata  yang  beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni  sha-wa-ma  yang  dari  segi  bahasa
maknanya  berkisar  pada  "menahan"  dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan  dinamai  faras  shaim.
Manusia  yang  berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun  aktivitas  itu--  dinamai  shaim  (berpuasa).  Pengertian
kebahasaan  ini,  dipersempit  maknanya  oleh  hukum  syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum,  dan  upaya  mengeluarkan  sperma  dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".
 
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan  tujuan  puasa,  menambahkan
kegiatan  yang  harus  dibatasi  selama  melakukan  puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.
 
Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula  puasa
dipersamakan  dengan  sikap  sabar,  baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.
 
Hadis   qudsi   yang  menyatakan  antara  lain  bahwa,  "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan  oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
 
     Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
     disempurnakan pahalanya tanpa batas.
 
Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
 
Ada  beberapa  macam  puasa  dalam  pengertian   syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.
 
     1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
     
     2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
        semacamnya.
     
     3. Puasa sunnah.
 
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal  yang  berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.
 
PUASA RAMADHAN
 
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam  surat
Al-Baqarah  (2):  183,  184,  185,  dan 187. Ini berarti bahwa
puasa Ramadhan baru  diwajibkan  setelah  Nabi  Saw.  tiba  di
Madinah,  karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan  menyatakan  bahwa  kewajiban
melaksanakan  puasa  Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah.
 
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran  selama
sebutan  penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
yang   seringkali   melakukan   penahapan   dalam    perintah-
perintahnya,   maka   agaknya  kewajiban  berpuasa  pun  dapat
dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman  ma'dudat
(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga  hari  dalam  sebutan  yang  merupakan  tahap  awal  dari
kewajiban  berpuasa.  Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
dengan turunnya ayat 185:
 
     Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
     tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
     hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
     yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
     berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
 
Pemahaman semacam  ini  menjadikan  ayat-ayat  puasa  Ramadhan
terputus-putus  tidak  menjadi  satu  kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa  Ramadhan  sebagai  satu  kesatuan,  penulis
lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil
bahwa   Nabi  dan  sahabatnya  telah  melakukan  puasa  sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari  Al-Quran,  apalagi
tidak  ditemukan  satu  ayat  pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.
 
Uraian Al-Quran tentang kewajiban  puasa  di  bulan  Ramadhan,
dimulai  dengan  satu  pendahuluan  yang  mendorong umat islam
untuk melaksanakannya dengan  baik,  tanpa  sedikit  kekesalan
pun.
 
Perhatikan  surat  Al-Baqarah  (2):  185.  ia  dimulai  dengan
panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang  beriman,  diwajibkan
kepada  kamu  berpuasa."  Di  sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa  itu,
tetapi   terlebih   dahulu   dikemukakan  bahwa,  "sebagaimana
diwajibkan terhadap umat-umat sebelum  kamu."  Jika  demikian,
maka  wajar  pula  jika  umat  Islam  melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan  yang  berpuasa
sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."
 
Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186  menjelaskan
bahwa  kewajiban  itu  bukannya  sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan  bagi  yang
berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
sehat, sehingga "barangsiapa  sakit  atau  dalam  perjalanan,"
maka  dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari  yang  lain.
"Sedang  yang  merasa  sangat  berat  berpuasa,  maka (sebagai
gantinya) dia  harus  membayar  fidyah,  yaitu  memberi  makan
seorang  miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
bahwa "berpuasa adalah baik."
 
Setelah itu disusul  dengan  penjelasan  tentang  keistimewaan
bulan  Ramadhan,  dan  dari  sini  datang  perintah-Nya  untuk
berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan  bahwa
orang  yang  sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
dengan  memberikan  penegasan  mengenai   peraturan   berpuasa
sebagaimana  disebut  sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
Ramadhan ditutup dengan  "Allah  menghendaki  kemudahdn  untuk
kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa,  tetapi
tentang  doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa  tentu  mempunyai  rahasia
tersendiri.  Agaknya  ia  mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan,  dan  karena
itu   ayat  tersebut  menegaskan  bahwa  "Allah  dekat  kepada
hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."
 
Selanjutnya ayat 187 antara  lain  menyangkut  izin  melakukan
hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa yang  harus  dikerjakan,  yakni  dari  terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.
 
Banyak   informasi   dan  tuntunan  yang  dapat  ditarik  dari
ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan  puasa.
Berikut  akan  dikemukan  sekelumit baik yang berkaitan dengan
hukum  maupun  hikmahnya,  dengan  menggarisbawahi  kata  atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
 
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
 
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
   yang menderita sakit)
 
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:
 
  1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia
     wajib berbuka; dan
     
  2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
     kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
     dianjurkan tidak berpuasa.
 
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita
oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
Sirin, pernah ditemui makan  di  siang  hari  bukan  Ramadhan,
dengan  alasan  jari  telunjuknya  sakit.  Betapa  pun,  harus
dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks  ayat
mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
kita dapat berkata bahwa Allah Swt.  sengaja  memilih  redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
untuk menentukan sendiri apakah ia  berpuasa  atau  tidak.  Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan  tetap  harus  menggantikan
hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
 
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
 
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang  bolehnya  berbuka  puasa
bagi  orang  yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan jarak perjalanan. Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa
jarak  perjalanan  tersebut  sekitar  90 kilometer, tetapi ada
juga yang tidak menetapkan jarak tertentu,  sehingga  seberapa
pun  jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka  hal  itu  merupakan  izin  untuk  memperoleh   kemudahan
(rukhshah).
 
Perbedaan  lain  berkaitan  dengan  'illat  (sebab)  izin ini.
Apakah karena  adanya  unsur  safar  (perjalanan)  atau  unsur
keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya
jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
dari  satu  jam,  serta  tidak  meletihkan,  apakah  ini dapat
dijadikan alasan untuk berbuka atau  meng-qashar  shalat  atau
tidak.  Ini  antara  lain berpulang kepada tinjauan sebab izin
ini.
 
Selanjutnya mereka  juga  memperselisihkan  tujuan  perjalanan
yang  membolehkan  berbuka  (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah  perjalanan  tersebut  harus  bertujuan  dalam
kerangka  ketaatan  kepada  Allah,  misalnya  perjalanan haji,
silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan
mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal  di  atas  sebagai  membolehkan
berbuka,  lebih  kuat,  kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan  maksiat,  maka  tentu   yang   bersangkutan   tidak
memperoleh  izin  untuk  berbuka  dan atau menjamak shalatnya.
Bagaimana  mungkin  orang  yang  durhaka   memperoleh   rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?
 
Juga  diperselisihkan  apakah  yang  lebih  utama bagi seorang
musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik  dan  imam  Syafi'i
menilai  bahwa  berpuasa  lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu,  tetapi  sebagian  besar  ulama  bermazhab  Maliki  dan
Syafi'i  menilai  bahwa  hal  ini  sebaiknya diserahkan kepada
masing-masing pribadi, dalam arti  apa  pun  pilihannya,  maka
itulah  yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui  Anas  bin
Malik  yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di
bulan Ramadhan, ada  yang  berpuasa  dan  adapula  yang  tidak
berpuasa.  Nabi  tidak  mencela  yang berpuasa, dan tidak juga
(mereka) yang tidak berpuasa."
 
Memang ada juga ulama yang beranggapan  bahwa  berpuasa  lebih
baik  bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
menilai bahwa berbuka lebih baik  dengan  alasan,  ini  adalah
izin  Allah.  Tidak  baik  menolak  izin dan seperti penegasan
Al-Quran  sendiri  dalam  konteks  puasa,  "Allah  menghendaki
kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."
 
Bahkan  ulama-ulama  Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,
antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat  di  atas,
yaitu:
 
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
   ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
 
Ulama  keempat  mazhab  Sunnah   menyisipkan   kalimat   untuk
meluruskan  redaksi  di  atas,  sehingga  terjemahannya  lebih
kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan
(dan   ia  tidak  berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa)
sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada  hari-hari  yang
lain."
 
Kalimat  "lalu  ia  tidak  berpuasa"  adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak  hadis  yang
membolehkan  berpuasa  dalam  perjalanan,  sehingga  kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir  dan  orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.
 
Sisipan  semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka--  menjadi  wajib  bagi
orang  yang  sakit  dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang  lain  seperti
bunyi harfiah ayat di atas.
 
Apakah    membayar   puasa   yang   ditinggalkan   itu   harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan  demikian.  Tetapi  ada riwayat lain melalui Aisyah
r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata  pada
ayat   puasa   yang   berbunyi   mutatabi'at,  yang  maksudnya
memerintahkan  penggantian  (qadha')   itu   harus   dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
ayyamin   ukhar   mutatabi'at   yang   berarti   berurut  atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh  Allah  Swt.  Sehingga
akhirnya  ayat  tersebut  tanpa  kata  ini,  sebagaimana  yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.
 
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti
harus   dilakukannya   pada   awal   Syawal,   ataukah   dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?  Hanya
segelintir  kecil  ulama  yang  mengharuskan sesegera mungkin,
namun umumnya tidak  mengharuskan  ketergesaan  itu,  walaupun
diakui  bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak  sempat
menggantinya,  apakah  ada  kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa  di  samping
berpuasa,  ia  harus  membayar  kaffarat  berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu  Hanifah  tidak  mewajibkan
kaffarat  dengan  alasan  tidak  dicakup  oleh redaksi ayat di
atas.
 
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
   miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
   menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
   makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
 
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak  ulama
tafsir.  Ada  yang  berpendapat  bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni  bagi  kedua  kelompok  ini  terdapat  dua  kemungkinan:
musafir dan orang  yang  merasa  berat  untuk  berpuasa,  maka
ketika  itu  dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya  mampu  berpuasa,  tetapi  enggan  karena
kurang  sehat  dan  atau  dalam  perjalanan,  maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
 
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan  mayoritas
ulama.  Mayoritas  memahami  penggalan  ini  berbicara tentang
orang-orang tua  atau  orang  yang  mempunyai  pekerjaan  yang
sangat  berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam  kondisi  semacam  ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian  juga  halnya
terhadap  orang  yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan  penggalan  ayat  di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
 
Wanita yang hamil  dan  menyusui  wajib  membayar  fidyah  dan
mengganti  puasanya  di  hari  lain,  seandainya  yang  mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya  yang  sedang  menyusui.
Tetapi  bila  yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.
 
Fidyah  dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama  ia  tidak  berpuasa.  Ada  yang  berpendapat  sebanyak
setengah  sha'  (gantang)  atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu  mud
yakni   sekitar   lima   perenam  liter,  dan  ada  lagi  yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang  berlaku
pada setiap masyarakat.
 
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
   nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
   bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
   187)
 
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam  hari
bulan  Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks  tidak  dibenarkan.  Termasuk  dalam  pengertian
hubungan  seks  adalah  "mengeluarkan  sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak  melarang  ciuman,  atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak  dapat
menahan  diri,  karena  dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah  r.a.,  Nabi  Saw.  pernah  mencium
istrinya  saat  berpuasa.  Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain  berhubungan  seks,  kemudian  ternyata  "basah",  maka
puasanya  batal;  ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan  yang  bersangkutan  membayar
kaffarat,  kecuali  jika  ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini  berdasarkan  hadis  Nabi
adalah  berpuasa  dua  bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,  maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
 
Bagi  yang  melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar.  Ia  hanya  berkewajiban  mandi
sebelum  terbitnya  matahari  --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat  subuh  dalam  keadaan  suci  pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
 
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
   al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
   dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
   benang hitam, yaitu fajar).
 
Ayat ini membolehkan seseorang untuk  makan  dan  minum  (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
 
Pada   zaman   Nabi,   beberapa   saat  sebelum  fajar,  Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau  mengingatkan  bahwa  bukan
itu  yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas.  Imsak  yang  diadakan  hanya  sebagai  peringatan   dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun  bila  dilakukan,  maka  dari  segi  hukum  masih  dapat
dipertanggungjawabkan  selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu  dingatkan,  bahwa   hendaknya   kita   jangan   terlalu
mengandalkan  azan,  karena  boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu  sangat  beralasan  untuk  menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.
 
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
   sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
 
Penggalan ayat ini datang setelah ada  izin  untuk  makan  dan
minum sampai dengan datangnya fajar.
 
Puasa  dimulai  dengan  terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan
datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama  adalah  pengertian  malam. Ada yang memahami kata malam
dengan tenggelamnya matahari walaupun masih  ada  mega  merah,
dan  ada  juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah
dan menyebarnya  kegelapan.  Pendapat  pertama  didukung  oleh
banyak  hadis  Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail  yang  diterjemahkan  "malam".
Kata  lail  berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.
 
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi  Saw.  untuk
mempercepat  berbuka  puasa,  dan  memperlambat sahur pendapat
kedua sejalan dengan  sikap  kehatian-hatian  karena  khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.
 
Demikian  sedikit  dari  banyak  aspek hukum yang dicakup oleh
ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
 
TUJUAN BERPUASA
 
Secara jelas  Al-Quran  menyatakan  bahwa  tujuan  puasa  yang
hendaknya  diperjuangkan  adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum tattaqun. Dalam  rangka  memahami  tujuan  tersebut
agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya,  "Banyak  di  antara  orang  yang   berpuasa   tidak
memperoleh   sesuatu  daripuasanya,  kecuali  rasa  lapar  dan
dahaga."
 
Ini berarti bahwa menahan diri dari  lapar  dan  dahaga  bukan
tujuan  utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
bahwa  "Allah   menghendaki   untuk   kamu   kemudahan   bukan
kesulitan."
 
Di  sisi  lain,  dalam  sebuah  hadis  qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam  untuk  dirinya,  kecuali  puasa.
Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
 
Ini  berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.
Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat  dikemukakan,
misalnya  bahwa  puasa  merupakan  rahasia  antara  Allah  dan
pelakunya  sendiri.  Bukankah  manusia  yang  berpuasa   dapat
bersembunyi  untuk  minum  dan  makan? Bukankah sebagai insan,
siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk  makan  atau
minum  pada  saat-saat  tertentu  dari  siang hari puasa? Nah,
kalau demikian, apa motivasinya  menahan  diri  dan  keinginan
itu?  Tentu  bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab
jika demikian,  dia  dapat  saja  bersembunyi  dari  pandangan
mereka.   Di  sini  disimpulkan  bahwa  orang  yang  berpuasa,
melakukannya demi  karena  Allah  Swt.  Demikian  antara  lain
penjelasan  sementara  ulama  tentang keunikan puasa dan makna
hadis qudsi di atas.
 
Sementara pakar ada  yang  menegaskan  bahwa  puasa  dilakukan
manusia   dengan   berbagai  motif,  misalnya,  protes,  turut
belasungkawa,  penyucian  diri,  kesehatan,  dan  sebagai-nya.
Tetapi  seorang  yang  berpuasa  Ramadhan dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.
 
Di  sini  Anda  boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian
dapat mengantarkan manusia kepada  takwa?"  Untuk  menjawabnya
terlebih  dahulu  harus  diketahui  apa  yang  dimaksud dengan
takwa.
 
PUASA DAN TAKWA
 
Takwa  terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  menghindar,
menjauhi,  atau  menjaga  diri.  Kalimat  perintah  ittaqullah
secara harfiah berarti, "Hindarilah,  jauhilah,  atau  jagalah
dirimu dari Allah"
 
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari  Allah  atau
menjauhi-Nya,  sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun
kamu berada." Karena itu perlu disisipkan  kata  atau  kalimat
untuk  meluruskan  maknanya.  Misalnya  kata  siksa  atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung  arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
 
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
 
  a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
     hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam
     raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
     menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri
     dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
     dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
     lainnya.
     
  b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
     hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
     melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
     mengakibatkan siksa neraka.
 
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman
Allah,  diperoleh  dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa  yang  diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa  takut  ini,  pada
mulanya  timbul  karena  adanya  siksaan, tetapi seharusnya ia
timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."
 
Dengan demikian yang  bertakwa  adalah  orang  yang  merasakan
kehadiran  Allah  Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,
menyadari  bahwa  Allah  melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis.
 
Tentu banyak cara yang  dapat  dilakukan  untuk  mencapai  hal
tersebut,  antara  1ain  dengan  jalan berpuasa. Puasa seperti
yang  dikemukakan  di  atas  adalah  satu  ibadah  yang  unik.
Keunikannya  antara  lain  karena  ia  merupakan upaya manusia
meneladani Allah Swt.
 
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
 
Beragama  menurut  sementara  pakar   adalah   upaya   manusia
meneladani  sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai  makhluk.  Nabi  Saw.  memerintahkan,  "Takhallaqu  bi
akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
 
Di  sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan
yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu  makan,  minum,
dan  hubungan  seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara
lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
 
     Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
     memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
 
     Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia
     tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
     [72]: 3).
 
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
 
     Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
     menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
     dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).
 
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi  sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika  berbuka  puasa),  dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
 
Tentu  saja  sifat-sifat  Allah tidak terbatas pada ketiga hal
itu, tetapi mencakup  paling  tidak  sembilan  puluh  sembilan
sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai
dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk  ilahi.
Misalnya  Maha  Pengasih  dan  Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,
Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya  peneladanan  ini  dapat
mengantarkan  manusia  menghadirkan  Tuhan dalam kesadarannya,
dan  bila  hal  itu  berhasil  dilakukan,  maka  takwa   dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.
 
Karena  itu,  nilai  puasa  ditentukan  oleh  kadar pencapaian
kesadaran  tersebut  --bukan  pada  sisi  lapar  dan  dahaga--
sehingga   dari   sini  dapat  dimengerti  mengapa  Nabi  Saw.
menyatakan bahwa, "Banyak orang yang  berpuasa,  tetapi  tidak
memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."
 
PUASA UMAT TERDAHULU
 
Puasa  telah  dilakukan  oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba
'alal  ladzina  min  qablikum  (Sebagaimana  diwajibkan   atas
(umat-umat)  yang  sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama  menyatakan  bahwa  semua  agama  samawi,   sama   dalam
prinsip-prinsip  pokok  akidah,  syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi  mengajarkan  keesaan  Allah,
kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu  sebagai  pendekatan  kepada
Allah   adalah  prinsip-prinsip  syariat  yang  dikenal  dalam
agama-agama samawi.  Tentu  saja  cara  dan  kaifiatnya  dapat
berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
 
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi
umat islam dan umat-umat terdahulu?
 
Manusia  memiliki  kebebasan  bertindak  memilih  dan  memilah
aktivitasnya,  termasuk  dalam  hal  ini,  makan,  minum,  dan
berhubungan  seks.  Binatang   --khususnya   binatang-binatang
tertentu--  tidak  demikian.  Nalurinya  telah mengatur ketiga
kebutuhan pokok itu,  sehingga  --misalnya--  ada  waktu  atau
musim  berhubungan  seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan,  dan
atau menghindarkannya dari kebinasaan.
 
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya
bila tidak terkendalikan dapat menghambat  pelaksanaan  fungsi
dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan,  bukan  saja  menjadikannya  tidak  lagi menikmati
makanan  atau  minuman  itu,  tetapi  juga  menyita  aktivitas
lainnya  kalau  enggan  berkata  menjadikannya  lesu sepanjang
hari.
 
Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi  semakin  haus
bagaikan  penyakit  eksim  semakin  digaruk semakin nyaman dan
menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
 
Potensi dan daya  manusia  --betapa  pun  besarnya--  memiliki
keterbatasan,  sehingga  apabila  aktivitasnya telah digunakan
secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan  kebutuhan
faali  misalnya--  maka  arah  yang lain, --mental spiritual--
akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
 
Sebagaimana disinggung di atas, esensi  puasa  adalah  menahan
atau  mengendalikan  diri.  Pengendalian  ini  diperlukan oleh
manusia, baik secara individu  maupun  kelompok.  Latihan  dan
pengendalian diri itulah esensi puasa.
 
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau
miskin, pandai atau  bodoh,  untuk  kepentingan  pribadi  atau
masyarakat.   Tidak   heran  jika  puasa  telah  dikenal  oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan  oleh
Al-Quran.
 
Dari  penjelasan  ini,  kita  dapat  melangkah untuk menemukan
salah satu jawaban tentang rahasia  pemilihan  bentuk  redaksi
pasif  dalam  menetapkan  kewajiban  puasa. Kutiba 'alaikumush
shiyama (diwajibkan atas kamu  puasa),  tidak  menyebut  siapa
yang mewajibkannya?
 
Bisa  saja  dikatakan  bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut
disebabkan karena yang mewajibkannya  sedemikian  jelas  dalam
hal  ini  adalah  Allah  Swt.  Tetapi  boleh  jadi  juga untuk
mengisyaratkan  bahwa  seandainya   pun   bukan   Allah   yang
mewajibkan  puasa,  maka manusia yang menyadari manfaat puasa,
dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini
dilakukan manusia,  bukan  semata-mata  atas  dorongan  ajaran
agama.  Misalnya  demi  kesehatan,  atau kecantikan tubuh, dan
bukankah pula  kepentingan  pengendalian  diri  disadari  oleh
setiap makhluk yang berakal?
 
Di  sisi  lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku
mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh  Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
 
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
 
Dalam  rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada  ayat  lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam
Qadar,
 
     Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
     Lailat Al-Qadr.
 
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar  itu,
yang  menurut  Al-Quran  lebih  baik  dari  seribu bulan. Para
malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun  seizin  Tuhan,
dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
 
Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa
dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung   pesan   tentang   kedekatan   Allah  Swt.  kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa  --siapa
pun yang dengan tulus berdoa.
 
Dari   hadis-hadis  Nabi  diperoleh  pula  penjelasan  tentang
keistimewaan  bulan  suci  ini.  Namun  seandainya  tidak  ada
keistimewaan  bagi  Ramadhan  kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal
itu pada hakikatnya telah cukup untuk  membahagiakan  manusia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar